Nasional

Wahid Foundation Nilai Perpres Pencegahan Ekstremisme Lindungi Hak Atas Rasa Aman

Selasa, 19 Januari 2021 | 05:30 WIB

Wahid Foundation Nilai Perpres Pencegahan Ekstremisme Lindungi Hak  Atas Rasa Aman

Direktur Wahid Foundation (WF) Yenny Wahid. (Foto: Tangkapan Layar)

Jakarta, NU Online
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024.


Perpres itu berisi lebih dari 125 rencana aksi dan akan dijalankan di lebih dari 20 kementerian/lembaga. Pada 6 Januari 2021 lalu, kebijakan itu telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Diundangkan sejak 7 Januari dan ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.


Menanggapi itu, Direktur Wahid Foundation (WF) Yenny Wahid menyatakan dukungan atas terbitnya RAN PE 2020-2024 karena memiliki kesamaan pandangan. Menurutnya, kebijakan ini ditujukan sebagai bentuk perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, serta menekankan prinsip HAM berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.


“Karena itu kami mengapresiasi berbagai pihak baik pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang terlibat dalam mendorong kebijakan ini,” ungkap Yenny, melalui keterangan tertulis yang diterima NU Online, pada Selasa (19/1).


Ia juga mengungkapkan, Perpres tersebut mampu menjadi payung bagi kebijakan anti-terorisme yang sifatnya komprehensif. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, WF juga secara aktif mengawal terbitnya peraturan ini sejak 2017 lalu.


“Perpres ini memungkinkan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam mengatasi persoalan radikalisme di tanah air,” ungkap putri ketiga KH Abdurrahman Wahid bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh ini.


Lebih lanjut ia menyatakan bahwa peraturan itu merupakan langkah maju yang dilakukan pemerintah Indonesia. Di negara lain, kata Yenny, ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil dalam mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme cenderung dibatasi.


“Kita sama-sama paham bahwa persoalan (radikalisme dan terorisme) tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan saja. Perlu ada pendekatan kemanusiaan, keagamaan, dan pendidikan,” ujarnya.


Dari situ, masyarakat sipil bisa memainkan peran dengan baik. Sebab menurut Yenny, tidak semua ruang di masyarakat bisa dimasuki aktor negara. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dengan aktor-aktor masyarakat.

 

Empat pandangan Wahid Foundation
Dengan demikian, berdasarkan kajian yang dilakukan, WF memberikan empat hal pokok pandangannya. Pertama, ekstremisme kekerasan menjadi masalah bagi seluruh elemen bangsa. Karenanya, tidak dapat diselesaikan dan dicegah hanya oleh satu pihak. Kementerian/lembaga tidak bisa menanganinya sendiri tapi juga memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat, bahkan dunia usaha.


Bersama jaringan masyarakat sipil, WF menjadi bagian yang ikut terlibat dalam mendorong kebijakan RAN PE melalui kolaborasi bersama dengan pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sejak 2017.


Sejauh ini, WF mencatat, usaha-usaha mendorong kebijakan telah melibatkan partisipasi lebih dari 50 organisasi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan, 18 institusi pemerintah di tingkat nasional dan lokal, serta pelibatan para akademisi kampus.


Keterlibatan dan partisipasi masyarakat, termasuk kelompok minoritas, menjadi prinsip penting bukan hanya dalam proses penyusunan, tetapi juga dalam implementasi kebijakan dan menjadi bagian dari kebijakan. Hal itu sejalan dengan pasal 8 RAN PE yang berbunyi: “Dalam melaksanakan RAN PE, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat”.


Kedua, WF memandang bahwa faktor dan pemicu ekstremisme kekerasan tidak pernah tunggal. Karenanya hampir mustahil diatasi hanya dengan satu pendekatan. RAN PE ini disusun untuk merespons faktor-faktor tersebut seperti dampak yang ditimbulkan dari konflik komunal, kesenjangan ekonomi, perbedaan pandangan politik, perlakuan yang tidak adil, dan intoleransi.


Karena itu, pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ini bukan semata-mata hanya BNPT, tetapi lebih dari 20 kementerian/lembaga. Begitupun dengan keterlibatan organisasi masyarakat sipil, dari pencegahan hingga penanganan setelah terjadinya kasus-kasus ekstremisme kekerasan.


Poin Ketiga yang menjadi pandangan WF terkait RAN PE ini adalah soal prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kedua hal ini harus menjadi prinsip utama dalam pelaksanaan rencana aksi. Tujuannya agar pelaksanaan dijalankan sesuai rencana dan tidak membawa dampak buruk bagi usaha-usaha pencegahan.


Kebijakan ini juga menekankan pentingnya mekanisme pemantauan dan evaluasi. Hal itu sesuai dengan Pasal 7 ayat 3 RAN PE, berbunyi: “Laporan capaian pelaksanaan dan hasil evaluasi pelaksanaan RAN PE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan sebagai wujud akuntabilitas publik.”


WF memandang bahwa prinsip tersebut telah memberi jaminan kepada masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan itu.


Di poin keempat pandangannya, WF menegaskan bahwa RAN PE diterbitkan merupakan sebuah tahapan penting. Namun RAN PE bukan satu-satunya. Hal penting lain adalah soal kerangka pelaksanaan dan usaha sosialisasi kepada masyarakat luas. Sosialisasi menjadi langkah penting agar publik dapat memahami maksud dan konteks berbagai rencana aksi, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.


“Dengan kerangka pelaksanaan yang jelas dan sosialisasi yang luas, berbagai pihak, baik di tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat sipil, akan mampu mengoptimalkan sumberdaya untuk bersama-sama merealisasikan rencana aksi,” tutup Yenny Wahid.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin