Nasional

Waketum PB IKA PMII: Kezaliman Soeharto kepada NU Timbulkan Trauma Mendalam, Tak Bisa Dilupakan

NU Online  ·  Ahad, 9 November 2025 | 22:00 WIB

Waketum PB IKA PMII: Kezaliman Soeharto kepada NU Timbulkan Trauma Mendalam, Tak Bisa Dilupakan

Waketum PB IKA PMII dalam diskusi bertajuk Pro Kontra Gelar Pahlawan Soeharto yang digelar di Kantor PB IKA PMII, Ahad (9/11/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) Zani Rahman menegaskan bahwa kezaliman yang dilakukan rezim Soeharto kepada Nahdlatul Ulama (NU) berlangsung secara permanen selama 32 tahun masa kekuasaannya.


Hal tersebut disampaikan Zani dalam Diskusi Pro Kontra Gelar Pahlawan Soeharto yang digelar di Kantor PB IKA PMII, Ahad (9/11/2025).


Menurut Zani, pandangan masyarakat terhadap Soeharto sebaiknya dilihat dari berbagai perspektif pengalaman pribadi, pengalaman sebagai bagian dari komunitas NU dan PMII, serta pandangan normatif terhadap sosok yang disebut berjasa bagi bangsa.


Ia mengungkap pengalaman pribadinya yang kelam ketika rezim Orde Baru menindas kebebasan berpikir dan berdiskusi.


“Saya dua kali ditangkap dan disiksa hanya karena mengadakan diskusi. Bukan karena demonstrasi, tapi karena bicara soal Lembaga Kepresidenan di tahun 90-an. Mata ditutup, disetrum, bahkan diancam dicabut kuku,” kenang Zani.


Ia juga menceritakan pengalaman masa kecil ketika menyaksikan ayahnya dipukuli aparat karena kampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada era 1980-an.


“Itu menimbulkan trauma mendalam. Dari pengalaman itu saja, sulit bagi saya untuk menilai Soeharto sebagai orang baik,” ujarnya.


Zani menilai dari sudut pandang komunitas NU bahwa kezaliman rezim Soeharto bukan sekadar peristiwa politik sesaat, melainkan penindasan sistematis dan berkelanjutan sepanjang masa pemerintahannya.


Ia menyebutkan bahwa hasil riset yang dilakukan pasca-reformasi menunjukkan kehancuran struktural NU akibat kebijakan politik Orde Baru.


“Kami menemukan titik nadir kehancuran NU akibat kebijakan Soeharto mulai dari Undang-Undang Keormasan, Pemilu, hingga Partai Politik. Selama 32 tahun itu, NU dimatikan secara perlahan,” ungkapnya.


Menurut Zani, fakta-fakta historis itu menjelaskan mengapa banyak tokoh NU, termasuk para kiai, menolak usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.


“Proses penzaliman itu permanen dan dampaknya luar biasa. Karena itu, wajar jika penolakan muncul dari berbagai pihak,” tegasnya.


Meski begitu, Zani menegaskan bahwa NU tetap diajarkan untuk memaafkan siapa pun yang pernah menyakiti. Namun, ia menolak jika sikap memaafkan itu dijadikan alasan untuk memberi gelar pahlawan.


“NU harus memaafkan, tidak boleh dendam. Tapi memaafkan bukan berarti harus memberi gelar pahlawan,” katanya.


Zani juga menyoroti argumentasi pihak yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan karena dianggap menciptakan stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi tinggi.


Ia menilai bahwa di balik angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ada penderitaan rakyat kecil, terutama petani, yang justru terpinggirkan oleh kebijakan ekonomi Orde Baru.


“Tahun 80-an, saya harus jual dua sapi untuk beli sepeda ontel ke sekolah. Itu menunjukkan betapa tidak berharganya hasil petani. Angka pertumbuhan ekonomi 6-7 persen itu tidak pernah dirasakan oleh rakyat bawah,” ujarnya.


Zani menegaskan bahwa sebagai warga NU, ia tetap mengikuti keputusan para kiai dan ulama, tetapi secara pribadi ia menolak pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto.


“Kalau nanti para kiai memutuskan lain, saya akan tunduk. Tapi secara rasional, sebagai bagian dari NU, saya tidak bisa menerima Soeharto disebut pahlawan,” pungkasnya.

Sementara itu, aktivis 1998 Amsar Dulmanan menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum baru yang dapat dijadikan landasan untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto.


Menurut Amsar, aturan mengenai gelar Pahlawan Nasional sudah secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010, yang mensyaratkan bahwa penerima gelar tidak boleh memiliki catatan pelanggaran terhadap bangsa, baik dalam bentuk pengkhianatan maupun pelanggaran hak asasi manusia.


“Syaratnya jelas harus berjasa bagi bangsa dan negara, memiliki integritas moral, keteladanan, dan tidak tercela karena pelanggaran hukum atau HAM,” ujarnya.


Amsar menjelaskan bahwa dalam kajian akademiknya, Soeharto justru mempraktikkan model kekuasaan hegemonik dan dominatif sebagaimana dikemukakan oleh Antonio Gramsci dan Louis Althusser.


“Kekuasaan Soeharto itu dibangun atas dasar hegemoni yang menindas, bahkan di dunia pendidikan pengaruhnya terasa kuat. Aparatur dan sistem dibuat tunduk agar melanggengkan kekuasaan,” katanya.


Ia juga menyoroti bahwa kekuasaan Orde Baru telah menciptakan korporatisme politik, yakni ketika seluruh kekuatan negara dan masyarakat dikonsolidasikan di bawah kendali penguasa.


Kondisi itu, menurut Amsar, sangat berbahaya karena menghapus ruang partisipasi sipil dan memperkuat militerisasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.


“Sejak awal niat kekuasaannya sudah salah. Sumber daya nasional dieksploitasi oleh kelompok tertentu, dan sampai sekarang hasilnya masih dirasakan penguasaan tambang dan mineral tetap di tangan kelompok yang sama,” tegasnya.


Amsar menilai bahwa usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tidak memiliki urgensi moral maupun historis di tengah kondisi bangsa saat ini.


Ia menyebut, jejak eksploitasi dan represi masa Orde Baru masih membekas, sementara cita-cita reformasi justru belum sepenuhnya terwujud.


“Kalau alasan pemberian gelar itu demi negara, mestinya bukan dengan cara menutupi kesalahan masa lalu. Kita harus belajar dari sejarah, bukan memuliakan pelaku yang menindas rakyatnya,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang