Nasional

Wakil Grand Syekh Al-Azhar: Kewarganegaraan Konsep Asli Islam

Senin, 6 Februari 2023 | 18:46 WIB

Wakil Grand Syekh Al-Azhar: Kewarganegaraan Konsep Asli Islam

Wakil Grand Syekh Al-Azhar Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Dluwaini pada pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Senin (06/02/2023). (Foto: NUO/Syaiful Amar)

Surabaya, NU Online

Wakil Grand Syekh Al-Azhar Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Dluwaini menegaskan bahwa kewarganegaraan merupakan sebuah konsep yang datangnya dari Islam.


"Kewarganegaraan konsep asli Islam yang diterapkan sahabat dan timbul di masa itu," ujarnya saat menyampaikan pidato kunci pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (06/02/2023).


Menurutnya, kewarganegaraan harus menerima keragaman sosial, baik etnis maupun agama.


Lebih lanjut, Syekh Al-Dluwaini menjelaskan bahwa kewarganegaraan mengutuk praktik-praktik diskriminatif dan kezaliman, termasuk membunuh dan mengancam kebebasan orang lain. Sebab, persaudaraan harus dibangun juga dengan antarmanusia.


"Tidak hanya pada kaum Muslim tapi juga masyarakat global," katanya di hadapan ratusan ulama yang hadir.


Syekh Al-Dluwaini menyampaikan bahwa fiqih peradaban di bawah naungan syariah Islam merealisasikan kehidupan dan memuliakan harga diri manusia dengan kemajuan di segala aspek budaya, ekonomi, dan lain-lain.


"Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan keilmuan dan sadar akan perdamaian," ujar ulama pakar fiqih perbandingan itu.


Oleh karena itu, Syekh Al-Dluwaini mengajak para ulama dan pemikir untuk melestarikan persatuan umat dan memproteksi tercerai-berainya bangsa yang diawali dengan menghina dan mengafirkan. Menurutnya, mereka mesti berlapang dada terhadap pluralitas selagi dalam kaidah yang disepakati.


"Kami mengimbau agar bertajam pikiran menuju kebenaran tanpa tebrlokir mazhab jenis pemikiran tertentu," kata ulama yang pernah menjadi Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.


Ia juga mengajak para ulama untuk membaca peninggalan ulama terdahulu dalam menyikapi pluralisme. Umat Islam, menurutnya, harus menjadi pemrakarsa kebaikan dan mencegah keburukan.


Muktamar Internasional Fikih Peradaban I dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin, Senin pagi. Forum ini mengundang sedikitnya 15 pakar sebagai pembicara kunci, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tamu yang hadir mayoritas adalah para mufti dan ahli hukum Islam. Mereka membicarakan berbagai topik, mulai dari pandangan Islam tentang negara-bangsa, relasi dengan non-muslim, hingga tata dunia global.


Selain sebagai kelanjutan dari R20, forum ini juga merupakan bagian dari rangkaian peringatan Satu Abad NU yang puncak resepsinya akan berlagsung di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (07/02/2023).


Hadir pada acara pembukaan Muktamar Internasional Fikih Peradaban I ini di antaranya Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri dan Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Katib Aam PBNU KH Akhmad Said Asrori, serta Sekretaris Jenderal PBNU H Saifullah Yusuf.


Sebelumnya, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan soal urgensi pembahasan dalam forum ini antara lain karena umat Islam masa kini sedang menghadapi realitas baru.


Munculnya institusi negara bangsa di era modern, kata Gus Ulil, mengubah konstelasi banyak hal pada kehidupan di muka bumi ini. Di antaranya ada konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian ada pula konsep mengenai minoritas. 


Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB. 

 

Pewarta: Muhammad Syakir NF

Editor: Syaifullah Ibnu Nawawi