Bogor, NU Online
Para santri dan alumni pesantren sudah saatnya menunjukkan jati diri. Ini bukan dalam rangka ujub, takabbur, atau menyombongkan diri. Namun, lebih kepada bagaimana memberi arah perubahan kepada dunia atas pemahaman Islam moderat yang dipelajari di pesantren.
Direktur Wahid Foundation, Zannuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid, mengatakan hal tersebut dalam pembukaan Workshop Komunitas Pesantren bertema Mentradisikan Toleransi dan Keindonesiaan dari Pesantren yang digelar di Bogor, Rabu (17/7) petang.
“Saya ingin menitipkan pesan penting buat adik sekalian. Saya melihat bahwa para santri yang hadir di sini merepresentasikan masa depan. Di tangan kalian, dunia akan nyaman ditinggali atau justru menjadi tempat konflik yang makin mengerikan. Jadi, peran adik-adikku ini sangat luar biasa,” ujarnya disambut aplaus seratusan hadirin.
Putri kedua Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menambahkan, pentingnya peran santri terutama melihat antusiasme masyarakat dunia terhadap pesantren. “Perhatian mereka sekarang ini tidak main-main. Orang-orang luar negeri yang belajar ke sini banyak sekali,” tandas Yenny.
Perempuan yang juga anggota pendiri Global Council for Tolerance and Peace, sebuah konsil dunia yang mengampanyekan toleransi dan perdamaian ini memandang sudah sewajarnya jika para santri Indonesia menjadi penerang bagi dunia. Menurut Yenny, dunia yang dihadapi para santri milenial sangat membingungkan bagi generasi tua.
“Tapi bagi kalian mungkin jauh lebih mudah untuk mengelolanya. Soal medsos misalnya, buat kami para orang tua ini sangat struggle (perjuangan) untuk memahaminya. Karena sudah biasa tiap harinya memakai gadget, smartphone, untuk melancarkan kehidupan sehari-hari,” sergahnya.
Perubahan, lanjut dia, adalah sebuah hal yang menjadi ciri kehidupan kita sekarang dan ke depan. Perubahan itu konstan terjadi. Hanya orang-orang yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itulah yang akan survive (bertahan hidup). Termasuk bagaimana mengatasi kebisingan dan kebingungan yang ditimbulkan oleh medsos.
“Baru-baru ini kita baru saja melewati hajatan besar berupa Pilpres, di mana tiap hari kita diharu biru. Perasaan kita tiap hari diaduk-aduk oleh medsos. Awalnya teman karena beda pandangan lalu unfriend. Yang keluar dari grup banyak sekali. Kita dikotak-kotak hanya dalam angka. Kalau tidak 01 ya 02,” terang Yenny.
“Pernahkah kita berpikir bahwa konten-konten pengadu domba itu diproduksi oleh orang yang sama. Nggak usah dibayangkan, karena memang begitu keadaanya,” tegasnya disambut tawa hadirin.
Hadir dalam pembukaan, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, H Ahmad Zayadi. Lokakarya tersebut terselenggara berkat kerjasama Wahid Foundation dan Direktorat PD Pontren Ditjen Pendis Kemenag.
Ahmad Zayadi mengaku sangat bersyukur kerjasama kelembagaan antara Direktorat PD Pontren Ditjen dan Wahid Foundation ini terwujud. Kerjasama seperti ini penting sekali untuk memberi bekal kepada para santri milenial yang kreatif dan dinamis. Kegiatan yang diikuti 100 santri dan alumni pesantren ini dijadwalkan tiga hari, Rabu-Jumat, 17-19 Juli 2019. (Musthofa Asrori)