Opini

Arti Sebuah Wiridan Mbah Ali (1)

Kamis, 13 September 2012 | 21:09 WIB

Foto di sisi kanan tulisan iniadalah salinan naskah kenangan tulisan tangan langsung Simbah KH Ali Maksum, rahimahullah. Isinya wiridan yang rutin dibaca setelah melaksanakan shalat fardlu.
<>
Di dalam khasanah budaya Islam, selain bacaan wirid kalimah tayibah seperti yang ada dalam catatan tersebut, wirid-wirid lain banyak ditulis juga oleh para kiai, ulama atau awliya’. Secara bahasa, wirid berarti aliran, sampai. Bentuk jamaknya awrod.

Dalam perkembangannya, istilah wirid maknanya melebar menjadi amalan rutin seseorang (bacaan dzikir, shalat sunat, menderas Al-Qur’an dan mengajarkannya, puasa, merawat masjid, sedekah, dan lain-lain). Namun, biasanya yang disebut wirid atau wiridan, lazim tetap mengacu kepada bacaan dzikir yang terus menerus diamalkan. 

Sementara itu, Wiridan sepekan atau yang bukan mengikuti shalat fardlu, biasanya  dikenal dengan ratib, seperti Ratib al-Haddad, Ratib Al-Attas, Ratib Bawazir dan lainnya ataupun hizib seperti Hizb Nashr, Bahr dan sebagainya. Yang terakhir disebut, hizib, dalam perkembangan maknanya menciut pada sekumpulan ayat, kalimah tayibah, doa-doa yang dibaca dalam situasi, cara, dan tujuan tertentu di bawah bimbingan, ijazah dan ‘supervisi’ kiai.

Mbah Ali menulis wirid di atas selembar kertas berukuran HVS dengan tinta hitam, jenis naskhi kecil-kecil, rengket, dan tidak berharakat. Artinya, tulisan dan ditulis tahun awal 80-an untuk masyarakat santri atau masyarakat umum yang mau mengaji sehingga dapat membaca dan memaknainya dengan benar. 

Ditulis dalam satu lembar dimaksudkan agar tidak berkesan memberatkan pengamalan dan penyebarluasannya. Saya sendiri membayangkan, "Wah betapa gembira beliau kalau catatan tulisan tangannya ini disalin dan ditempelkan di tiap mushalla di banyak daerah di Indonesia."

Memang naskah dan isi tulisan ini dari Mbah Ali, tapi sebenarnya bukan susunan karangannya sendiri. Isi catatan wiridan ini merupakan kumpulan amalan dan ajaran doa para kiai di Jawa yang bersumber dari riwayat ma’tsurah dari Rasulullah dan para ulama Islam. Setiap kiai, ulama mempunyai kenang-kenangan untuk ummat. Beliau mengatakan itu dalam pengajian.

Catatan seperti ini termasuk tinggalan dan legacy kiai atau ulama kepada umat yang dibimbingnya. Jerih payah para kiai yang tekun ‘momong’ dan membangun keimanan umat seperti ini karenanya tidak sepantasnya kemudian oleh sesama kalangan kolegialnya, (apalagi bukan kiai!) ‘dibolduser’ dengan serangkaian pembid’ahan dan hartoqoh yang salah kaprah dan bermuara pada penggusuran dzikir dari dada umat.

Para kiai mengetahui, selain wirid-wirid seperti dalam catatan ini ada bacaan ma’tsurat lain. Mungkin Anda mengkritisi, apa sebab yang lain tidak ditulis/dibaca? Wiridan kok dibatasi bacaan atau bilangannya? 

Kata kuncinya adalah, apa yang diamalkan itu yang berasal, diajarkan, dan diamalkan oleh para gurunya. Riwayat bacaan yang lain di kitab-kitab masih banyak, dan boleh saja diamalkan, namun yang diamalkan dan diajarkan langsung oleh gurunya itulah yang nantinya lebih membantu pengamalan dengan mudawamah, muwadzabah dan mulazamah atau yang populer di masyarakat dengan istilah istiqamah.

Amalan yang terbaik, sebagaimana semua mafhum, bukan melulu yang nominal dan kuantitasnya banyak, namun juga yang dilakukan secara kontinyu dan konsisten. Bisa jadi sedikit nominalnya, namun maknanya tetap banyak. Itulah mengapa Al-Qur’an menyuruh banyak berdzikir kepada Allah, namun Rasulullah shalawatullah wasalamuhu ‘alaih juga mengajarkan cara berdzikir dengan bilangan tertentu. Ya, mengapa tidak, di samping ada rahasia dibalik jumlah bilangan tersebut, berdzikir dengan membilang artinya melatih, menjaga, dan lebih menjamin istiqamah.

Terlebih, selain wiridan-dzikir yang minimal bermanfaat menentramkan hati semacam ini, masih banyak jenis amalan dan aktifitas sosial yang juga dapat bermanfaat bagi diri masing-masing, sesama, dan alam semesta. (H Afif Muh Hasbullah, MA, Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum)