Abdillah Amiril Adawy
Kolomnis
Pemahaman fiqih seseorang terkait erat dengan dinamika dakwah dalam masyarakat. Karakter fiqih yang mengharuskan ketetapan sebuah hukum terhadap setiap persoalan membuatnya dijadikan paradigma utama gaya hidup oleh masyarakat muslim. Seorang praktisi fiqih akan mengawali dakwahnya dengan menjelaskan hukum-hukum, dan ikhwal terkait tata cara ritual maupun interaksi sosial yang sahih menurut agama.
Hal ini terus menerus dilakukan sehingga muncul pandangan bahwa fiqih merupakan salah satu disiplin keilmuan yang sangat adaptif dan paling dibutuhkan masyarakat. Persoalan muncul ketika pergerakan dakwah termasuk fiqih, dinilai belum mampu menjawab kompleksitas problem masyarakat secara masif dan efektif.
Sering kali penerapan teori-teori fiqih hanya berdasarkan pada pemahaman tekstual saja tanpa pertimbangan kondisi praksis ruang atau kontekstual waktu. Di sinilah kegelisahan muncul, khususnya di kalangan masyarakat muslim yang merasa tidak leluasa dengan model berpikir ala formalis nan rigid dan cenderung kaku.
Di sisi lain, para ahli dan praktisi fiqih masih belum maksimal untuk membuka diri dan terjun langsung mengatasi problem masyarakat yang begitu kompleks. Sering kali, tenaga dan pikiran mereka terkuras untuk membahas masalah-masalah ubudiyah seputar khilafiyah di dalamnya. Sehingga masalah mendasar seperti pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan umat yang seharusnya mendapat porsi lebih, justru belum mendapat perhatian yang solutif dari para tokoh agama.
Lantas bagaimana solusinya? Berangkat dari persoalan tersebut, penting dirasa untuk mengkaji kembali narasi besar dakwah pembebasan yang dicetuskan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 1999-2009. Dakwah pembebasan ini bermaksud untuk mengubah wajah dakwah yang identik dengan pesan-pesan keagamaan yang bersifat verbal menjadi aksi nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Suatu rancangan dakwah untuk mendapatkan jawaban atas probem-problem fiqhi ijtimaiyyah yang sering menemukan kejumudan dan jalan buntu (deadlock) karena nuansa fiqih klasik yang cenderung formalistik.
Kiprah Kiai Sahal di masyarakat berawal dari pengalaman hidup beliau yang sejak muda turun langsung dalam lembaga swadaya masyarakat. Ditambah fakta sosio-kultural dan ekonomi masyarakat Kajen, Pati, yang saat itu bisa dikatakan di bawah rata-rata.
Kondisi ini menjadikan Kiai Sahal yang hidup di tengah masyarakat mengubah kontruksi sosial dan paradigma berpikir yang dibangunnya, yakni paradigma dakwah fiqih sosial yang tidak hanya idealis-paradigmatik, tetapi juga fiqih sosial yang memilki nilai praktis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Konsepsi Dakwah Pembebasan; Dari Teori ke Aksi
Mengacu dari sekian langkah praksis Kiai Sahal, beliau telah mengaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat sekitarnya saat itu. Upaya tersebut berupa maksimalisasi pemanfaatan hasil zakat bagi keberlangsungan ekonomi umat.
Dengan berbagai dukungan dari masyarakat setempat, Kiai Sahal mulai melakukan pelembagaan zakat dan memotivasi masyarakat untuk semakin giat bekerja. Tidak lupa, beliau juga melibatkan koperasi sebagai mitra dakwah kali ini. Selanjutnya, hasil zakat yang diperoleh dari masyarakat dikelola koperasi dan diatur sedemikian rupa supaya tidak menyalahi tuntunan fiqih zakat.
Setelah pengelolaan ini, mustahiq yang berhak menerima diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik kembali sebagai tabungannya untuk keperluan pengumpulan modal. Dengan cara ini, mereka mampu menciptakan pekerjaan dengan modal yang dikumpulkan dari harta zakat.
Di lain waktu, Kiai Sahal juga pernah mencoba memberdayakan pengemudi becak di Kota Pati. Ketika pembagian zakat tiba, beliau memberikan modal sebuah becak kepadanya untuk digunakan kerja sehari-hari. Dan terbukti berhasil. Sebelumnya dia hanya pengemudi becak sewaan.
Usahanya ini berkembang, dan sehari-harinya ia tidak harus mengemudikan becak dengan mengejar target setoran. Dengan mengemudikan becak hingga jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhahan pokok keluarga. Setelah itu ia bisa melakukan aktivitas lain dan menyempatkan untuk kumpul-kumpul mengikuti pengajian.
Dengan cara ini, meskipun perekonomiannya tidak meningkat secara signifikan, tetapi jelas ada perubahan taraf hidup sosial. Paling tidak ikhtiar seperti ini telah memberi pengaruh kepada masyarakat, dan memberi teladan kepada masyakat menengah ke atas untuk lebih peduli. Bayangkan jika praktik dakwah seperti ini disadari semua umat muslim, maka dapat dipastikan ada siginifikansi perubahan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia.
Gagasan Kiai Sahal ini merupakan terobosan mutakhir yang harus diterapkan melalui peran lembaga-lembaga sosial keagamaan. Tidak hanya itu, para ulama juga dapat mengambil peran sebagai inisiator sekaligus sebagai fasilitator bagi masyarakatnya, menyesuaikan kemampuan dan keadaan lingkungan di daerahnya masing-masing.
Penulis adalah Mahasantri PP Al Munawwir Krapyak
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua