Oleh A. Khoirul Anam
Kalender bukan hanya soal hitung-hitungan hari/tanggal/tahun serta perayaan hari liburnya, bukan pula foto-foto caleg dan janji-janji yang terpampang di halaman mukanya. Ia berkaitan dengan sejarah dan peradaban, dan urusan politik ketika kalender itu ditetapkan.
Kalender Tionghoa memakai prinsip lunisolar atau perpaduan antara perhitungan perjalanan bulan (lunar) mengelilingi bumi serta perputaran dan perjalanan bumi mengelilingi matahari (solar). Ini persis seperti sistem penanggalan Arab pra-Islam, tepatnya sebelum turun Al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 36. إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا... “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan...”.
Karena ada perbedaan 11 hari dalam setiap 12 bulan dari dua sistem yang berbeda itu (354 lunar dan 365 solar), maka untuk menyesuaikan dengan musim yang ada, ditambahkan satu bulan (bulan ke-13) selama 7 kali dalam 19 tahun. Tiongkok adalah negara yang masih mengandalkan sektor pertanian di mana pergantian musim sangat penting untuk memutuskan waktu mulai menanam dan memanen.
Maka masyarakat Tionghoa akan merayakan tahun baru Imlek pada musim semi, yaitu saat musim panen tiba. Sementara tanggal hari libur Imlek tidak akan konsisten dalam kalender Indonesia (Barat) yang berdasarkan sistem solar (syamsiyah).
Di Arab, penambahan bulan ke-13 itu sempat memunculkan kekacauan. Tahun kapan (tahun ini atau tahun depan) ditambahkan satu bulan itu tidak disepakati oleh dua kubu yang sedang berperang. Sementara ada empat bulan yang disepakati untuk tidak boleh berperang. Maka turun ayat ke 36 Surat at-Taubah di atas, surat perang yang ketika membacanya tak dianjurkan membaca basmalah tepatnya kata “ar-rahman” bahwa Allah merahmati semua manusia.
Namun penetapan 12 bulan saja yang berdasarkan sistem lunar di Arab itu tidak diikuti dengan pergantian nama-nama bulan, bahkan sampai masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khottob yang menetapkan Hijrah Nabi ke Madinah sebagai tahun ke-1. Tetap ada nama bulan Rabiul Awal (musim gugur pertama), Jumadil awal (musim dingin pertama), Rajab (es mulai mencair), dan seterusnya. Penamaan itu akhirya hanya sekedar nama.
Hikmahnya, bulan puasa Ramadhan di Arab atau belahan bumi Utara juga di tidak selalu jatuh di permulaan musim panas seperti semula. Pada waktunya Ramadhan akan tiba di musim dingin (jumud/jumadil awal/akhir). Demikian juga di belahan bumi selatan yang jauh dari garis khatulistiwa.
Di Jawa, Kesultanan Mataram memadukan sistem penanggalan Islam (lunar) dengan sistem Penanggalan Hindu, dan penanggalan Julian (Barat) sekaligus. Ada dua dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Sultan Agung mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender lunar.
Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Orang Jawa memang suka dengan kesinambungan dan perpaduan, tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Tapi penanggalan bulan dianggap tidak sesuai dengan pranoto mongso, atau tidak bisa djadikan patokan para petani untuk bertanam. Maka pada masa Sri Paduka Mangkunegara IV, bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari diunggah kembali sebagai pranoto mongso atau penanda musim, tepatnya pada tahun 1855 M.
Sistem kalender atau penanggalan diperoleh dengan mengamati dan menghitung peredaran benda-benda langit yang tampak dari atas bumi. Tetapi ia harus berkaitan urusan mahluk hidup di bumi: tanah (pertanian), laut, dan sekarang mestinya meningkat ke urusan bawah tanah dan bawah laut serta udara. Kalender berkaitan dengan prediksi dan perencanaan-perencanaan, atau kata orang, ramalan.
Penulis adalah Dosen UNUSIA Jakarta; Wakil Pemimpin Redaksi NU Online