Santri diharapkan bukan hanya menguasai ilmu dasar, tetapi juga ilmu dan pengalaman yang dibutuhkan kelak ketika ia berkiprah di masyarakat. (Foto ilustrasi: Kemenag: Elik Ragil)
Waryono Abdul Ghofur
Kolomnis
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan bahwa ilmu baru dapat dikuasai dan memadai bila dia dipelajari dalam tempo lama (tuluz zaman). Atas dasar ini, santri yang sesungguhnya sering menghabiskan waktu yang cukup lama di pesantren, baik dalam satu pesantren maupun berpindah-pindah.
Tempo yang lama ini diperlukan karena santri diharapkan bukan hanya menguasai ilmu dasar, tetapi juga ilmu dan pengalaman yang dibutuhkan kelak ketika ia berkiprah di masyarakat. Namun demikian, bila karena sesuatu, seorang santri tidak dapat hidup lebih lama di pesantren, maka kemampuan dasar santri yang harus dimiliki dan dikuasai adalah hal-hal yang terkait dengan fardu ‘ain baik yang bersifat individual maupun sosial.
Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan dan peluang atau bahkan keinginan yang sama untuk menekuni bidang ilmu tertentu. Misalnya, para santri yang belajar di pesantren sekalipun tidak seluruhnya ingin menjadi kyai. Tidak sedikit para santri yang kemudian berkiprah di tengah-tengah masyarakat sebagai pengusaha, teknokrat, anggota polisi-militer, dan profesi-profesi lainnya.
Oleh karena itu kerap kali muncul pertanyaan mengenai standar minimal waktu belajar di pesantren. Selain juga pertanyaan lanjutannya mengenai standar pengetahuan yang dapat diperolehnya dengan waktu yang misalnya paling minimal.
Secara umum pondok pesantren terbagi menjadi dua kategori: pesantren salaf (klasik) dan pesantren khalaf (modern). Pesantren salaf diasosiasikan kepada pondok pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan sistem klasikal baik secara sorogan, bandongan, maupun hafalan. Sedangkan pesantren modern biasanya dilekatkan kepada sejumlah pesantren yang memiliki unit pendidikan berjenjang seperti madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar, tsanawiyah atau sekolah menengah pertama dan aliyah atau sekolah tingkat atas dengan menggunakan standar kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Agama.
Jika dalam pendidikan pesantren klasik tidak memiliki ketentuan harus berapa lama karena ia tidak memiliki sistem penjenjangan, maka di pesantren modern menggunakan sistem kelas. Belakangan, sejumlah pesantren salaf juga pada dasarnya memiliki unit pendidikan yang disetarakan seperti muadalah dan pendidikan diniyah formal (PDF) yang menggunakan sistem kelas dan berjenjang.
Menilik hal di atas, sekurangnya para santri mengenyam pendidikan di pesantren tiga tahun. Pembelajaran dan tempaan dalam waktu yang sebenarnya relatif singkat tersebut dapat menjadi modal bagi mereka untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya di kemudian hari.
Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik
Standar minimal seorang santri belajar di pondok pesantren adalah santri dapat membaca Al-Quran dengan baik. Selain itu, mereka sekurangnya bisa memahami materi-materi dasar ilmu fikih, khususnya hal ihwal ibadah. Santri di pondok pesantren diajarkan kitab-kitab fikih standar yang diharapkan dapat melakukan ibadah sesuai dengan tuntunan syariat. Mulai dari persoalan kesucian, wudu, salat, dan ibadah-ibadah ritual harian lainnya. Pembelajaran fikih ibadah seperti ini bagian dari proses pengetahuan yang bersifat pengisian otak (kognitif) para santri.
Selain fikih, akhlak juga menjadi salah satu aspek yang paling ditekankan dalam pembelajaran di pondok pesantren. Aspek pembelajaran akhlak di pondok pesantren tidak hanya berdasarkan pada kitab-kitab yang diajarkan, melainkan juga melalui sikap dan perilaku yang dapat membentuk watak dan karakter santri yang rendah hati (tawaduk). Aspek pembelajaran ini bersifat afektif karena berkaitan dengan sikap dan nilai.
Sedangkan aspek psikomotorik berkaitan dengan proses pengembangan mental dan skill para santri. Aspek ini menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran para santri terutama bagi mereka yang sedari awal memiliki cita-cita mempunyai keahlian tertentu di luar bidang keagamaan.
Ketiga aspek pembelajaran di atas diharapkan dapat memberikan modal dasar para santri untuk melanjutkan pendidikan atau berkiprah di masyarakat. Kemampuan-kemampuan dasar agama seperti membaca Al-Quran dengan baik, pengetahuan ritual ibadah, akhlak dan juga kemampuan mengembangkan keahlian dari bakat dan minat yang dimilikinya dapat mengantarkan mereka untuk mengembangkannya di kemudian hari.
Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua