Oleh Dodik Harnadi
Di tengah hiruk-pikuk hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017, terutama Pilkada DKI Jakarta yang penuh dengan aroma bau sentimen agama, etnis dan golongan, kepolisian berhasil mendeteksi sayup-sayup potensi gerakan teroris di Indonesia. Dalam waktu yang tidak berselang lama, polisi berhasil melakukan antisipasi dini dengan menangkap 10 terduga teroris di dua tempat yang berbeda.
Pada hari pertama, Jumat 10 Maret 2017, 9 orang terduga teroris ditangkap oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah di Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Muotang. Kuat dugaan, mereka merupakan sel teroris baru yang menjadi bagian dari jaringan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Tiga hari berikutnya, Senin (13/3/17), giliran Detasemen Khusus Anti Teror 88 yang menangkap seorang terduga teroris di Kediri Jawa Timur.
Penangkapan terduga teroris di waktu yang hampir bersamaan tersebut menunjukkan bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Semakin kerasnya negara mengumandangkan perang terhadap teroris, ternyata tidak berbanding lurus dengan mengendornya eskalasi gerakan terorisme secara berarti. Mungkin aksi teror dengan skala kerusakan cukup besar hampir tidak pernah kembali terjadi sejak Bom Plaza Sarinah 2016 silam.
Namun, semakin hari intensitas gerakan terorisme justru semakin sering kita dengar dengan sel-sel jaringan yang berdiam di banyak tempat secara sporadis. Mereka acapkali memanfaatkan media-media sederhana yang hampir tidak terduga di sekitar kita untuk menjalankan aksi terornya. Daya rusaknya secara materiil mungkin tidak begitu parah. Namun, daya kejutnya secara psikologis sosial begitu luar biasa. Gerakan terorisme yang sporadis tersebut telah berhasil menularkan rasa tidak aman dalam kehidupan sosial. Karena tidak menutup kemungkinan, tanpa disadari sel-sel itu tengah berada di sekitar mereka.
Mandegnya Peran Reproduksi Sosial-Budaya
Sementara itu, semakin banyaknya rekrutan calon pengantin yang tertangkap dan terdeteksi akhir-akhir ini membuktikan tidak maksimalnya fungsi, meminjam bahasa Bourdieu (1977), reproduksi sosial dan budaya dari lembaga-lembaga sosial seperti sekolah, keluarga, institusi keagamaan dan seterusnya. Akhirnya, ruang kosong reproduksi nilai tersebut diambil alih oleh kelompok takfiri radikal untuk memproduksi nilai-nilai ‘baru’ yang bersumber dari pemahaman keagamaan eksklusif-skriptural mereka kepada sebagian orang.
Karena itulah, fungsi reproduksi nilai atau budaya lembaga-lembaga sosial harus direaktivasi. Karena dari fungsi inilah, transmisi nilai-nilai keislaman yang moderat dan inklusif-akomodatif dapat terus dihidupkan. Sebab, bangsa Indonesia sedianya memiliki modal pemahaman keagamaan yang terbuka serta tidak kaku menghadapi perbedaan. Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu contoh konkrit bagaimana perilaku dan sikap keberagamaan yang ditampilkan mampu bersinergi dengan segenap entitas yang berbeda.
Di samping itu dalam tautan sejarahnya, secara fleksibel mereka berhasil mengawinkan nilai-nilai universalitas Islam dengan partikularitas dimensi lokal tanpa harus memunculkan resistensi konfliktual di antara keduanya. Pemahaman inilah yang kemudian membentuk wajah toleran dan akomodatif NU dalam praktik keagamaannya. Maka tidak mengherankan jika Jeremy Menchick dalam risetnya Islam and Democarcy in Indonesia: Tolerance without Liberalism yang terbit 2016 silam, mendaulat NU sebagai organisasi keagamaan paling toleran di Indonesia (Menchick, 2016:19).
Nilai-nilai keberislaman seperti inilah yang semestinya harus terus kita reproduksi untuk membentengi generasi bangsa dari penyebaran virus pemahaman keagamaaan radikal yang mempromosikan kekerasan. Ibarat racun, virus tersebut sejauh ini masih mungkin didetoksifikasi. Namun, dalam jangka waktu lama jika dibiarkan, virus pemahaman radikal ini akan menyatu dengan jaringan sel dalam tubuh tanpa bisa disembuhkan. Pada saat itulah, generasi bangsa ini akan menerima nilai-nilai radikal tersebut sebagai cara pandang (weltanschauung) dalam menginterpretasi perbedaan.
Intelektualisme Pesantren
Pemahaman keagamaan yang mengusung wajah Islam yang moderat dan toleran, mutlak kita butuhkan saat ini. Wajah seperti ini pada dasarnya selaras dengan fitrah kebudayaan masyarakat Indonesia. Karena itulah, nilai tersebut harus dijaga dan direproduksi dalam ruang-ruang sosial. Dalam konteks kekinian, tradisi Intelektualisme pesantren dapat kita jadikan acuan untuk menjaga nilai-nilai pemahaman keislaman yang moderat dan toleran tersebut. Kitab kuning sebagai inti tradisi intelektulisme pesantren, menjadi sumber pemahaman dinamis kalangan NU dan pesantren yang terbukti mampu menampilkan wajah Islam yang ramah tanpa amarah, serta toleran tanpa kebencian.
Tradisi intelektualisme itulah yang dalam praktinya telah tampil sebagai penyangga mederasi Islam di Indonesia (Wahid, 2001). Tradisi tersebut telah menghasilkan corak keberagamaan yang akulturatif. Yaitu keberagamaan yang mengafirmasi unsur-unsur lokal sebagai sebuah kearifan yang perlu dijaga dan disatupadukan dengan universitalitas Islam, selama tidak terdapat kontradiksi fundamental di antara keduanya. Sehingga, lahirlah karakteristik keberislaman yang khas Indonesia.
Maka, langkah Bupati Dedi Mulyadi yang mengagas sekolah berbasis kitab kuning bagi warga Muslim Purwakarta beberapa waktu lalu patut diapresiasi. Pelembagaan kajian kitab kuning tersebut dapat memastikan bahwa nilai-nilai keislaman yang direproduksi berpijak di atas pemahaman yang moderat dan toleran. Hal ini akan menjadi langkah preventif sekaligus kuratif menetralisir virus pemahaman keagamaan yang skripturalistik-eksklusif dalam memahami ajaran agama yang merusak keyakinan sebagian kecil kalangan Muslim.
Tentu dalam implementasinya, upaya menghidupkan intelektualisme pesantren sebagai sebuah alternatif reproduksi nilai keagamaan yang toleran, tidak harus dimaknai dengan mendirikan pondok pesantren. Justru yang harus dilakukan adalah mentransplantasinya dalam ruang yang lebih luas. Tradisi intelektualisme pesantren harus dibawa ke luar dari bilik pesantren, untuk memberikan kesempatan kepada semua segmen di luar santri, mereplikasinya dalam ruang masing-masing.
Ada tiga alasan yang mendasari pentingnya menjadikan tradisi intelektual pesantren sebagai pijakan nilai keberagamaan ideal saat ini. Pertama, kemajuan peradaban Islam tidak dapat dilepaskan dari kekayaan nalar intelektualisme para pemikir Muslim pada masa silam. Kekayaan nalar mereka terdokumentasikan dalam karya-karya klasik kitab kuning yang menjadi sumber literal intekelektualisme pesantren. Karena itulah tidak aneh jika renaissance yang menjadi tonggak kebangkitan Barat pada abad pertengahan, diawali oleh proyek penerjemahan karya-karya ulama klasik tersebut secara besar-besaran (Lewis, 1993).
Kedua, kitab kuning berisi pandangan para pemikir Islam yang heterogen dengan beragam perdebatan yang terjadi di dalamnya. Hal ini membuat wawasan keagamaan masyarakat pesantren tidak hanya terkungkung oleh satu doktrin pemahaman tunggal. Mereka mendapati bahwa tafsir keagamaan sebagaimana yang mereka temukan dalam kitab kuning, kaya akan perbedaan. Justru karena perbedaan itulah, setiap Muslim memiliki keleluasaan untuk memilih pandangan yang paling diyakininya benar, dengan tetap menghormati pandangan yang lain.
Hal ini tentu tidak akan kita jumpai dalam pemahaman keagamaan kelompok skriptural yang cenderung mereduksi kebenaran ke dalam satu pandangan. Bagi mereka, tidak ada kebenaran selain apa yang mereka yakini benar. Dan sebagai konsekuensinya, kelompok ini tidak sungkan menegakkan supremasi keyakinannya dengan menumpahkan darah saudaranya yang mengimani pandangan lain.
Ketiga, kitab kuning adalah ensiklopedia pendapat para pemikir Muslim di setiap masa mengenai topik keagamaan tertentu. Kitab kuning adalah arkeologi pengetahuan yang mencerminkan dinamika pemikiran keislaman dari waktu ke waktu. Bukti arkeologis tersebut membawa kepada satu kesimpulan, bahwa pemikiran Islam senantiasa responsif dengan situasi kekinian serta adaptif terhadap dinamika lokalitas. Paradigma ini yang kemudian menjadi pandangan keagamaan masyarakat pesantren sehingga mampu menampilkan wajah agama yang membumi, dan dalam lembaran sejarahnya menjadi penopang tegaknya harmonisasi Islam dan kebangsaan.
Pemahaman agama yang selalu membuka diri menerima nilai dan karakteristik lokal inilah yang akhirnya diharapkan dapat membentuk umat yang beragama sekaligus berbudaya. Pemahaman yang hanya mentransendenkan agama dengan berusaha dicabut dari dimensi lokalitasnya, apalagi dipertentangkan dengannya, hanya akan menyuburkan lahirnya praktik beragama yang intoleran dan ahistoris. Dan pada akhirnya, jauh dari nilai-nilai keadaban yang menjadi fitrah di dalam semua agama-agama di muka bumi.
Penulis adalah penikmat kajian sosiologi agama, sedang menempuh pendidikan doktor Ilmu Sosial di Fisip Universitas Airlangga Surabaya. Pernah nyantri dan menjadi pengurus PC Lakpesdam NU Bondowoso.