Oleh R. Ahmad Nur Kholis
Istilah “khobhung” dalam bahasa Madura merujuk pada sebuah bangunan kecil terbuat dari bahan yang sebagian besar adalah bambu. Bangunan kobhung ini dimiliki oleh sebagian besar—atau bisa dikatakan semua—masyarakat Madura. Bangunan ini biasanya dibangun di halaman depan rumah di bagian barat dan menghadap ke timur. Hampir semua bangunan—jika tidak boleh mengatakan semua—kobhung di Madura bentuknya menyerupai balok. Kecuali bagian atasnya yang dibuat layaknya genteng rumah pada umumnya masyarakat Indonesia.
Bangunan kobhung bisa ditemui pada--dan dimiliki oleh—setiap keluarga di Madura. Umumnya keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak memiliki satu bangunan kobhung di halaman rumahnya. Keluarga besar yang tinggal satu rumah atau berdekatan memiliki satu bangunan kobhung dalam satu kompleks. Namun ada juga yang memiliki lebih dari satu.
Bangunan kobhung umumnya dimiliki oleh masyarakat biasa, dan bukan masyarakat elite agama seperti kiai dan ustadz. Hal ini karena di rumah kiai dan ustadz sudah ada mushala atau masjid yang mana fungsi utama dari kobhung itu sudah terwakili oleh keduanya meskipun tidak bisa semuanya. Beberapa kiai pesantren juga ada yang membangun kobhung meskipun sudah memiliki masjid untuk setidaknya menerima tamu di sana. Atau sebagai tempat acara keagamaan yang melibatkan masyarakat umum.
Hampir semua konstruksi kobhung di Madura sejak dulu dibangun mirip semacam rumah panggung di Sumatera. Bangunan ditopang dengan empat sampai sembilan tiang kayu atau bambu di bagian bawahnya. Kemudian setinggi seperempat atau setengah meter bangunan dihamparkan bambu yang dipotong kecil dan panjang ditata menghampar sebagai lantainya. Kecuali sisi depan yang terbuka secara keseluruhan, semua sisi balok dari bangunan kobhung ini tertutup dengan anyaman bambu yang dalam bahasa Madura disebut ‘tabing’ (Jawa: gedhek). Pada akhir-akhir ini, sudah bisa ditemui beberapa kobhung di Madura yang sudah tak lagi dibangun dengan konstruksi rumah panggung dan sudah menggunakan bahan kayu.
Dalam tradisi orang Madura, bangunan kobhung ini memiliki banyak fungsi, baik dalam segi tradisi sosial, agama, maupun ekonomi. Dalam tradisi sosial, bangunan kobhung dalam masyarakat Madura dapat berfungsi dalam beberapa hal, seperti tempat bersantai dan bercengkrama keluarga, menerima tamu, juga tempat beristirahat para tamu atau sanak famili yang berkunjung dari jauh. Bangunan kobhung yang biasanya terletak di halaman rumah (rata-rata di halaman bagian barat dan menghadap ke timur) membuat siapa yang berada di kobhung itu menjadi nyaman merasakan angin yang sepoi-sepoi. Dalam kondisi begitu, suasana kebersamaan keluarga menjadi sedemikian nyaman. Tamu yang beristirahat pun menjadi enak karena penat hilang dan pikiran tenang.
Jika saja si tuan rumah menyelenggarakan acara kemanten (upacara pernikahan), kobhung juga difungsikan untuk menyelenggarakan akad nikah. Undangan VIP khusus tokoh-tokoh semacam kiai dan ustadz kampung juga biasanya di dalam kobhung itu. Sedangkan undangan masyarakat umum digelarkan tikar, karpet atau terpal di depan kobhung atau di halaman rumah shahibul hajat.
Dalam tradisi keagamaan, kobhung bagi masyarakat Madura dapat difungsikan sebagai tempat shalat keluarga. Tamu yang datang pun biasanya shalat di sana. Bangunan yang diletakkan di posisi sebelah barat halaman dan menghadap ke timur rupanya mengikuti bangunan masjid. Sehingga masyarakat juga bisa mengetahui arah kiblat dengan melihat kobhung itu. Sejauh penulis mengamati, beberapa kobhung yang penulis temui di daerah pamekasan memiliki tempat pengimaman (mihrab). Hal ini menunjukkan fungsi spesifik dalam kehidupan keagamaan masyarakat Madura.
Selain itu, masyarakat Madura juga memanfaatkan fungsi kobhung ini dalam ritual-ritual keagamaan lain yang melibatkan masyarakat sekitarnya. Tahlilan, Mauludan, dan juga hajatan kecil yang melibatkan tetangga-tentagga pemilik kobhung juga dilaksanakan di sana. Hal ini logis karena undangan yang banyak biasanya menyebabkan ruang tamu di rumah tidak mencukupi.
Dari sudut pandang kegiatan ekonomi masyarakat, kobhung oleh masyarakat Madura difungsikan sebagai tempat menimbun hasil panen pertanian. Bisa berupa pertanian padi, jagung atau lainnya, namun seringnya hasil pertanian yang disimpan di situ adalah tembakau. Tembakau yang sudah dipetik daunnya disimpan secara tertata rapi di dalam kobhung itu. Kemudian sehari atau dua hari kemudian para tetangga diundang untuk bersama-sama menggulung daun-daun itu menjadi gulungan sebesar lengan orang dewasa.
Jika saja semua daun itu sudah digulung, maka malam harinya langsung dirajang menjadi potongan kecil-kecil seperti tembakau yang kita temui dalam rokok itu. Akan tetapi proses tidak hanya berhenti sampai di sini, melainkan setelah itu rajangan tembakau tersebut harus dijemur selama beberapa hari sampai kering hingga kemudian siap dijual ke gudang. Hal yang perlu dicatat di sini dalam kaitannya dengan fungsi kobhung adalah bahwa semua kegiatan dari penimbunan hasil panen sampai proses perajangan itu dilaksanakan di kobhung atau di depannya.
Bangunan yang menyerupai rumah panggung mini, menjadikan bagian bawah kobhung ini kosong (Jawa: glowong). Tempat di bagian bawah ini oleh masyarakat difungsikan seperti gudang penyimpanan kayu bakar. Juga dapat berfungsi sebagai tempat beristirahatnya ternak seperti ayam, bebek atau itik di siang hari. Beberapa ternak seperti itik bahkan tidak dibikinkan kandang dan berada di bawah kobhung meskipun malam hari.
Penulis belum mengetahui sejarah mengenai bagaimana dan sejak kapan budaya memiliki kobhung di masyarkat Madura itu dimulai. Yang jelas budaya kobhung sudah sedemikian melekat dalam diri masyarakat di sana dan merupakan sebuah budaya yang unik.
Penulis adalah kader NU kelahiran Pamekasan Madura; alumni Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma)
--------------
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo