Seperti kata Benedict Anderson, bangsa (nation) merupakan komunitas yang dibayangkan (imajined community). Dikatakan demikian, karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.
Kenyataan besar sebuah bangsa adalah sebuah entitas budaya, antropoligical in nature. Entitas budaya alamiah ini baru akan menjadi komunitas politik ketika konsep antropolosgis itu ditiupkan sebuah ruh berupa bayangan tentang kebersamaan, solidaritas dan kesetiakawanan. Dengan demikian, sebuah bangsa, komunitas politik, digerakkan sebuah imajinasi, cita-cita dan bayang-bayang akan persamaan identitas. Dalam gerak bayang-bayang imajinatif itu, segala unsur kebudayaan yang masuk dalam kategorisasi persamaan, masuk dalam kualifikasi dan batas-batas kesamaan, berusaha untuk disatukan.<>
Dalam konteks Indonesia, kategorisasi atau batas-batas kesamaan ini dibangun berdasarkan kesamaan nasib dan sejarah: kolonialisme. Ketika imperailisme mulai mencengkramkan kukunya di seluruh Nusantara, maka saat itulah para anak-anak bangsa merasa berada dalam satu sejarah dan satu nasib yang sama yakni nasib sebagai pihak yang terjajah. Kesamaan sejarah ini akhirnya menjadi unsur bangunan bayang-bayang citra sebagai komunitas politik Indonesia. Maka, seluruh daerah Indonesia yang masuk dalam daftar persamaan sejarah penjajahan ini dibayangkan sebagai bangsa Indonesia.
Runtuhnya Imajinasi Kebangsaan
Di usianya yang ke-63, Indonesia mengalami masalah kebangsaan yang serius. Komunitas politik yang awalnya sudah berhasil dibayangkan sebagai semangat kebangsaan Indonesia kini mulai pudar. Dalam orasi budayanya di Kanisius, Yogyakarta, (29/7/2008), Komaruddin Hidayat memberikan ilustrasi yang menarik masalah kebangsaan tersebut. Bentuk kebangsaan Indonesia adalah sebuah rumah yang di dalamnya sekarang mengalami kerusakan berat, atapnya bocor, dindingnya jebol, pintunya pecah dan sebagainya. Dalam kondisi yang compang-camping itu, rumah tersebut justru dihantam kekuatan dari luar berupa badai globalisasi yang dahsyat.
Karena itu, rumah yang sudah keropos itu sekarang akhirnya ambyar berkeping-keping. Hal ini menjadikan rakyat Indonesia tidak mempunyai rumah kebangsaan sebagai tempat berteduh. Sebagai gantinya, lanjut Komaruddin, rakyat Indonesia sekarang membuat kamar-kamar kecil dan rumah-rumah kardus yang berupa partai politik, organisasi massa dan bentuk-bentuk kolektivitas lainnya. Kamar-kamar kecil atau rumah—rumah kardus itu, oleh para penghuninya, saat ini tengah digambarkan atau dianggap sebagai rumah kebangsaan Indonesia.
Hal itu menujukkan bahwa Indoensisa, dalam konteks pembayangan kebangsaan, tengah mengalami fragmentarisme ke dalam bentuk—bentuk primordialisme dan komunalisme. Bentuk-bentuk komunalisme ini ada yang berlatar belakang suku, agama maupun budaya. Dalam kondisi demikian, imajinasi kebangsaan Indonesia, yang pernah menjadi payung atau rumah bersama, sekarang tengah runtuh. Dalam hal ini, mayoritas orang Indonesia lebih fanatik menjadi anggota komunitas, lebih bangga menjadi anggota suku dan lebih percaya diri menjadi anggota kelompok dari pada menjadi rakyat Indonesia. Akibatnya, Indonesia sekarang dilanda krisis toleransi, tenggang rasa yang lemah dan kekerasan
antarkelompok.
Memang, sebagai bentuk kolektivitas politik yang terbayangkan (imagined political community), nama bangsa Indonesia bukanlah bentuk final yang sudah terpatok batas-batas kepastian. Indonesia sebagai kenyataan besar sebuah negara, yang batas wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke, memang sudah menjadi dalam realitas, tetapi sebagai semangat, sebagai konsep, sebagai bangsa Indonesia, nampak terus berada dalam proses, masih berada dalam pergulatan yang terus-menerus dan idealisasi untuk mencapai target tertentu. Ia merupakan suatu entwurf, proyeksi, baik dalam dimensi ruang dan waktu. Martin Heidgger boleh dipakai di sini, dan dalam bahasa manajemen modern bangsa menjadi proyek untuk dikerjakan, diolah, sehingga bangsa menjadi suatu mode of existence. (Daniel Dakhidae: 2001)
Karena itu, dalam istilah Goenawan Muhammad (2002), sebuah bangsa pada akhirnya memang sebuah upaya. "Indonesia adalah sebuah ikhtiar dari jutaan orang yang berbeda-beda yang mencoba hidup bersama dalam satu komunitas. Dalam proses perjalanannya menemppuh cita-cita yang diikhtiarkan, dalam proses aktivitas pengolahan proyek menjadi mode of existence itu, seringkali Indonesia tersandung batu karang sehingga membuatnya jatuh bangun dan menyebabkan dirinya retak. Retaknya bangunan bangsa itu ditandai lunturnya semangat nasionalisme masing-masing penghuninya.
Saatnya dibangun kembali
Karena itu, saatnya sekarang kita membangun kembali imajinasi kebangsaan Indonesia. Imajinasi kebangsaan itu kita yang sekarang terperangkap dalam kelompok-kelompok kecil itu saatnya kita sambungkan dengan kelompok-kelompok lain menuju kesatuan yang holistik. Kita harus sadar bahwa saatnya kita keluar dari kamar-kamar kecil atau rumah-rumah kardus yang sekarang kita anggap sebagai bangsa itu dan kemudian kita upayakan untuk menyatukan rumah-rumah dan kamar-kamar itu kembali dengan ikatan nasionalisme.
Nasionalisme yang sekarang mulai luntur harus kita kencangkan kembali untuk mengikat dan membangun semangat kebangsaan Indonesia. Untuk menghidupkan semangat nasionalisme ini, maka kita perlu merevitalisasi budaya multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam semangat ini, maka setiap unsur kebangsaan: suku, ras, agama, kelompok, partai politik dan sejenisnya, harus menekan emosi chauvinismenya atau semangat primordialismenya, dan rela "mewakafkan" semangat itu untuk membangun rumah kebangsaan nasional. Hal inilah yang dicontohkan para pendiri bangsa kita ketika pertama kali membangun rumah kebangsaan Indonesia melalui upacara Sumpah Pemuda 1928.
Saat itu, masing-masing pihak saling berjabat tangan meminimalisir semangat kedaerahannya demi terwujudnya cita-cita imagined political community yang kuat. Setiap subyek yang terlibat dalam pengerjaan proyek itu saling membuka diri dan menerima terhadap yang lain (the others). Karena itu, demi terbangunnya kembali bangunan kebangsaan kita, semangat 17 Agustus ini harus kita jadikan momentum untuk membangun keterbukaan dan budaya inklusif. Masing-masing "aku" suku, agama, ras dan kelompok harus menjunjung tinggi dan mengikuti apa yang disebut Derrida dengan “difference”.
Penulis adalah Koordinator Studi Filsafat "Sophos Alaikum" pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
3
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
6
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
Terkini
Lihat Semua