Opini

Menciptakan Sekularisasi Pendidikan di Pesantren

Ahad, 24 Agustus 2008 | 23:00 WIB

Oleh Muhibin A.M.

Keberadaan pesantren sebagai lembaga keagamaan kultural yang ingin bisa menjawab tantangan zaman, saat ini masih belum jelas kedudukannya. Peranannya dalam dunia global masih belum terlihat. Maka, tidak sedikit kemudian banyak orang yang merasa sangat pesimistis terhadap peran dan fungsi pesantren saat ini. Apalagi saat melihat kondisi dunia yang saat ini makin menantang siapa pun untuk berlomba-lomba membangun puncak peradaban. Sementara, pesantren tetap pada tempatnya tanpa ada pembaharuan yang cukup berarti.

Pendidikan pondok pesantren yang saat ini telah banyak berdiri dengan megah di berbagai tempat, baik di desa atau di perkotaan, secara keseluruhan belum mampu membekali santrinya memiliki keterampilan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat luas, dan tentunya selain dari bidang fikih yang sudah mentradisi. Sedangkan dunia kini makin maju dan membutuhkan kemampuan keahlian yang kompetitif dalam menghadapinya. Maka, tak dapat dielakkan jika pesantren selama ini tertuduh sebagai pencetak generasi pengangguran dan pencetak generasi miskin.<>

Meski saat ini pesantren memiliki pendidikan formal yang berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag), tampaknya hal itu belum mampu menjawab tantangan zaman. Pasalnya, kurikulum yang ditawarkan Depag lagi-lagi banyak memiliki kesamaan dengan kurikulum pendidikan pesantren yang diberikan secara kultural. Sehingga keinginan pesantren untuk ikut tampil dalam membekali anak-anak muda yang berbakat masih dalam taraf yang serba tanggung dan meragukan.

Jika diteliti lebih jauh, dunia pesantren sangat erat kaitannya dengan Nahdlatul Ulama (NU), dan NU sarat dengan golongan tradisionalis. Kaum tradisionalis, dalam pandangan umum, sangat erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan yang kebanyakan buta akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan itu sebenarnya bisa menjadi pertimbangan kalangan pesantren untuk membekali santri-santrinya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) jika ingin ikut serta mencerdaskan masyarakat Indonesia dari buta iptek, terutama masyarakat pedesaan. Sehingga kepulangan santri ke tengah-tengah masyarakatnya akan dapat memberikan manfaat yang besar terhadap perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakatnya dengan bekal keahliannya.

Melihat kondisi yang demikian memprihatinkan itu, maka sudah saatnya pesantren sebagai lembaga pendidikan yang ingin ikut serta mencerdaskan bangsa ini, mau tidak mau dituntut untuk melakukan perubahan yang sangat signifikan. Jika perlu dilakukan dengan radikal. Karena bagaimana pun, kurikulum Depag, sama saja dengan kurikulum pendidikan pesantren yang diajarkan secara kultural melalui metode bandongan dan sorogan. Sehingga tidak lagi memberikan kesempatan bagi santri-santrinya untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya.

Secara kualitatif, metode sorogan dan bandongan ini memang memiliki akuntabilitas yang tidak bisa dipandang remeh jika dibandingkan dengan metode pendidikan yang diajarkan berdasarkan kurikulum Depag. Apalagi ketika dua hal itu dihadapkan kepada publik. Maka, cukuplah kiranya pendidikan formal pesantren hanya mengajarkan kurikulum pendidikan yang bersifat umum dan pengembangan keterampilan. Sementara, pendidikan agama hanya cukup diberikan kiai dalam bentuk sorogan dan bandongan, sebagai pendalaman terhadap pengetahuan agama para santrinya.

Upaya ini akan lebih disebut sebagai sekularisasi pendidikan pesantren. Sekulerisasi pendidikan pesantren bukan berarti menghilangkan aspek tradisionalis pesantren yang telah lama berkembang. Justru di sini memiliki peran yang sama antara tradisionalis dengan modern, antara satu dengan yang lain tidak saling ikut mengurusi, tapi keduanya sama-sama memengaruhi satu obyek dengan seimbang, yakni santri sebagai obyek formalnya yang akan mengembangkan nantinya sesuai kondisi riil masyarakatnya.

Dalam hal ini pendidikan formal diharapkan hanya memberikan kurikulum yang bersifat pengetahuan umum dan keterampilan tanpa sedikit pun memasukkan kurikulum agama, dan terfokus pada bidang-bidang umum seperti (manjahit, teknik komputer, teknik informasi, tehnik mesin, perbankan, ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, kesehatan, bahasa asing, dan lain-lain). Sementara, para ulama dan kiai, secara kultural, tetap memberikan pendidikan agama melalui metode kulturalnya, seperti (hadist, fikih, tasawuf, akidah akhlaq, bahasa Arab, tafsir, lain-lain). Keduanya memang sengaja disekulerkan (dipisahkan), tetapi keduanya ini akan tetap menyatu dalam diri santri sebagai obyeknya. Hanya, metode penyampaiannya yang sengaja dipisahkan.

Jadi, begitu dihapuskan kurikulum pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan formal, maka akan lebih menghindarkan santrinya dalam pengulangan-pengulangan kurikulum yang memiliki banyak persamaan, baik dalam cara penyampaian, dalil-dalil yang digunakan, dan lain-lain, seperti dalam pembahasan masalah fikih kebersihan (thaharah).

Hal semacam ini sebenarnya telah dimulai oleh ulama pesantren masa lalu seperti yang pernah dilakukan KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ary, Pendiri NU) yang pernah mendirikan Madrasah Nidhamiah, yang tujuh puluh persen kurikulum pendidikannya bersifat pendidikan umum. Alasan Wahid Hasyim mendirikan pesantren model seperti ini tidak lain atas buah pikirannya yang menyatakan bahwa dari keseluruhan santri yang ada di pondok pesantren, tidak serta merta memiliki cita-cita yang sama untuk menjadi ulama. Namun, mereka memiliki beragam cita-cita. Sehingga dimungkinkan jika di pesantren secara monoton hanya mengajarkan pendidikan agama, maka cita-cita santri akan kandas di tengah jalan dan kembali ke masyarakat dengan tidak memiliki keahlian apa pun kecuali sebagai ahli di bidang agama. Namun, sayangnya ide pembaharuan ini ditolak mentah-mentah kalangan tradisionalis lainnya, yang pada saat itu sangat anti terhadap Barat.

Maka, kemudian, mampukah kita kalangan muda santri saat ini untuk menghidupkan kembali buah pikiran Wahid Hasyim yang telah banyak kita lupakan. Yang jelas, ilmu Allah bukan hanya ilmu agama dan ilmu Allah bukan hanya ilmu fikih. Ilmu Allah tidak ada yang mampu untuk menghitungnya. Jika kita membatasi diri terhadap ilmu pengetahuan, berarti kita telah membatasi ilmu Allah. (al Kahfi: 109) Generasi hipokritkah kita saat ini?

Penulis adalah peneliti pada FKiY, saat ini menjadi santri di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta