Robi Sugara
Kolomnis
Enam hari melakukan perjalanan ke Taiwan, saya menemukan Islam yang saya imajinasikan: Islam bukan sebagai simbolisme banyaknya masjid, perempuan berhijab, lelaki berjanggut dengan pakaian Arab, padatnya pengajian, tetapi Islam yang bersih, teratur, rapih, humanis, dan melebihkan imbalan pada siapa saja yang berdedikasi keras.
Islam di Taiwan
Penjelasan Islam di sini bukan membahas Islam pertama kali datang ke Taiwan atau penyebaran Islam di Taiwan. Akan tetapi, merefleksikan pengalaman Muhammad Abduh (1849-1905), seorang tokoh gerakan Islam dari Mesir. Dia takjub dengan Prancis yang begitu rapih, disiplin, dan bersih. Ini berbeda jauh dengan rumah yang ditinggalinya di Mesir yang mayoritas penduduknya Islam. Sementara Prancis, penduduknya bukan mayoritas Islam.
Dari ketakjubannya itu, Abduh mengatakan: “dzahabtu ilaa bilaad al-gharbi, raaitu al-Islam wa lam ara al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-‘arabi, raaitu al-muslimiin, wa lam ara al-Islam”. Saya pergi ke negara Barat, saya melihat Islam, tapi tidak melihat orang Muslim dan saya pergi ke negara Arab, saya melihat orang Muslim, tapi tidak melihat Islam.
Baca Juga
Ketika Warga Taiwan Jadi Anggota Banser
Refleksi perkataan Abduh itu, saya duplikasi menjadi seperti ini: Saya pergi ke Taiwan, saya melihat Islam namun tidak melihat masjid-masjid megah, perempuan berhijab, lelaki berjanggut dengan pakaian Arab, dan padatnya pengajian. Islam di sini sebagaimana disebutkan Abduh, yaitu tempat yang rapih, disiplin, dan bersih.
Taiwan dikenal juga Formosa yaitu pulau yang indah. Sistem transportasi yang sangat efisien, khususnya transportasi bawah tanah yang bersih, murah dan mudah terjangkau. Keindahan alam yang memukau, kotanya bersih, dan ketertiban masyarakatnya. Deskripsi seperti itu yang saya temukan ketika saya berkunjung ke Taiwan.
Akan tetapi, ketika saya balik ke negara Indonesia, saya melihat beberapa masjid yang kotor, padatnya jamaah pengajian dengan penceramah yang berjanggut dan berjubah tengah marah, menghardik, dan mengejek kelompok lainnya.
Pengalaman reflektif Abduh dan saya menunjukkan adanya jurang antara nilai-nilai substansial Islam dengan ekspresi simboliknya dalam kehidupan sosial. Di satu sisi, praktik kejujuran, kedisiplinan, keteraturan, dan etos kerja yang mencerminkan nilai-nilai Islam justru tampak hidup dalam tatanan masyarakat yang tidak menampilkan simbol-simbol keagamaan secara dominan.
Di sisi lain, maraknya simbol dan ritual keagamaan tidak selalu berbanding lurus dengan tumbuhnya sikap etis, kebersihan, dan keluhuran akhlak dalam ruang publik. Dari pengalaman ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa agama yang kita yakini tidak penting. Namun, pengalaman Taiwan—yang bahkan status kenegaraannya di tingkat internasional masih dipersoalkan dan tidak didasarkan pada agama tertentu dalam penataan wilayahnya—menunjukkan bahwa kerapian, kedisiplinan, dan kebersihan ruang publik dapat terwujud melalui etika sipil dan tata kelola yang konsisten.
Taiwan bukan Negara Agama
Taiwan bukanlah entitas politik yang sejak awal pendiriannya diwarnai oleh perdebatan konstitusional mengenai dasar negara yang merujuk pada agama tertentu. Secara resmi, Taiwan menggunakan nama Republic of China (ROC). Pemerintahan ROC, yang dipimpin oleh Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok), mulai menjalankan yurisdiksinya atas Taiwan pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II. Sebelumnya, Taiwan berada di bawah kekuasaan kolonial Jepang berdasarkan Perjanjian Shimonoseki tahun 1895, ketika Dinasti Qing menyerahkan Taiwan kepada Jepang.
Pada 28 Februari 1947, Republik China (ROC) mengalami ketegangan sosial dan politik yang serius, yang kemudian dikenal sebagai Insiden 28 Februari, di tengah eskalasi konflik internal yang lebih luas dengan Partai Komunis Tiongkok. Pada 1949, ROC mengalami kekalahan dalam perang saudara dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Taiwan.
Sejak itu, ROC menjalankan otoritas de facto atas Taiwan, sementara Republik Rakyat Tiongkok (People’s Republic of China/PRC) berdiri dan menguasai wilayah daratan Tiongkok. Selanjutnya, pada 25 Oktober 1971, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 2758, yang mengakui PRC sebagai satu-satunya perwakilan sah Tiongkok di PBB dan badan-badan internasional. Sejak keputusan tersebut, posisi Taiwan dalam politik internasional menjadi semakin terbatas dan terpinggirkan.
Sebagaimana Indonesia, Taiwan pada masa awal pemerintahannya berada di bawah rezim otoriter yang diberlakukan melalui status darurat militer. Periode ini dikenang sebagai Jing-Mei White Terror, yang merujuk pada pengalaman traumatis generasi muda dan keluarga Taiwan akibat represi politik rezim Kuomintang dalam rentang 1947–1987. Masa tersebut ditandai oleh penindasan sistematis oleh negara, meliputi penangkapan sewenang-wenang, pengadilan militer, penyiksaan, pemenjaraan, hingga eksekusi terhadap individu yang dicurigai sebagai “anti-pemerintah” atau “komunis”. Korban penindasan ini banyak berasal dari kalangan intelektual, mahasiswa, guru, aktivis, serta warga sipil.
Namun, sejak akhir 1980-an, Taiwan mengalami proses demokratisasi yang mendalam, yang ditandai oleh pelaksanaan pemilu bebas, pergantian kekuasaan secara damai, serta berkembangnya identitas politik Taiwan. Di tengah kemajuan signifikan tersebut—baik dalam bidang politik domestik, ekonomi, maupun teknologi—Taiwan tetap menghadapi tekanan dari kebijakan pemerintah Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok/RRT) mengenai One China Policy, yang menegaskan bahwa hanya ada satu China dan Taiwan merupakan bagian yang tidak terpisahkan darinya.
Dampak dari kebijakan ini adalah tidak diakuinya Taiwan sebagai negara berdaulat dalam sistem internasional, serta adanya tekanan diplomatik dari Tiongkok terhadap negara-negara lain agar tidak menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan.
Dengan demikian, posisi Taiwan saat ini adalah bukan anggota PBB dan hanya diakui secara diplomatik oleh sejumlah kecil negara di dunia. Bahkan Amerika Serikat, meskipun berperan penting dalam menjaga keamanan Taiwan dalam kerangka kebijakan One China Policy, tidak menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan.
Namun demikian, Amerika Serikat memberikan fasilitas bebas visa kepada pemegang paspor Taiwan. Secara lebih luas, pemegang paspor Taiwan memperoleh akses perjalanan yang kuat, dengan lebih dari 160 negara dan wilayah yang memberlakukan fasilitas bebas visa (visa-free), visa saat kedatangan (visa on arrival), atau visa elektronik (e-visa).
Taiwan, meskipun tidak diakui sebagai negara berdaulat secara internasional, merupakan salah satu contoh entitas politik yang mampu bertahan (survive) di tengah kerasnya sistem internasional yang anarkis (international anarchic system). Taiwan tidak menempuh jalan deklarasi kemerdekaan yang kontroversial, tidak mengandalkan perlawanan bersenjata, serta relatif menghindari pernyataan-pernyataan politik yang bersifat provokatif dan kontraproduktif terhadap Tiongkok.
Sebaliknya, Taiwan memantapkan posisinya melalui pembangunan kapasitas domestik, khususnya di bidang ekonomi dan teknologi. Saat ini, Taiwan diakui sebagai salah satu produsen terkemuka dunia dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, hubungan Taiwan dengan masyarakat internasional juga tercermin dari keberadaan sekitar 328 ribu warga negara Indonesia di Taiwan, termasuk sekitar 20 ribu pelajar yang menempuh pendidikan melalui berbagai program beasiswa Taiwan.
Belajar Islam sampai ke Taiwan
Kunjungan saya ke Taiwan merupakan bagian dari program yang diselenggarakan oleh The Habibie Center, yang berlangsung pada 19–25 Oktober 2025. Kegiatan ini berupa kunjungan sekaligus pertukaran gagasan dengan tema “Strengthening Taiwan–ASEAN Cooperation Amid Geopolitical and Economic Dynamics in the Indo-Pacific”. Dalam kunjungan tersebut, saya berpartisipasi sebagai perwakilan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setibanya saya di Taiwan, tepatnya di Taipei, kota tersebut diselimuti hujan gerimis. Prakiraan cuaca menyebutkan hujan disertai badai, bahkan pemerintah Taiwan sempat meliburkan sekolah. Hujan hampir tidak berhenti hingga kepulangan kami dari Taiwan. Menariknya, tidak terlihat genangan air sedikit pun di wilayah Taipei. Saya pun langsung membayangkan, seandainya kota saya di Jakarta diguyur hujan dengan intensitas serupa selama berhari-hari, barangkali sebagian wilayahnya sudah tenggelam.
Selama berada di Taiwan, saya melakukan serangkaian kunjungan, dialog, dan pembelajaran dengan berbagai aktor serta institusi penting, antara lain FactCheck Center, National Chiang Kai-shek Memorial Hall, Far Eastern Memorial Hospital, ASEAN and Indo-Pacific Studies Center–Tamkang University, Chung Hua Institution for Economic Research, Prospect Foundation, Taiwan-Asia Exchange Foundation (TAEF), Jing-Mei White Terror Memorial Park, Democratic Progressive Party (DPP), Kuomintang Chinese Nationalist Party (KMT), Taiwan People’s Party (TPP), Tainan District Agricultural Research and Extension Station, World Vegetable Center, serta Southern Taiwan Science Park.
Di sela-sela rangkaian kunjungan resmi tersebut, saya juga menyempatkan diri mengunjungi kantor Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan. Kehadiran PCINU menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama memiliki perwakilan organisasi di Taiwan, sebagai bagian dari jejaring internasionalnya. Secara keseluruhan, NU memiliki 31 perwakilan di berbagai negara, termasuk Taiwan. Saat ini, jumlah warga negara Indonesia di Taiwan diperkirakan mencapai sekitar 328 ribu orang, dan sekitar 95 persen di antaranya beragama Islam.
Di sela kunjungan tersebut, saya bertemu dengan Ketua Tanfidziyah NU Taiwan, Muhammad Ghofur, yang saat ini bekerja di Winner Laser, Yangmei, Taoyuan. Menurut Ghofur, mencari nafkah di Taiwan relatif tidak sulit, terutama karena pekerja asal Indonesia dikenal ulet dan disiplin. Bahkan, mahasiswa pun memiliki peluang kerja paruh waktu (part-time) yang cukup luas, selama memperoleh izin kerja (working permit) dari profesor atau pembimbing akademiknya. Sistem pengupahan juga dijalankan secara profesional dan transparan. Bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan, kondisi ini menjadi salah satu daya tarik utama tinggal di Taiwan. Situasi tersebut tampak kontras dengan kondisi di Indonesia, di mana kesempatan kerja bagi lulusan perguruan tinggi masih tergolong terbatas dan kompetitif.
Ghofur menjelaskan bahwa kehadiran Nahdlatul Ulama di Taiwan bermula dari upaya melayani warga Indonesia, baik yang bekerja maupun yang sedang menempuh pendidikan, yang sebagian besar beragama Islam. Pada umumnya, mereka juga merupakan penganut Ahlussunnah wal Jamaah. Saat ini, NU di Taiwan memiliki 13 ranting yang tersebar di berbagai wilayah. Menariknya, para pengurus di tingkat ranting tidak hanya berasal dari kalangan pelajar, tetapi juga dari pekerja Indonesia yang menetap dan bekerja di Taiwan.
Kondisi para pekerja Indonesia di Taiwan relatif sejahtera. Berbagai persoalan yang kerap muncul di sejumlah negara tujuan pekerja migran Indonesia—seperti masalah izin tinggal (overstay)—ditangani oleh pemerintah Taiwan melalui mekanisme administratif dan perlindungan hukum yang lebih tertata.
Dalam konteks ini, pekerja migran tidak serta-merta diperlakukan sebagai pelaku kriminal, melainkan ditempatkan sebagai subjek kebijakan ketenagakerjaan dan imigrasi. Pendekatan tersebut berbeda dengan pengalaman di beberapa negara lain, di mana persoalan serupa sering kali disertai dengan penanganan represif terhadap pekerja migran.
Contoh lain yang patut dicermati dan berpotensi ditiru oleh negara lain, khususnya negara-negara Muslim, adalah mekanisme insentif sosial-ekonomi yang diterapkan di Taiwan. Pemerintah Taiwan menyelenggarakan undian berhadiah bagi masyarakat melalui sistem kwitansi pajak dari setiap transaksi pajak belanja di minimarket atau swalayan, sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepatuhan pajak.
Selain itu, perusahaan-perusahaan juga memberikan imbalan (reward) yang cukup signifikan kepada pekerja ketika memperoleh keuntungan lebih dari laba yang ditargetkan. Dengan demikian, Taiwan menjadi contoh nyata bagaimana sebuah entitas politik—meskipun tidak terdaftar sebagai anggota PBB—mampu menghadirkan rasa aman, ketertiban, dan kesejahteraan bagi warganya maupun para pendatang yang bekerja keras untuk membangun kehidupan yang lebih baik, termasuk pekerja migran dari Indonesia.
Robi Sugara, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Terpopuler
1
Pesantren Lirboyo Undang Mustasyar PBNU hingga PWNU dan PCNU dalam Musyawarah Kubro
2
Khutbah Jumat: Dari Musibah menuju Muhasabah dan Tobat Kolektif
3
Khutbah Jumat Akhir Tahun 2025: Renungan, Tobat, dan Menyongsong Hidup yang Lebih Baik
4
Kiai Miftach Moratorium Digdaya Persuratan, Gus Yahya Terbitkan Surat Sanggahan
5
Khutbah Jumat: Dua Penyakit Lisan yang Merusak Tatanan Masyarakat
6
Khutbah Jumat: 4 Cara Sikapi Beda Pendapat dan Pandangan
Terkini
Lihat Semua