Menuju COP 30: Urgensi Agamawan Berkhotbah tentang Krisis Iklim
NU Online · Selasa, 4 November 2025 | 15:40 WIB
Muhammad Ichwan
Kolomnis
Krisis iklim hari ini bukan sekadar persoalan teknis atau sains semata. Ia adalah cermin dari kegagalan sistemik peradaban manusia yang menempatkan alam hanya sebagai sumber daya, bukan ruang kehidupan bersama. Menjelang Conference of the Parties ke-30 (COP 30) di Brasil pada November tahun ini, dunia Islam — termasuk para ulama, pesantren, dan komunitas keagamaan di Indonesia — dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sejauh mana agama berani bersuara terhadap ketidakadilan ekologis yang lahir dari keserakahan manusia?
Sebagai warga Nahdliyin yang bergiat dalam isu tata kelola hutan dan keadilan lingkungan, kami meyakini bahwa agama memiliki mandat moral untuk menegur sistem ekonomi yang menindas bumi. Krisis iklim bukan sekadar akibat dari perubahan cuaca, tetapi buah dari deforestasi masif, ketergantungan terhadap energi fosil, dan kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada akumulasi modal ketimbang keberlanjutan hidup.
Krisis Iklim: Deforestasi Global dan Keserahakan Ekonomi
Data global menunjukkan bahwa laju deforestasi masih menjadi persoalan serius dan berulang. Laporan terbaru FAO yang dirilis Oktober 2025 dan dikutip oleh Mongabay Indonesia menyebutkan bahwa setiap tahun dunia kehilangan hampir 11 juta hektare hutan. Angka ini menunjukkan bahwa berbagai komitmen global untuk menahan laju kehilangan hutan belum cukup efektif, bahkan cenderung stagnan dalam satu dekade terakhir.
Sementara itu, data Global Forest Watch (2024) mencatat kehilangan tutupan pohon alami mencapai 94,6 juta hektare dalam tiga tahun terakhir. Angka-angka tersebut menegaskan bahwa krisis iklim tidak lagi sekadar potensi, melainkan kenyataan yang mengancam daya dukung planet dan keseimbangan ekosistem.
Di tingkat nasional, Indonesia — sebagai negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia — menghadapi tekanan besar akibat ekspansi perkebunan, tambang batubara, dan kebijakan ekonomi ekstraktif. Paradigma pembangunan yang menempatkan alam hanya sebagai sumber devisa membuat ruang hidup masyarakat adat terpinggirkan dan ekosistem kehilangan daya pulihnya. Pemerintah memang berkomitmen pada target net-zero emission tahun 2060, namun langkah-langkah transisi energi masih berjalan lambat, sementara subsidi dan investasi energi fosil tetap mendominasi.
Di balik jargon pembangunan hijau, proyek-proyek besar justru sering membuka jalan bagi deforestasi baru, menggambarkan kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Krisis iklim dengan demikian bukan hanya soal teknis, tetapi masalah struktural dan moral — hasil dari sistem ekonomi yang menuhankan pertumbuhan dan menafikan keadilan ekologis. Alam yang semestinya menjadi amanah manusia justru diperlakukan sebagai objek konsumsi, padahal agama mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah, bukan pemusnah.
Landasan Teologis Larangan Kerusakan
Dalam tradisi Islam, manusia diposisikan sebagai khalifah fil ardh (wakil Allah di bumi). Amanah ini bukan berarti manusia bebas mengeksploitasi alam, tetapi justru dituntut untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56). Ayat lain menegaskan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS Ar-Rûm: 41). Dua ayat ini memberi pesan tegas: kerusakan lingkungan adalah akibat dari keserakahan dan kelalaian manusia. Maka, memperbaiki alam adalah bagian dari ibadah dan tanggung-jawab moral setiap mukmin.
Respons keagamaan formal dari dua lembaga utama di Indonesia menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bukan sekadar isu sekuler, melainkan telah dipandang dari ranah fiqih dan moral. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa No. 30 Tahun 2016 dan Fatwa No. 86 Tahun 2023 menegaskan bahwa pembakaran hutan dan lahan serta tindakan deforestasi yang memicu krisis iklim adalah haram. Fatwa ini juga mengajak umat untuk aktif dalam mitigasi dan adaptasi serta mendukung transisi energi yang berkeadilan.
Di sisi lain, Nahdlatul Ulama (NU) melalui keputusan Muktamar ke-29 (1994) dan berbagai bahtsul masail yang diikuti oleh gerakan lingkungan hidup NU menetapkan bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan mudarat hukumnya haram, bahkan bisa dipandang sebagai tindakan kriminal (jinâyat). Dari kedua sumber ini maka jelas bahwa dalam khazanah keagamaan Indonesia telah ada landasan kuat untuk mengatakan: kerusakan lingkungan dan iklim bukan hanya kesalahan teknis dan kebijakan, tetapi pelanggaran agama.
Menuju COP 30: Lima Agenda Nahdliyin Untuk Iklim
Dengan latar tersebut, maka pertanyaannya: Apa yang dapat dilakukan oleh agamawan, khususnya warga Nahdliyin dalam rangka menyambut COP 30? Setidaknya ada lima agenda praktis yang bisa di tawarkan:
Pertama, penguatan pendidikan dan dakwah ekologis. Agamawan, kiai, pengasuh pesantren, dan jaringan Nahdliyin perlu memasukkan narasi jihad lingkungan dalam tauhid-akhlak-sosial mereka. Mengangkat kisah alam sebagai ayat Allah, membicarakan tantangan iklim sebagai isu kemanusiaan dan spiritual, serta mengajak santri dan jamaah untuk mengubah gaya hidup yang ramah lingkungan: hemat listrik, minim sampah, konsumsi bertanggung-jawab. Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian dari kurikulum pesantren dan majelis taklim.
Kedua, advokasi kebijakan kehutanan dan iklim. kami melihat bahwa banyak kebijakan kehutanan, pengelolaan lahan, dan industri ekstraktif yang kurang memperhatikan keadaban lingkungan. Agamawan memiliki otoritas moral untuk mengadvokasi, menerjemahkan fatwa dan keputusan NU ke dalam kampanye publik, mendorong pemerintah daerah dan perusahaan untuk menjalankan amanah terhadap alam. Misalnya, memastikan izin pertambangan yang berlebihan dan deforestasi tanpa pengelolaan berkelanjutan ditolak secara moral dan legal.
Ketiga, mobilisasi komunitas dan jejaring pesantren. NU memiliki basis pesantren dan jaringan jamaah yang sangat besar. Ini menjadi modal sosial untuk membangun gerakan lingkungan berbasis umat: kampanye penghijauan, restorasi lahan, pelibatan masyarakat lokal dalam pemantauan keanekaragaman hayati, pelestarian hutan adat. Memanfaatkan momentum COP 30, komunitas Nahdliyin bisa menjadi agen perubahan lokal — sekaligus lapisan fondasi untuk agenda nasional.
Keempat, menyuarakan etika konsumsi dan produksi. Krisis iklim tak bisa dipisahkan dari gaya hidup manusia, pola konsumsi global, dan produksi skala besar yang menghasilkan emisi karbon serta limbah besar. Agamawan perlu membahas konsumsi berlebih, limbah, hakikat kebutuhan vs keinginan, serta koneksi antara kerusakan ekosistem dan kemiskinan. Di ranah kehutanan, pembakaran lahan, deforestasi untuk perkebunan monokultur, dan ekspansi besar-besar menjadi bagian dari masalah. Fatwa MUI dan keputusan NU telah menggarisbawahi hal ini. Maka, dakwah konsumsi bijak dan produksi berkelanjutan menjadi penting.
Kelima, sinergi internasional dan lokal menuju COP 30. Meskipun COP 30 adalah forum internasional, implikasi dan aksi nyata terjadi di tingkat lokal dan nasional. Agamawan dapat menjadi penghubung antara dialog global dan implementasi lokal: membawa pesan moral dari forum global ke pesantren, kampung, desa, dan komunitas. Pesan seperti “kami bagian dari solusi global” bisa disampaikan — serta menuntut agar pemerintah dan sektor swasta menepati komitmennya. Jaringan Nahdliyin dapat mengorganisir monitoring independen, pelaporan reputasi sosial/perusahaan terkait iklim, dan mengangkat narasi bahwa “agama peduli iklim” bukan hanya slogan tetapi gerakan nyata.
Tantangan dan Peluang
Tantangan utama dalam mengarusutamakan gerakan keagamaan untuk krisis iklim adalah rendahnya kesadaran ekologis, dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek, serta keterbatasan kapasitas teknis di tingkat komunitas. Banyak pesantren atau lembaga keagamaan belum memiliki sumber daya untuk menjalankan program lingkungan yang berkelanjutan.
Terkait kebijakan, sering terjadi bahwa dorongan investasi besar, pembangunan infrastruktur, ekspansi perkebunan komoditas dan pertambangan diprioritaskan dibanding perlindungan hutan, hak Masyarakat Adat, dan kelestarian ekosistem—sehingga potensi kerusakan sangat terbuka. Namun di sisi lain, peluangnya sangat besar.
NU memiliki basis sosial terbesar di Indonesia, dengan jaringan pesantren dan jamaah yang luas. Dengan dukungan fatwa MUI dan keputusan PBNU, gerakan keagamaan bisa menjadi kekuatan moral yang memengaruhi kebijakan publik. Selain itu, momentum COP 30 memberikan ruang bagi agama untuk berbicara di level global — menyuarakan keadilan iklim dari perspektif umat.
Seruan Moral: Bumi adalah Amanah
Menjelang COP 30, dunia memerlukan bukan hanya solusi teknologi, tetapi juga suara moral yang mengingatkan bahwa bumi adalah amanah, bukan objek eksploitasi. Sebagai warga Nahdliyin, kami percaya perubahan dapat dimulai dari khotbah agamawan di mimbar, pesantren, dan jamaah. Agama semestinya hadir tidak hanya saat bencana terjadi, tetapi juga mencegahnya melalui kesadaran ekologis dan tindakan nyata.
Kami mengajak agamawan: ulama dan kiai untuk memasukkan isu lingkungan dalam khutbah, majelis taklim, dan pendidikan pesantren—bahwa alam adalah amanah Ilahi yang harus dijaga. Jamaah dan santri diharapkan menumbuhkan gaya hidup ramah lingkungan: mengurangi konsumsi berlebih, menjaga hutan dan lahan, serta mendukung ekonomi lokal berkelanjutan.
Kepada pemerintah dan pelaku usaha, kami mengingatkan bahwa keadilan iklim bukan semata urusan antarnegara, melainkan tanggung jawab bersama terhadap manusia, alam, dan generasi mendatang. Pembangunan yang mengabaikan kelestarian alam adalah bentuk pengingkaran terhadap keagungan Tuhan.
Semoga COP 30 menjadi momentum taubat ekologis umat manusia, dan warga Nahdliyin menjadi teladan dalam membumikan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin — untuk bumi, untuk manusia, dan untuk masa depan. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11)
Muhammad Ichwan, Warga Nahdlyyin dan Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua