Opini

Orang Asing, Agama, dan Perang Asimetris

Jumat, 20 September 2019 | 07:30 WIB

Oleh Thobib Al-Asyhar

 

Indonesia adalah "pasar" (market). Pasar ekonomi, pasar ideologi, dan pasar keyakinan. Secara ekonomi sulit dibantah bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan. Tidak heran jika Indonesia menjadi salah satu target dagang negara-negara di dunia, khususnya Amerika dan China.

 

Letak geografis yang strategis dan jumlah penduduk yang besar (sekitar 260 juta orang) adalah peluang pasar ekonomi yang menggiurkan. Data World Economic Forum (WEF), Indonesia menduduki pasar ekonomi peringkat ke-9 dunia. Bahkan hasil suvei terbaru US News World Report, Indonesia dinobatkan sebagai negara terbaik untuk investasi yang menempati peringkat ke-18 dari total 80 negara.

 

Demikian juga Indonesia menjadi pasar ideologi yang diminati banyak kalangan. Sejak pra kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia selalu menjadi objek perebutan penyebaran ideologi besar dunia. Pecahnya perang dunia I dan II adalah akibat dari "perebutan" pengaruh isme-isme dunia, dimana Indonesia menjadi bagian dari pasar ideologi yang diperebutkan.

 

Demikian juga peristiwa G 30S/PKI tahun 1965, Malari tahun 1974, pembajakan pesawat Woyla Lampung tahun1981, kasus Tanjung Priok tahun 1984, gerakan reformasi tahun 1998, kerusuhan Ambon, Poso, dan beberapa peristiwa terorisme pasca reformasi merupakan bukti-bukti Indonesia sebagai pasar ideologi yang tidak pernah habis. Yang paling mutakhir adalah keputusan pengadilan atas larangan Ormas HTI (2018) di Indonesia sebagai bentuk proteksi terhadap Pancasila dari serangan ideologi khilafah.

 

Sepanjang keberadaan Indonesia sebagai negara demokrasi berdasarkan empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) telah dan akan selalu mendapat tantangan ideologi yang datang dari manapun. Belum lagi pengaruh ideologi modern yang kini terus menyerang Indonesia, seperti hedonisme, konsumerisme, liberalisme, dan lain-lain.

 

Lalu bagaimana dengan pasar keyakinan? Meski Indonesia bukan negara agama, tetapi posisi agama sangat mulia dan strategis bagi berdirinya "nation-state". Nilai-nilai agama menjadi nafas penting bagi tegaknya norma dan nilai-nilai kebangsaan kita.

 

Sila pertama Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah ruh atas posisi agama bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan empat sila Pancasila lainnya juga diilhami oleh nilai-nilai luhur dari sila yang pertama.

 

Tingginya posisi agama bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal sebagai bangsa relijius dan berkeyakinan menjadikan negeri ini sebagai objek penting pengembangan pasar keyakinan. Tidak heran jika setiap kali muncul klaim agama atau keyakinan baru di suatu tempat selalu ada pengikutnya.

 

Hampir di setiap periode tertentu ada orang yang tidak diketahui latar belakang hidupnya tiba-tiba muncul mengaku sebagai nabi baru, rasul baru, imam mahdi, dan semacamnya. Anehnya, ada saja orang yang percaya dan menjadi pengikut setianya, meski harus mempertaruhkan seluruh "kehormatan" atau paham sebelumnya.

 

Kasus pengakuan seseorang menjadi nabi/rasul baru seperti Ahmad Mushadeq, Lia Eden, Gafatar, Ubur-ubur, dan masih banyak lagi adalah contoh betapa Indonesia menjadi pasar keyakinan yang sangat potensial dan akan terus ada sepanjang kehidupan ini. Meski zaman semakin modern dan akses informasi sangat luas, tetap saja ada orang Indonesia yang percaya pada orang-orang yang mengaku sebagai nabi/rasul baru.

 

Uraian tersebut memperlihatkan betapa Indonesia menjadi "pasar" dunia yang sangat memberi harapan. Pasar yang selalu menarik bagi kelompok-kelompok kepentingan, baik dari dalam maupun luar negeri. Apalagi di zaman kemajuan teknologi informasi seperti ini yang membentuk ruang dan negara tanpa batas (borderless dan stateless). Lalu bagaimana sikap kita untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara dari semua ancaman itu?

 

Orang Asing dan Perang Asimetris

 

Sebagai negara demokrasi dengan kekayaan alam dan penduduk yang besar, Indonesia tentu tidak dapat menolak orang asing yang datang dengan berbagai tujuan. Selama seluruh dokumen telah memenuhi syarat dan secara formal tidak pernah bermasalah, maka tidak ada alasan untuk menolak orang asing datang ke negara kita.

 

Apalagi Indonesia bukan lagi sebagai negara transit, tetapi menjadi negara tujuan. Kita semua tahu, banyak warga dunia saling berebut pengaruh untuk mendapatkan "kue" dari pasar Indonesia, baik ekonomi, ideologi, maupun keyakinan.

 

Secara ekonomi, Indonesia telah mempersiapkan diri dengan baik. Besarnya potensi pasar ekonomi telah dijadikan daya tawar negara untuk mengembangkan ekonomi Indonesia di mata dunia. Dengan target-target tertentu, Indonesia diprediksi pada tahun 2030 menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat setelah China, India, dan Amerika (Bloomberg, 2018).

 

Namun, yang menjadi persoalan, banyak kepentingan terselubung terhadap NKRI, baik dari kelompok dalam maupun luar negeri. Tidak sedikit propaganda asing yang kita rasakan, baik langsung maupun tidak langsung yang ingin merobohkan sendi dan pilar kebangsaan kita.

 

Harus disadari, NKRI yang tegak berdiri ini, kekayaan alam melimpah, rakyatnya rukun dan damai dalam kemajemukan serta perekonomian yang terus membaik telah menimbulkan kecemburuan bagi sebagian bangsa lain atau sebuah kekuatan tertentu. Apalagi Indonesia dihuni oleh penduduk mayoritas muslim yang oleh teori Samuel P. Huntington akan (telah) terjadi benturan antar peradaban (clash of civilizations) dimana Indonesia menjadi salah satu bagiannya.

 

Dalam konteks NKRI sebagai negara demokrasi yang bukan negara agama tetapi menjunjung tinggi nilai-nilai agama akan mengalami berbagai ancaman. Ada yang ingin Indonesia menjadi negeri sekuler. Ada pula yang ingin NKRI diganti dengan sistem politik khilafah. Bahkan ada pula yang secara ekstrem ingin NKRI bubar seperti Uni Soviet, Yugoslavia, atau kondisi umum Timur Tengah mutakhir.

 

Apalagi saat ini kita sedang mengalami perang proxi yang sesungguhnya. Sebuah pertarungan besar dan panjang tetapi tidak jelas mana lawan dan kawan. Orang menyebutnya sebagai perang asimetris, yaitu perang yang tidak melibatkan pasukan dan senjata fisik melainkan melibatkan ide-ide cerdik untuk menjatuhkan lawan dengan menggunakan strategi dan cara-cara modern. Area-nya tidak dapat diukur dan dilihat, tetapi memiliki dampak yang nyata.

 

Salah satu bentuk "alat" perang asimetris adalah kehadiran orang asing di negeri kita. Apalagi pemerintah pusat telah  menetapkan kebijakan BVK (Bebas Visa Kunjungan) selama 2 tahun kepada 169 negara. Warga asing dari negara-negara itu boleh masuk ke negeri tercinta ini tanpa visa untuk berbagai kepentingan, misalnya wisata, kunjungan kepada keluarga, ceramah dan seminar di kampus, dan lain-lain selama tidak berhubungan dengan aktifitas ekonomi.

 

Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menarik wisatawan asing berkunjung ke Indonesia sebanyak-banyaknya. Namun yang perlu segera disadari, bahwa para pendatang asing ke sini bisa menggunakan baju apapun. Seorang jurnalis, seorang mantan angkatan bersenjata, seorang intelejen, dan lain-lain dengan berbagai kepentingan-kepentingan terselubung.

 

Belum lagi kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam berbagai keahlian, seperti dosen, peneliti, pekerja profesional, termasuk di dalamnya rohaniawan. Para tenaga ahli asing ini perlu mendapat pengawasan yang ketat sehingga masuknya mereka di Indonesia harus dipastikan memberi manfaat positif bagi bangsa ini.

 

Namun satu hal yang harus diwaspadai bahwa bisa jadi mereka melakukan "double agent" (dua peran), termasuk di dalamnya sebagai agen rahasia sebuah negara atau kelompok kepentingan untuk menghancurkan NKRI, seperti menumbuhkan sikap separatisme dan penyebaran ideologi yang dapat merusak konsesus dan sistem nasional.

 

Dalam konteks tugas dan fungsi Kementerian Agama adalah melakukan pengawasan orang asing bidang agama, khususnya para rohaniawan, dosen, peneliti, mahasiswa, dan pelajar asing yang ditempatkan di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita terhadap kehadiran mereka adalah:

 

Pertama, kehadiran mereka ke Indonesia harus benar-benar memberikan kontribusi positif bagi pengembangan masyarakat. Untuk dosen, guru, atau peneliti harus memberikan dampak nyata kepada pengembangan pola pikir (paradigma) dan wawasan keilmuan di dunia kampus atau lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, seperti pondok pesantren, madrasah, lembaga pendidikan gereja, Hindu, Buddha, Konghucu, atau lainnya. Bagi mahasiswa, pelajar, dan santri asing juga harus dipastikan menjadi bagian kontribusi konkrit Indonesia dalam ikut serta memajukan warga dunia.

 

Kedua, kehadiran orang asing tidak boleh membuka ruang sebagai salah satu pintu masuknya anasir kepentingan asing dalam perang proxi dengan menggunakan berbagai baju yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Sudah lama muncul asumsi bahwa orang asing gencar melakukan "serangan" dari dalam kepada NKRI dengan mengajarkan benih-benih separatisme di berbagai wilayah.

 

Khusus untuk kehadiran rohaniawan asing memang cukup krusial karena areanya sangat sensitif dan perlu kehati-hatian agar tidak menimbulkan persoalan baru karena faktanya pembinaan nilai-nilai keagamaan perlu menjangkau seluruh wilayah terpencil dan terdalam yang membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, khususnya pihak keamanan dan masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam pengawasan mereka.

 

Para rohaniawan asing harus benar-benar membawa "cahaya" bagi kehidupan umat beragama. Mereka tidak boleh membawa "racun" bagi umat beragama, termasuk juga di dalamnya dilarang menjadi agen rahasia (spionase) sebuah kepentingan global untuk menghancurkan NKRI dari dalam.

 

Ketiga, orang asing juga tidak boleh secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi mengajarkan kepada masyarakat tentang ideologi radikal atau ajaran-ajaran agama yang mengarah ekstremisme untuk mengganti Pancasila yang sudah final sebagai dasar negara. Beberapa kekhawatiran muncul terhadap orang asing yang mengajarkan paham-paham agama yang cenderung keras sehingga dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat, permusuhan, perpecahan, bahkan pola pikir radikal yang dapat mengancam nilai-nilai kerukunan dan harmoni masyarakat.

 

Oleh karena itu, ulasan di atas merupakan catatan penting buat kita semua, bahwa kehadiran orang asing harus dipastikan tidak menjadi bagian dari perang asimetris yang dapat mengancam eksistensi kita sebagai bangsa yang damai dan harmonis dalam wadah NKRI. Sebagai negara demokrasi yang terbuka, kita harus tetap "welcome" bagi warga dunia, namun hal yang paling penting adalah kita wajib menjaga kelestarian budaya asli Indonesia, wisdom, persatuan, dan kesatuan bangsa.

 

Tentu ini menjadi tugas kita bersama di era perang asimetris yang sesungguhnya. Kita tidak boleh mudah terlena, harus tetap waspada akan keterlibatan "tangan-tangan" asing yang dapat mencabik-cabik keindonesiaan kita yang rukun, damai, dan toleran, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama dan budaya. Kementerian Agama adalah bagian dari sekian banyak unsur untuk memastikan NKRI tetap tegak berdiri menyongsong masa depan Indonesia yang gemilang.  

 

Wallahu a'lam

 

Penulis adalah dosen SKSG PPs UI, Alumni Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, Kabag KLN Kemenag RI