Muhammad Syakir NF
Penulis
Kolonialisme yang melanda Bumi Pertiwi melahirkan perlawanan luar biasa dari segenap penduduk negeri, tak terkecuali para kiai dan santri. Mereka bahu-membahu dengan masyarakat lainnya berjuang demi memerdekakan segenap bangsa dari derita penjajahan. Tidak lain, tidak bukan, hal tersebut karena kecintaannya terhadap negeri.
Perjuangannya tersebut membuahkan hasil yang memuaskan, yakni kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno dan Moh. Hatta pada Jumat, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1364. di Jakarta. Namun, perjuangan mereka tidak berhenti sampai di situ.
Pasalnya, pihak sekutu datang kembali untuk mengoyak-oyak negeri yang sudah merdeka ini. Tak ayal, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai ulama rujukan pada zaman itu mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, mewajibkan umat Islam untuk berperang melawan koloni.
Tercetusnya fatwa tersebut melahirkan perlawanan hebat dari bangsa Indonesia hingga melahirkan perang 10 November 1945 yang dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Semua manusia dari berbagai tingkatan usia turun gelanggang di Surabaya.
Bahkan, KH Abbas Abdul Jamil, sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon saat itu, menjadi orang yang sangat dinantikan kehadirannya untuk memimpin jalannya pertempuran tersebut. Di usianya yang sudah tak lagi muda saat itu, 62 tahun, Kiai Abbas berada di garda terdepan menahan laju pesawat tempur yang siap membombardir ibukota Jawa Timur itu.
Memang, ada ribuan orang menjadi syahid pada peperangan tersebut. Namun, peperangan itu membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Sebab, sang panglima perang dari Inggris pun harus meregang nyawa pada 30 Oktober 1945, berbagai pesawat tempur meledak di udara, dan banyak hal yang secara nalar logika tidak mungkin, tetapi terjadi juga. Begitulah sikap patriotik masyarakat kaum santri. Kecintaan terhadap negeri bukanlah isapan jempol belaka, bukan pula hanya pada tataran wacana, tapi terimplementasikan dalam laku.
Para santri sudah sedari dulu bahu-membahu untuk memerdekakan bangsa ini dari belenggu kolonialisme. Mereka memperjuangkan segalanya, termasuk nyawanya, demi lepas dari kungkungan penjajah. Sebab, negara dan agama adalah dua hal yang membentuk simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Bahkan, ada juga yang menyebutnya sebagai dua sisi mata uang. Artinya, keduanya tidak bisa terpisahkan.
Dengan begitu, maka membela negara atau sikap patriotik adalah wajib karena bagian dari menjaga agama. Hal itu dikarenakan negara menjadi wadah tumbuhnya agama. Tanpa negara, mustahil agama akan tumbuh mengingat masyarakatnya akan terus disibukkan dengan peperangan tiada henti.
Syekh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul al-Fiqh (1942: 200) menjelaskan bahwa agama menjadi hal prinsip pertama. Agama dalam hal ini meliputi akidah, ibadah, hukum-hukum yang telah Allah syariatkan sebagai aturan hubungan dengan-Nya dan antarmanusia itu sendiri. Bahkan ia dengan tegas menyatakan bahwa menjaga agama dari musuhnya itu disyariatkan dan dianggap sebagai bagian dari jihad.
Mengingat menjaga kedaulatan dan keamanan negara menjadi wasilah dalam menjaga agama, maka melakukan jihad berperang melawan sekutu adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan demi melakukan ibadah dengan tenang di masa-masa berikutnya.
KH Abdul Wahab Chasbullah yang menjadi motor pergerakan perlawanan terhadap penjajah menciptakan bait-bait puisi berbahasa Arab sebagai pembangkit perjuangan tunas bangsa di Bumi Pertiwi. Ia memberi judul puisinya tersebut syubban al-wathan, Pemuda Tanah Air. Berikut syair lengkapnya:
يَا لَلْوَطَن يَا لَلْوَطَن يَا لَلْوَطَن
حُبُّ الْوَطَن مِنَ الْإِيْمَان
وَلَا تَكُنْ مِنَ الْحِرْمَان
اِنْهَضُوْا أَهْلَ الْوَطَن
إِنْدُونَيْسيَا بِيْلَادِيْ
أَنْتَ عُنْوَانُ الْفَخَامَا
كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْمَا
طَامِحًا يَلْقَ حِمَامَا
“Pusaka hati wahai tanah airku || Cintamu dalam imanku || Jangan halangkan nasibmu || Bangkitlah, hai bangsaku! || Indonesia negriku || Engkau Panji martabatku || S’yapa datang mengancammu || ‘Kan binasa di bawah dulimu!” || (Yahya Cholil Staquf, 2013)
Syair tersebut, sebagaimana ditulis Gus Yahya, diriwayatkan oleh K.H. Maimoen Zubair kepada Nusron Wahid dan Yaqut C. Qoumas sowan kepada Kiai Maimoen di Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
Menurutnya, ketika Mbah Mun, sapaan akrab KH Maimoen Zubair, mondok di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur yang diasuh oleh Mbah Wahab, dan belajar di sekolah “Syubbaanul Wathan”, di sana, murid-murid diwajibkan menyanyikan sebuah lagu yang diciptakan oleh Kiai Wahab Hasbullah pada tahun 1934 itu setiap hari sebelum masuk kelas.
Dalam beberapa ceramahnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa pembuatan syair dengan bahasa Arab tentu memiliki maksud agar pasukan Belanda tidak mengetahui maknanya, bahwa syair tersebut dilantunkan guna membangkitkan semangat juang kaula muda.
Bahkan, Mbah Maimoen juga dalam ceramahnya mengatakan syair tersebut dilantunkan saat marhabanan. Betapa spirit juang masyarakat santri berkobar-kobar saat itu mengingat syair tersebut senantiasa disenandungkan dengan nada penuh semangat.
Nyawa kaum santri sudah tak lagi terhitung diperjuangkan demi kemerdekaan negeri ini. Belum lagi harta benda yang entah sudah berapa banyak mereka habiskan di medan perjuangan, guna perbekalan dalam pertempuran, maupun demi meneruskan penghidupan keluarga yang ditinggalkan.
Sebab, mereka harus berhari-hari di tengah hutan atau dalam perjalanan yang ditempuh dengan langkah kaki saja yang tentu membutuhkan bekal. Masyarakat yang disinggahi juga memberikan pelayanan untuk mereka yang tengah berjuang untuk kemasalahatan ke depan.
Selepas merdeka, santri tidak begitu mendapat ruang untuk menaruh kontribusi mengingat mereka tidak memiliki formalitas ijazah. Hanya sebagian kecil saja yang mendapat ruang untuk lebih banyak memainkan perannya bagi republik ini, seperti menjadi Menteri Agama atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedikit saja yang menjadi tentara. Padahal, ribuan santri mempertaruhkan nyawanya untuk hal tersebut. Mereka juga sudah mendapatkan pelatihan ketentaraan dari Jepang untuk menggunakan senjata api yang menjadi rampasan dari koloni.
Namun, kaum santri berlapang dada menerima hal itu semua. Sebab, tujuan berjuang melawan penjajahan bukan untuk mendapatkan pangkat, jabatan, dan apresiasi lainnya. Sikap patriotik mereka itu dilakukan demi menjaga kedaulatan negeri yang di dalamnya mengandung juga penjagaan terhadap eksistensi agama Islam, bela diri dan martabat bangsa, serta penjagaan atas aset harta yang sudah menjadi hak bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Muhammad Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua