Hafis Azhari
Kolomnis
Banyak pertanyaan di kalangan masyarakat tentang rahasia keunggulan pendidikan di Tebuireng, yang menurut saya biasa-biasa saja, dan tidak ada yang istimewa di pesantren Tebuireng. Di banyak pesantren modern, kadang diterapkan disiplin berbahasa Arab dan Inggris. Di pesantren Lirboyo juga sangat kental dengan kemahiran membaca kitab-kitab kuning. Lalu, apa yang menjadi keunggulan di Pesantren Tebuireng?
Di Tebuireng, tradisi tawashul atau membaca alfatihah di depan kuburan dzuriyah Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari sudah biasa dilakukan para santri sebelum mereka memulai kegiatan belajar-mengajar. Hal ini diniscayakan bagi para santri agar mendapat berkah dari sang guru maupun kiai, walaupun mereka sudah meninggal dunia.
Bahkan, ada seorang wali santri asal Palembang, Sumatra Selatan sengaja memasukkan anaknya ke Pesantren Tebuireng agar memudahkan ia berziarah di makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) setiap kali menjenguk anaknya ke Jombang. Terkait dengan ini, dapat disimpulkan bahwa nilai keberkahan mudah diperoleh di lingkungan pesantren sebagai wadah menimba ilmu, khususnya dalam hal pengembangan nilai-nilai keislaman.
Tak lepas dari kata asalnya, sesungguhnya nilai keberkahan adalah ziyadatul khair atau bertambahnya kebaikan sebagai akibat dari rasa syukur yang kita panjatkan kepada Allah, yang dimanifestasikan dengan rasa terima kasih kepada para guru (mursyid) yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada kita. Jadi, rasa terima kasih kepada guru dapat disejajarkan dengan terima kasih kepada orang tua yang telah mengasuh dan membesarkan kita.
Pada umumnya, setiap pesantren dengan kualitas keberkahan yang melimpahinya, sangat terkait erat dengan motto dan panca jiwa yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni: 1) Al-ilmu bitta'allum, artinya, jika kita ingin berilmu maka harus rajin belajar. 2) Al-barakatu bil-hikmah, artinya, jika kita ingin mendapat barokah maka harus bisa melayani dan mengabdi. 3) Al-manfa'atu bi attha'ah, artinya, jika kita ingin memperoleh manfaat maka harus menuruti aturan (disiplin).
Jika syarat-syarat itu dipenuhi, maka seperti yang disinyalir dalam Al-Qur'an, bahwa Allah niscaya akan membukakan pintu-pintu rahmat dan keberkahan, baik dari atas langit maupun bumi. Barangkali di pesantren modern juga dijabarkan dalam motto hidup, seperti berbudi luhur, berakhlaqul karimah, berpengetahuan luas, berpikir cerdas, dan seterusnya.
Namun, dalam tradisi pesantren Tebuireng, "menjaga adab" tidak identik dengan sopan santun atau tata krama berlebihan, yang seringkali ditonjolkan oleh tradisi masyarakat adat di Madura maupun keraton-keraton Jawa. Seringkali seorang ustadz duduk lesehan bersama muridnya, membahas pemikiran Imam Syafi'i atau Imam Al-Ghazali, bahkan tidak jarang si murid memiliki wawasan yang lebih progresif ketimbang guru yang mengajarinya.
Dengan sikap demokratis yang dicontohkan Mbah Hasyim Asy'ari hingga Gus Dur, adakalanya sang ustadz memancing pertanyaan kepada murid, seakan-akan si murid tidak tahu menahu, bahwa sesungguhnya sang ustadz pun secara diam-diam sedang menimba ilmu dari muridnya.
Jadi, ada semacam kerja sama dalam menyemarakkan thalabul ilmi, yang timbul dari kesadaran semua pihak akan pentingnya menuntut ilmu. Hal ini berbeda dengan disiplin pondok (an-nidzam) yang digalakkan di pesantren-pesantren modern, baik di Gontor, Gintung (Daar el-Qolam) maupun Daarunnajah (Jakarta). Di situ lebih menekankan pentingnya sistem yang diciptakan, dan harus ditaati oleh para santrinya. Hal serupa terjadi pula di Pesantren Lirboyo (Kediri) yang dapat menampung kapasitas 40 ribu santri, sementara Tebuireng hanya menampung beberapa ribu santri putera dan puteri, namun eksistensi kesantrian mereka masih terus diandalkan hingga saat ini.
Dalam beberapa tahun terakhir telah dibuka Pesantren Tensains Tebuireng setingkat SMP dan SMA, yang lebih mengedepankan kualitas keilmuan yang bersifat kauniyah. Setelah dibuka, kontan ribuan santri dari penjuru tanah air mendaftarkan diri ke Tebuireng, termasuk anak-anak para kiai maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Bahkan, tidak jarang anak-anak didik yang memiliki standar IQ di atas rata-rata, turut berkompetisi untuk memasuki Pesantren Trensains ini.
Di pesantren ini para santri aktif mengembangkan pola pikir sesuai potensi yang dimilikinya. Mereka giat bersaing sesama temannya dalam berbagai lomba riset dan penelitian ilmiah. Kenikmatan menuntut ilmu tampak sekali di kalangan santri, sehingga ketika terjadi pandemi Covid-19, banyak di antara santri Trensains yang menolak dipulangkan, karena mereka ingin serius belajar di dalam lingkungan pondok.
Inilah keunikan di kalangan santri Trensains Tebuireng, hingga dapat menjadi cermin keteladanan bagi para pelajar dan santri-santri lainnya. Meskipun, kita semua menyadari bahwa seideal apapun manusia menuntut ilmu, tak boleh diklaim sebagai entitas yang final. Karena pada hakikatnya, menuntut ilmu dan upaya menciptakan lingkungan terbaik untuk menimba ilmu, terus-menerus menjadi lahan eksperimentasi yang harus terus dipelajari dan diupayakan seoptimal mungkin, sampai kapan pun di masa yang akan datang.
*Tulisan ini dihimpun oleh Hafis Azhari (penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten), berdasarkan wawancara dengan KH Fahmi Amrullah Hadziq, cucu dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari di Pesantren Nurul Falah, Rangkasbitung, Banten, pada Jumat, 5 Juli 2024.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua