Opini JELANG KONGRES IPNU XVII

Refleksi dari Sebuah Kegelisahan Kader

Kamis, 4 Oktober 2012 | 00:00 WIB

Oleh Andy 


….. harusla diinsjafi berdirinja organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul ‘Ulama’ bukan sekedar tumbuh dan ditumbuhkan begitu sadja, apalagi kalau diingat suasana dan waktu pertama kali organisasi ini dilahirkan  dipersada tanah air. Sungguh waktu itu merupakan saat jang pahit, jang terdapat di dalamnja pertentangan dan perselisihan jang dirasakan tidak enak oleh masjarakat kita terutama masjarakat Islam.” (Diambil dari teks asli pengantar Moh. Tolchah Mansoer, “Dua Tahun Berlalu”dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Peladjar Nahdlatul ‘Ulama’)
<>
Berbicara IPNU berarti Berbicara NU Masa Depan: KH Tolchah Mansoer sebagai founder dan ketua umum pertama PP IPNU

Membicarakan IPNU berarti membicarakan NU 10-20 tahun ke depan, artinya apabila ingin melihat NU 10-20 tahun, maka tidak berlebihan apabila IPNU menjadi cerminannya. Baik tidaknya proses kaderisasi dan rekrutmen kader sangatlah menentukan proses masa depan NU. Organisasi yang lahir pada tanggal 24 Pebruari 1954/20 Jumadil Akhir 1373 H di Semarang atau bertepatan dengan digelarnya Konbes Ma’arif NU. IPNU merupakan tempat berhimpun, wadah komunikasi, aktualisasi dan kaderisasi pelajar-pelajar NU. 

Apa yang dicita-citakan oleh para pelopor IPNU, Moh. Tolchah Mansoer (ketua umum pertama IPNU), M Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang) yang ingin mengakomodir semua kepentingan dan gagasan organisasi pelajar NU yang pada waktu itu banyak bermunculan. 

Hal ini terlihat jelas ketika keputusan Kongres al-Islam pada 1949, PII dinobatkan sebagai satu-satunya organisasi pelajar muslim dan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa muslim. Dengan asumsi pelajar dan mahasiswa muslim, PII dan HMI dijadikan sebagai wadah “satu-satunya”  wadah kaderisasi dan aktualisasi gerakan. Namun, bagi pelajar dan santri Nahdlyyin keikutsertaan mereka ke dalam kedua organisasi itu, merasa tidak “nyaman”. Masalah ini terkait dengan kontestasi politik antara NU dan Masyumi pada waktu itu.

Terlepas dari kontestasi politik pada waktu itu, menarik untuk kita kaji bersama yakni semangat dari para founder (mendirikan) IPNU yakni untuk menyatukan sebuah gagasan dan ide yang “berserakan” para pelajar dan santri karena tidak adanya wadah dan aktualisasi gerakan mereka.

Gagasan dan ide para founder kita, perlu kita simak dalam istilah Ahmad Baso beristifadah secara intertekstual yakni uswah hasanah (saling mencontoh yang terbaik) dan keakraban. Pertama, apa yang mesti kita uswah hasanah dari founder IPNU, yakni semangat menyatukan gagasan dan ide para pelajar dan santri, tanpa harus melibatkan dan mengorbankan gerakan mereka, maklum saja, pada waktu itu kontestasi politik antara NU dan Masyumi tampaknya sudah merambah di kalangan pelajar dan santri NU. 

Kedua, mereka “tak malu” mengaku santri NU yang pada waktu itu terdapat pertentangan dan perselisihan terhadap PII. Mengaku santri NU berarti mencintai (proses keakraban) Kiai, Pesantren, Bangsa dan segenap tradisi yang ada di dalamnya.

Refleksi Kegelisahan Kader

Kongres IPNU XVII di Palembang yang bertemakan “Pendidikan untuk Semua Menuju Kemandirian Bangsa”, sekiranya tidak ada halangan akan dilaksanakan pada tanggal 29 November sampai dengan 4 Desember 2012, menjadi momentum dari setitik kegelisahan para Pelajar dan Santri di seluruh Indonesia.

Apa yang mesti IPNU lakukan dalam momentum kongres ini?

Jawaban dari pertanyaan ini, tentunya rekan-rekan IPNU se-Indonesia memiliki jawaban masing-masing, tentunya melihat kondisi objektif nasional dan regional masing-masing daerah. Namun dalam tulisan ini, kami ingin menawarkan beberapa ide dan gagasan yang menjadi refleksi dari sebuah kegelisahan kader.

Setiap ajang kongres IPNU dari masa ke masa melahirkan gagasan dan ide sesuai dengan konteks pada saat itu, tentunya era sekarang ini, tantangan dan persoalan tentunya tidak sedikit. Kita masih ingat apa yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi bahwasanya IPNU adalah organisasi kader bukan organisasi massa. Artinya persoalan mendasar sekaligus persoalan lama yang belum tertuntaskan, yakni persoalan kaderisasi. Kenyataan menunjukkan, rendahnya kualitas, kurang militan, dan kurangnya daya tarik IPNU terhadap pelajar menjadi tanda kurang matangnya proses kaderisasi kita. Itu yang pertama.

IPNU sebagai bagian dari wadah berhimpun dan komunikasi pelajar santri NU, mempunyai banyak tugas yang diemban dalam menuntaskan persoalan bangsa. Apa yang menjadi titik awal dari gerakan IPNU adalah proses kaderisasi dan sistem rekrutmen. Proses menuju sistem manajemen rekrutmen yang baik, walaupun sudah mengarah ke sana dengan terlaksananya Rakornas Kaderisasi di Bogor kemarin, menunjukkan keseriusan IPNU dalam mengawal kaderisasi saat ini. Namun terlepas dari itu, apa yang terjadi pada ranah praktek masih terdapat “kegagapan” dalam mencetak kader. Melihat fenomena pelajar saat ini, IPNU sebagai organisasi pelajar santri mestinya menjadi pendamping (konseling) bagi pelajar. Maraknya tawuran di beberapa daerah sedikit banyak menjadi tanggung jawab IPNU, minimal tampil sebagai “alat” untuk meretas dan memediasi persoalan pelajar yang ada.

Di sisi lain peranan IPNU baik itu ditingkat nasional maupun di daerah mestinya, tampil sebagai filter (alat) melawan tradisi pop yang sekarang banyak mengandrungi para pelajar kita, sebut saja gaya berpakaian ala barat dan tarian Gangnam style dari Korea Selatan itu, fenomena-fenomena tradisi pop ini muncul, tentunya banyak bertentangan dengan tradisi keberagamaan dan tradisi Nusantara. Puluhan juta pelajar Nahdliyyin ynag secara luas tersebar di seluruh kawasan Indonesia tentu menjadi korban pertama dan utama dari situasi zaman seperti ini. Mestinya IPNU mampu mendorong dan membangkitkan semangat kreativitas dan semangat kepeloporan dalam menggali potensi-potensi budaya kita yang jauh lebih bermanfaat.

Kedua, era globalisasi (gombalisasi) saat ini merebak, kita perlu membangun format baru dalam melakukan proses pendekatan agar IPNU “seksi” dimata pelajar. Misalnya pemahaman Aswaja, formulasi dari pemahaman Aswaja ini pada dunia pelajar tentunya harga mati, akan tetapi proses memberikan pemahaman Aswaja terhadap pelajar, tentunya memakai metode yang sesuai dengan dunia mereka. Tugas IPNU adalah meramu dan memformulasi pemahaman Aswaja ini, sehingga pelajar tertarik untuk mendalaminya. Kita bisa melihat dengan maraknya gerakan-gerakan rohis pada dunia pelajar, yang banyak sedikit mmberikan pemahaman keagamaan yang belum tentu searah dengan pemahaman keislaman ala NU.

Ketiga, IPNU bertanggung jawab terhadap nasib NU di masa mendatang. Tentunya kesuksesan IPNU sejauh mana IPNU mampu mengawal para pelajar se-Indonesia. Tentunya tidak mudah, tetapi keinginanlah juga yang menentukan nasib ke depannya. Kita tahu bersama dan sama-sama meyakini bahwasanya kita orang Indonesia yang beragama Islam bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia. Tentunya warisan dan karakteristik cara keberagamaan kita mempunyai ciri khas tersendiri. Artinya IPNU menjadi titik awal pemahaman seperti ini.

Keempat, Komitmen IPNU mengawal nilai-nilai kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan dan keterpelajaran. Kita tahu bersama maraknya gerakan-gerakan yang ingin “menghabisi” tatanan pemahaman kebangsaan dan keislaman kita, dengan adanya gerakan Islam trans-nasional (liberal dan fundamental) yang merupakan pemikiran impor (Barat dan Timur) tidak mempunyai asal usul tradisi ke-NU-an dan bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman kita.

Kelima, dalam forum IPNU kongres merupakan forum tertinggi yang diadakan pada tingkat nasional, di dalamnya mendiskusikan nasib IPNU ke depannya yakni pembahasan Peraturan Dasar IPNU, Peraturan Rumah Tangga IPNU, Garis-garis Besar Program Perjuangan dan Pengembangan (GBPP) IPNU, Prinsip Perjuangan IPNU, Rekomendasi IPNU (eksternal dan internal) dan pemilihan Ketua Umum IPNU. Apa yang akan dibahas dalam forum kongres ini setidaknya menentukan roda organisasi ke depannya. Tawaran yang kami berikan, dalam proses mendiskusikan mater-materi kongres, kiranya menyesuaikan kepentingan dan kebutuhan IPNU ke depan dalam menjalankan roda organisasi (keberadaan) IPNU serta konsentrasi pada kebutuhan dan kepentingan IPNU baik pada tingkat nasional maupun regional. Dengan hal itu, kami berharap besar pada kongres di Palembang nanti, khususnya pada pemilihan Ketua Umum PP IPNU jauh dari “bayang-bayang” money politic, setidaknya menjauhi kesan mempolitisasi dan mengakomodir kepentingan-kepentingan golongan (partai) apapun. Jelasnya, kedepan IPNU harus jauh lebih baik dari PP IPNU periode lalu. Itu saja!? 

Setitik gagasan ini sekedar mencoba merumuskan dan menggugah kesadaran kita sebagai kader IPNU dan warga Nahdliyyin pada umumnya, bahwa apa yang kita berikan terhadap IPNU sebagai bukti rasa cinta kita dan semangat untuk menghalau betapa pedas dan pedihnya tantangan ke depan. Dengan berpedoman kita belajar berjuang bertaqwa, kita bina watak nusa dan bangsa tuk kejayaan masa depan. Wallahua’alam bisshawab.

* Wakil Ketua Bidang Kaderisasi PW IPNU Prov. Sulawesi Selatan