*Oleh Mh Nurul Huda
Akhir tahun ini Haul Gus Dur diperingati kembali. Pesantren Ciganjur, komunitas Gus Durian tak pernah absen pasti. Tak ketinggalan pula PKB, partai yang didirikan almarhum. Tidak lupa ada jutaan orang yang merindukannya, mungkin hanya dalam kalbu mereka, di pinggir pusaranya tanpa upacara.
<>
Dalam jutaan orang itu, yang berjalan melewati lorong-lorong kehidupan yang ramai, kita menjumpai anak-anak belia mendongakkan kepala kepada ibu-bapaknya. Siapa Gus Dur? Mengapa kita menziarahinya, dan seterusnya? Sedemikian rupa ia sehingga keingintahuan kanak-kanak itu melahirkan sebuah cerita.
Penulis kolom ini sendiri tak mengetahui jelas, bagaimana dampak cerita di riuhnya kehidupan. Hanya dugaan kasar belaka sifatnya bila cerita-cerita macam itu (storytelling) penulis anggap sebagai proses pembelajaran jangka panjang yang berlangsung massal. Sebagian orang tua itu dalam ziarahnya mungkin adalah para penganut tarekat, atau orang-orang biasa yang, kepada putra-putri mereka, mengenalkan keteladanan dan ideal-ideal moral (exemplar). Biar saja bila ada orang menilai dengan ukurannya sendiri seberapa “progresif” mereka ini menularkan pengalaman atau seberapa bermanfaat pembelajaran itu bagi kehidupan nyata.
Ketika akhir bulan lalu Saudara Hamzah Sahal mengajak berkunjung ke Pesantren Edi Mancoro Semarang, Penulis mengiyakan undangan itu. Pertama, karena pengasuh pesantrennya Kiai Mahfudz Ridwan yang sudah sangat sepuh itu adalah teladan bagi para santri dan masyarakat sekitar khususnya bagi penulis sendiri yang sepuluh tahun lalu mengikuti pertemuan dengan sesama kaum muda NU. Kedua, karena para santri ingin berbagi cerita mengenai keteladanan yang mereka saksikan, alami dan rasakan, dalam bahasa tulisan. Terkait yang kedua ini, tampaknya mereka berharap keteladanan sang kiai dapat ditiru para pembaca umum atau generasi berikutnya.
Dari sini, yaitu dari harapan para santri saja, sudah cukup diketahui bahwa cerita (storytelling) rupanya dianggap penting oleh mereka untuk lalu dihidangkan kepada khalayak. Setidaknya memang dianggap penting bagi kehidupan para santri sendiri (mungkin semacam yang berjasa membimbing hidupnya) berdasarkan pengalaman mereka pribadi. Pengalaman itu terang sangat spesifik sifatnya. Efeknya pun sangat eksistensial dan mendalam sehingga belum tentu orang lain dapat merasakan pengalaman yang sama tanpa adanya kesetaraan kualitas interaksi dengan sang ideal moral.
Berdasarkan pengalaman pribadi pula Saudara Hamzah, Saudara Fauzi dan Saudara Hengky (dua nama terakhir berturut-turut adalah putra asli Aceh dan Padang, murid imam besar masjid Istiqlal sekaligus pengasuh pesantren Darus Sunnah Kiai Mustofa Ya’qub) hampir untung bertemu Kiai Mustofa Bisri yang pada hari itu secara kebetulan mengunjungi Kiai Mahfudz Ridwan (meski akhirnya kecele karena ia keburu pulang). Namun masih terpancar kebahagiaan yang tak dapat disembunyikan dari wajah tiga saudara kita ini karena Gus Mus sempat menitipkan doa istiqomah untuk mereka.
Adapun bagi Penulis sendiri khususnya serasa mustahil menulis kolom tentang Gus Dur dalam rangka Haul Ke-6 di situs resmi PBNU yang terbit hari ini tanpa menyinggung Kiai Mahfudz Ridwan dan Kiai Mustofa Bisri. Ketiganya adalah para kiai (dua biasa dipanggil “gus”, dan satu dipanggil kiai) yang sebetulnya saling terkoneksi satu sama lain. Koneksi ketiganya setidaknya berkaitan dengan 3 hal.
Pertama, ketiganya sosok “intellectual leader”. Mereka pemimpin intelektual bagi komunitasnya atau masyarakat secara luas sesuai bidangnya. Mereka mencintai kebenaran yang dengan kebenaran itu mereka bersikap dan bertindak benar serta berupaya mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Kedua, mereka adalah “meaning maker”, yakni memunyai kemampuan memaknai nilai-nilai agama dan tradisinya dalam konteks sosio kultural masyarakatnya. Mereka memunyai “keawasan spiritual” (spiritual literacy) sehingga dapat memberi makna pada eksistensinya baik pada level lokal, global, maupun universal. Mereka mengenali siapa dirinya, dari mana mereka berasal dan ke mana mereka akan pergi. Dengan wawasan yang mendalam dan pengalaman yang luas, ketiganya mampu mendialogkan tradisi dan modernitas, menganalisis ide dan realitas, dan melakukan sintesis-sintesis yang dibutuhkan dalam praktik kehidupan nyata.
Ketiga, kiai kita ini mendidik generasi muda dan khalayak umum. Pikiran mereka dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan menunjuk sesuatu yang nyata sehingga mudah dipahami masyarakat banyak. Bahasa/kata yang telah mengalami “over technologized” yang kaku, asing, dan ekstrem dibumikan lagi dalam kehidupan dan dalam relasi-relasi hidup yang nyata, luwes, tenang, arif, dan manusiawi, seolah tanpa sandraan dogma, fundamentalisme, atau kemarahan bersayap ideologis. Mereka juga memproduksi karya-karya sosial (membangun pesantren, sekolah, aktif dalam kegiatan dialog antarumat beragama atau lain-lain gerakan-gerakan perbaikan, ishlah) atau karya-karya intelektual (dalam bentuk pemikiran yang tertuang dalam artikel, esai, atau buku, dan lain-lain).
Keempat, mereka sosok “sarjana-aktivis”. Gus Mus karib Gus Dur semasa kuliah di Mesir, lalu Gus Dur karib Kiai Mahfudz di Baghdad. Sepulang ke tanah air, ketiganya berusaha melakukan perubahan-perubahan ke arah perbaikan kehidupan masyarakat. Lewat pemikiran, tulisan, sikap, dan tindakannya (Gus Mus belakangan memanfaatkan twiter), mereka memperlihatkan kepada masyarakat, komunitas dan bangsanya tentang bagaimana nilai-nilai Islam dan tradisi masyarakat, khususnya tradisi pesantren dan masyarakat setempat, dapat menjadi kekuatan pengubah lingkungan sosialnya (masyarakat, bangsa, negara, dunia) menjadi lebih baik. Mereka juga berpikiran terbuka, mengembangkan budaya dialog, serta membangun wawasan masa depan yang lebih baik bagi semua orang.
Terakhir, tanpa bermaksud melebih-lebihkan salah satu di atas yang lain, Gus Dur mengajarkan pengalaman untuk dirinya secara “keras” sebagai pembelajaran kepada murid-muridnya. Ketika dijatuhkan secara politik dari kursi presiden, seperti Sokrates yang memegangi kebenaran Gus Dur menerima vonis itu dikelilingi murid-murid dan koleganya. Guru bangsa ini lalu keluar dari istana menemui rakyatnya dan melambaikan tangan seolah berpesan:
“Saksikan, murid-muridku. Aku sendiri pun berpegang erat pada kebenaran meski sepanas bara api di telapak tangan. Berbekal pengetahuan yang benar itu, aku dapat bersikap dan bertindak benar dalam kehidupan tanpa setetes pun darah anak manusia yang pantas dikorbankan”.
Seperti halnya Sokrates, Gus Dur adalah seorang filsuf, par excellent!
*M Nurul Huda, pengajar Sosiologi di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia, Jakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua