Universitas Nahdlatul Ulama dan Jejak Madrasah yang Terlupa
NU Online · Rabu, 29 Oktober 2025 | 20:55 WIB
Eko Ernada
Kolomnis
Ketika George Makdisi menulis The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (1981), ia menantang sebuah asumsi besar dalam sejarah peradaban: bahwa universitas adalah penemuan khas Barat.
Dengan riset mendalam terhadap madrasah-madrasah di Baghdad, Kairo, dan Damaskus abad ke-11, Makdisi menunjukkan bahwa konsep universitas modern—dengan dosen tetap, kurikulum baku, sistem ijazah, dan pendanaan otonom melalui waqf—telah lama hidup dalam Islam. Ia menulis bahwa “college” dalam tradisi Islam bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi lembaga ilmu yang menyatukan intelektualitas dan spiritualitas dalam satu struktur sosial yang beradab.
Bagi Makdisi, madrasah Islam merupakan cikal bakal liberal learning—pendidikan yang memerdekakan akal dari kebodohan namun tetap berpijak pada moralitas. Ia menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu rasional. Filsafat, logika, hukum, tata bahasa, dan teologi saling berkelindan dalam satu sistem keilmuan yang holistik.
Dari sinilah lahir semangat yang kelak menular ke Eropa melalui Spanyol Islam (al-Andalus) dan Sisilia, membentuk embrio universitas abad pertengahan di Bologna, Paris, dan Oxford. Dalam pandangan Makdisi, hubungan Islam dan Barat dalam sejarah ilmu bukanlah relasi dominasi, tetapi transmisi peradaban.
Refleksi historis ini terasa relevan ketika kita menatap keberadaan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di Indonesia hari ini. Jaringan UNU—dari Yogyakarta hingga Kalimantan, dari Surabaya hingga Nusa Tenggara—bukan sekadar ekspansi lembaga pendidikan, melainkan kebangkitan kembali ruh intelektual Islam yang pernah melahirkan peradaban ilmu. Di tengah dunia yang semakin mengukur nilai manusia dari produktivitas dan sertifikasi, UNU menghadirkan paradigma lain: ilmu sebagai amanah, bukan komoditas.
Seperti madrasah dalam analisis Makdisi, UNU bertumpu pada modal sosial kepercayaan (social trust). Ia berdiri di atas kerja kolektif masyarakat dan pesantren, bukan sekadar birokrasi negara atau kapital industri. Inilah bentuk modern dari waqf epistemik: keyakinan bahwa ilmu akan hidup jika ditopang oleh etos sosial dan spiritual. Dengan cara itu, UNU menghadirkan kembali otonomi universitas dalam arti sejatinya—otonomi untuk berpikir merdeka, berinovasi, dan sekaligus menjaga nilai kemanusiaan.
Secara teoritis, gagasan Makdisi menegaskan bahwa universitas lahir dari integrasi tiga pilar: akal (reason), adab (ethics), dan masyarakat (community). Pilar-pilar ini pula yang menjadi landasan epistemik bagi UNU. Bila universitas Barat modern cenderung menekankan rasionalitas instrumental—ilmu sebagai alat mencapai efisiensi—maka UNU berupaya menegakkan rasionalitas substantif: ilmu sebagai jalan menuju kebijaksanaan.
Di sinilah perbedaan epistemologis antara tradisi Islam dan modernitas sekuler: Islam tidak memisahkan ilmu dari nilai, sementara modernitas sering kali menihilkan nilai atas nama kebebasan.
Namun, sejarah tidak pernah statis. Sebagaimana universitas Barat tumbuh dari pengaruh Islam dan kemudian berkembang menjadi institusi global, tantangan yang kini dihadapi universitas-universitas Islam, termasuk UNU, adalah bagaimana menjaga akar sambil menghadapi arus zaman. Dunia pasca-industri hari ini tidak lagi menilai ilmu dari kedalamannya, tetapi dari kecepatan aplikasinya. Kecerdasan buatan, algoritma, dan pasar data menciptakan pergeseran makna belajar—dari kontemplasi menjadi konsumsi.
Dalam konteks ini, pertanyaan yang diajukan Makdisi 40 tahun lalu kembali relevan: apakah universitas masih menjadi tempat pencarian makna, atau hanya pabrik ijazah?
UNU dapat menjadi ruang alternatif untuk menjawab pertanyaan itu. Dengan warisan pesantren yang mengutamakan ngaji, ngalap berkah, dan adab, UNU menawarkan model universitas yang menolak reduksi manusia menjadi sekadar sumber daya. Ia membangun ilmu yang kontekstual dan berbasis nilai. Di sini, gagasan liberal arts bersumber dari Islam menemukan bentuknya kembali—bukan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang berakar pada tanggung jawab moral.
Secara filosofis, langkah UNU dapat dibaca sebagai ijtihad kelembagaan. Ia berupaya menyeimbangkan tiga horizon yang sering kali bertentangan: tradisi, modernitas, dan globalisasi. Dalam horizon tradisi, UNU menghidupkan kembali etos ta’dib—pembentukan manusia yang beradab sebagaimana dirumuskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Dalam horizon modernitas, UNU menekankan riset, inovasi, dan kolaborasi antar-disiplin. Sedangkan dalam horizon global, UNU berupaya membangun daya saing tanpa kehilangan kearifan lokal. Ketiga horizon ini membentuk sintesis epistemik baru: universitas yang spiritual sekaligus progresif, lokal sekaligus universal.
Secara komparatif, model UNU juga menarik bila dibandingkan dengan universitas berbasis nilai di dunia Islam lain. Universitas Zaytuna di Tunisia atau Al-Qarawiyyin di Maroko bertahan karena menanamkan keilmuan dalam masyarakat, bukan di atasnya. UNU menempuh jalan serupa: ia tidak sekadar mengimpor sistem, tetapi menanam sistem itu di tanah sosial yang hidup.
Di sinilah letak kekuatannya. Sebagaimana madrasah klasik menyesuaikan diri dengan konteks lokal tanpa kehilangan prinsip, UNU juga menjadi laboratorium sintesis antara Islam, modernitas, dan Indonesia.
Namun, tantangan global tetap berat. Dunia saat ini diatur oleh logika algoritma yang mendorong fragmentasi dan disinformasi. Pengetahuan tidak lagi dihormati karena kedalamannya, tetapi karena viralitasnya. Dalam situasi demikian, UNU ditantang untuk melahirkan intelektual jamak—mereka yang tidak hanya cerdas digital, tetapi juga tangguh moral. Inilah bentuk baru mujtahid peradaban, sosok yang berpikir global tapi berakar spiritual.
Makdisi menulis bahwa universitas Islam klasik adalah “masyarakat belajar yang hidup dari iman dan akal.” Kalimat ini seakan menemukan wujudnya kembali di Indonesia hari ini. Melalui UNU, Nahdlatul Ulama tidak sekadar mendirikan lembaga pendidikan, tetapi sedang membangun kembali ekosistem keilmuan Islam yang terbuka, rasional, dan berkeadaban. Dari madrasah ke universitas, dari Baghdad ke Nusantara, dari tradisi ke masa depan—jejak yang dulu terlupa kini sedang ditapaki kembali, dengan cara yang lebih sadar dan reflektif.
Eko Ernada, pendiri Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua