Al-Fathur Rabbani: Menguak Tarekat Tijaniyah dan Perjumpaan dengan Rasulullah
Senin, 30 September 2024 | 11:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Tarekat Tijaniyah merupakan salah satu tarekat sufi yang didirikan oleh Syekh Ahmad At-Tijani pada abad ke-18 di Aljazair. Tarekat ini berkembang pesat di berbagai wilayah Afrika dan belahan dunia lainnya. Salah satu keunikannya adalah ijazah wirid yang didapatkan langsung oleh Syekh Ahmad At-Tijani dari Rasulullah SAW.
Kisah ini sangat masyhur di kalangan orang-orang yang bergumul di dunia tarekat. Misalnya diceritakan oleh Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasanain dalam al-Fathur Rabbani fima Yahtajuhu ilaihil Murid at-Tijani (Mesir, Maktabah al-Qahirah, t.t.: 7):
وفى سنة ألف ومائة وستة وتسعين، توجه رضي الله عنه من تلمسان إلى قصر أبي سمعون والشلالة بالصحراء الشرقية، فقضى الله له بالفتح فيهما، فرأى رسول الله ﷺ يقظةً لا مناماً، وعين له الورد حينئذ: مائة من الاستغفار، ومائة من الصلاة عليه، وأمره بتلقينه لكل من طلبه من المسلمين والمسلمات، وقال له: "لا مِنّة لمخلوق عليك من مشايخ الطريق، فأنا واسطتك وتمددك على التحقيق، فاترك عنك جميع ما أخذت من جميع الطرق."
وفي سنة ألف ومائتين وستين، كمل الله الورد بمائة من الهيللة. ولما أمره الرسول ﷺ بإفادة الخلق، قال رضي الله عنه له: "إن كنت باباً لنجاة كل عاصٍ تعلق بي فنعم، وإلا فأي فضل لي؟" فأجابه النبي ﷺ بقوله الشريف: "أنت باب النجاة لكل عاصٍ تعلق بك." فحينئذٍ نزل.
وبعد أن كان فاراً من ملاقاتهم، صار يُلقن لإفادة الخلق حسبما أمره الرسول ﷺ، فانتشرت طريقته رضي الله عنه وملأت الأقطار والبلدان.
Artinya: “Dan pada tahun seribu seratus sembilan puluh enam, beliau berangkat dari Tlemcen menuju Qasr Abi Sam’un dan Syalalah di padang pasir timur, di mana Allah membukakan jalan kemenangan baginya di kedua tempat tersebut. Beliau melihat Rasulullah SAW dalam keadaan sadar, bukan dalam mimpi. Pada saat itu, Rasulullah menetapkan baginya wirid: seratus istighfar dan seratus shalawat atas Nabi. Beliau diperintahkan untuk mengajarkan wirid tersebut kepada setiap Muslim dan Muslimah yang memintanya. Rasulullah berkata kepadanya, “Tidak ada makhluk yang memiliki keutamaan atasmu dari kalangan guru tarekat. Aku adalah perantara dan sumber kekuatanmu yang sesungguhnya. Tinggalkan semua yang telah engkau ambil dari tarekat-tarekat lain.”
Dan pada tahun seribu dua ratus enam puluh, Allah menyempurnakan wirid tersebut dengan menambahkan seratus kali lafaz “lailahaillallah.” Ketika Rasulullah memerintahkannya untuk memberikan manfaat kepada umat, beliau berkata kepada Rasulullah, “Jika aku adalah pintu keselamatan bagi setiap pendosa yang bergantung padaku, maka aku terima. Jika tidak, maka apa keutamaan yang aku miliki?”
Maka Rasulullah menjawab dengan sabda beliau yang mulia, “Engkau adalah pintu keselamatan bagi setiap pendosa yang bergantung padamu.” Saat itulah hal tersebut terjadi.
Setelah sebelumnya beliau melarikan diri dari pertemuan dengan mereka, beliau kemudian mulai mengajarkan wirid tersebut untuk memberi manfaat kepada umat, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah. Tarekatnya pun menyebar dan meluas ke berbagai negeri dan wilayah.
Kisah Pertemuan dengan Rasulullah: Antara yang Menerima dan Mengingkari
Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa seperti yang dialami pendiri tarekat Tijani ini dapat diterima oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun begitu, dalam dunia tarekat, seorang murid harus memercayai mursyid yang membimbingnya ke jalan Allah, tanpa keraguan sedikit pun.
Menurut Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasanain, orang yang menolak kebenaran informasi yang bersifat mistis dari para wali dikategorikan kepada 3 golongan. Pertama, Mereka yang menolak karena fanatisme, kesombongan, iri hati, dan keras kepala. Orang-orang ini menolak karena alasan pribadi dan emosional, tanpa dasar yang jelas (hlm. 9).
Kedua, mereka yang menolak karena ingin membela agama yang lurus. Golongan ini adalah ulama yang memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai ilmu agama, perbedaan pendapat di kalangan ulama, serta persoalan-persoalan terkait mukjizat dan karamah para wali.
Ketiga, mereka yang menolak karena ingin menemukan kebenaran. Mereka menunggu bukti yang jelas sebelum menerima atau menolak suatu metode spiritual.
Dari ketiga golongan tersebut, hanya golongan pertama saja yang menurut Hasanain tidak perlu digubris, karena mereka hanya mengedepankan emosional semata. Adapun kelompok kedua dan ketiga, adakalanya setelah dijelaskan seluk beluk tarekat Tijani, maka mereka akan menerima dan tidak menolak, namun adakalanya teguh pada pendirian mereka. (hlm. 9).
Selanjutnya, menurut Hasanain juga bahwa boleh jadi orang-orang yang menolak kisah di atas karena sebab terlalu ‘mistis’ dan tidak masuk akal, tidak mengetahui khabar berupa sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي
Artinya: “Siapa pun yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar, dan setan tidak bisa menyerupaiku.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Terkait hadits ini, para ulama sendiri sebenarnya memiliki ragam interpretasi dan tafsiran. Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994: III/337) megutip pendapat Al-Damamini.
Pendapat al-Damamini adalah hadits tersebut bermakna kabar gembira bagi orang yang melihat Nabi dalam mimpi, bahwa ia akan wafat dalam keadaan Islam. Alasannya, karena mimpi tersebut melambangkan kedekatan dengan Nabi, dan tidak semua orang memeroleh anugerah seperti itu.
Di sisi lain, sebagian ulama, di antaranya Ibnu Abi Jamrah, mengatakan bahwa makna hadits tersebut boleh jadi orang yang bermimpi akan bertemu Nabi SAW secara langsung dan nyata, berdasarkan sifat-sifat Rasulullah yang ia tahu (hlm. 337).
Terdapat fakta menarik yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar, bahwa setiap orang Muslim yang bertemu Nabi secara nyata, maka berkonsekuensi menjadikannya termasuk dari golongan Sahabat Nabi. Imam Ghazali mengurai pendapat ini dengan mengorelasikan makna melihat dalam konteks hadits tersebut tidak berarti melihat fisik Nabi, namun melihatnya melalui perantara non-fisik, contohnya mimpi.
Struktur Kitab al-Fathur Rabbani
Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasanain dalam mukadimah kitab al-Fathur Rabbani fima Yahtajuhu ilaihil Murid at-Tijani menyatakan, alasan dirinya menyusun buku ini adalah untuk menjelaskan kepada orang-orang yang dianggapnya tidak beradab, kemudian mempertanyakan, bahkan menentang tarekat Tijaniyah, terutama soal pertemuan Syekh Ahmad Tijani dengan Rasulullah secara nyata.
Mukadimah kitab ini diawali dengan alasan penulis buku masuk ke dalam tarekat Tijaniyah. Bab pertama membahas biografi Syekh Ahmad Tijani. Bab ketiga membahas soal Adab seorang murid kepada dirinya, mursyidnya, dan juga teman-temanya. Bab keempat membahas syarat tarekat. Bab kelima membahas tentang lafaz-lafaz dzikir. Bab keenam membahas tentang syarat lafaz wirid. Bab ketujuh membahas tentang sebagian karomah Syekh Ahmad Tijani. Bab kedelapan membahas keutamaan dzikir tarekat Tijani.
Kitab ini sangat cocok bagi mereka yang ingin mengetahui dan memperdalam wawasan mereka terkait tarekat Tijaniyah secara komprehensif. Dalam kitab ini juga, terdapat penjelasan terhadap pendapat-pendapat yang menentang keabsahan kisah-kisah keramat dalam tarekat Tijaniyah. Wallahu a’lam
Identitas Kitab:
Nama kitab : Al-Fathur Rabbani fima Yahtajuhu ilaihil Murid at-Tijani
Penulis : Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasanain
Tempat terbit : Mesir
Penerbit : Maktabah al-Qahirah
Peresensi: Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua