Pustaka

Ibn Jamâ’ah: Ulama Ensiklopedis Abad Pertengahan

Selasa, 24 Januari 2017 | 02:02 WIB

Oleh Suwendi 

Di antara tokoh kependidikan abad pertengahan adalah Ibn Jamâ’ah (639-733 H./1241-1333 M.). Tokoh ini di samping dikenal sebagai ahli hukum, lantaran dia menjabat sebagai hakim di beberapa lembaga pengadilan sehingga mendapat sebutan Qâdhyat al-Qudhât, juga dikenal sebagai tokoh kependidikan. Ketokohannya di bidang pendidikan ditandai oleh aktivitas mengajar di berbagai lembaga kependidikan, di samping ia memiliki konsep kependidikan yang tertuang dalam masterpiece-nya Tadzkirat  al-Sâmi’   wa   al-Mutakallim   fî  Adab   al-‘Âlim   wa  al-Muta’allim. Dalam karya itu, terdapat ulasan panjang lebar mengenai keutamaan ilmu, ulama dan pencari ilmu (thâlib al-‘ilm). Di samping itu, juga diterangkan sejumlah etika, yakni etika bagi pendidik, peserta didik, etika dalam menggunakan buku dan etika yang berkaitan dengan tempat tinggal selama proses belajar mengajar. 

Namun sayangnya, kajian yang pembahasannya diarahkan pada tokoh dan karya ini masih terlihat minim. Beirkut ini merupakan elaborasi sederhana yang diharapkan dapat menghantarkan pengenalan terhadap sosok Ibn Jamâ’ah dan karya kependidikannya.

Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibn Jamâ’ah adalah Badr al-Dîn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Sa’d Allâh ibn Jamâ’ah ibn Hâzim ibn Shakhr ibn ‘Abd Allâh al-Kinâny. Ia lahir di Hamâh, Mesir, pada malam Sabtu tanggal 4 Rabi’ al-Akhir 639 H./1241 M. Ia wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin tanggal 21 Jumaday al-Ulâ tahun 733 H./1333 M. dan dimakamkan di Qirâfah, Mesir. Dengan demikian, Ibn Jamâ’ah genap berusia 64 tahun 1 bulan 1 hari. Dengan melihat kurun waktu masa hidupnya, Ibn Jamâ’ah hidup setelah al-Ghazâli (450 H./1058 M.-505 H./1111 M.), Ibn Rusyd (1126-1198 M.), dan al-Zarnûji (wafat sekitar 615 H./1222 M.), dan hampir bersamaan dengan Ibn Bathûthah (1304-1377 M.), dan Ibn Khaldûn (732 H./1332 M.-808 H.).

Dalam keluarganya, Ibn Jamâ’ah memiliki empat orang saudara, dan Ibn Jamâ’ah sendiri merupakan anak yang paling kecil (bungsu). Dari silsilah keluarga ini telah melahirkan sejumlah inetelektual muslim pada masanya. `Abd al-Jawwâd Khalaf mencatat bahwa setidaknya ada empat puluh sarjana terkenal yang lahir dari keluarga Jamâ’ah sepanjang masa Ayubiyah dan Mamluk.

Pengalaman pendidikan Ibn Jamâ’ah diperoleh untuk pertama kalinya dari lingkungan keluarganya, yang telah memiliki tradisi intelektual yang mapan. Ayahnya sendiri, Ibrâhîm ibn Sa’d Allâh ibn Jamâ’ah (596-675 H.), adalah seorang ulama besar dan ahli fiqh sekaligus sufi. Dengan ayahnya inilah Ibn Jamâ’ah banyak mendapatkan ilmu pengetahuan. Setelah itu, Ibn Jamâ’ah juga dibesarkan di berbagai daerah dalam rangka pengembaraan ilmu pengetahuan dan bertemu dengan beberapa ulama besar. Pengetahuan hadits, fiqh, dan bahasa diperoleh di Damaskus dengan menemui Ibn `Abd al-Dâim (wafat 668/1270), al-Mu’în al-Dimasyqi (wafat 670/1272), Ibn Mâlik (wafat 672/1274), al-Kamâl ibn `Abd (wafat 672/1274), Ibn Abî al-Yasar (wafat 672/1274), Ibn `Atha al-Hanafî (wafat. 673/1275), Ibn `Allân (wafat 680/1281), dan Ibn Abî `Umar (682/1283). 

Ibn Jamâ’ah juga memperoleh kesempatan berguru kepada sejumlah tokoh di Kairo, Mesir, yakni kepada Taqy al-Dîn ibn Razîn (wafat 680/1281), dan Jamâl al-Dîn ibn Mâlik guna mempelajari ‘Ilm Nahw. Al-Rasyîd al-‘Athâr (wafat 662/1264), Ibn Abî Umar, al-Tâj al-Qasthalâny (wafat 665/1267), al-Majd ibn Daqîq al-‘Id (wafat 667/1269), Ibn Abî Musalamah, Makky ibn ‘Ilân, Ismâ’il al-‘Irâqy, al-Mushaffâ, al-Baraza’iy, Syarf al-Dîn al-Subkî (wafat 669/1271), dan lain-lain.  

Berkat pengembaraannya itu, Ibn Jamâ’ah sangat profesional dalam banyak bidang sehingga ia menjadi pendidik, orator, hakim, penyair, fâqih, mufassir, muhaddits dan lain-lain. Sebagai pendidik, ia pernah mengajar di Damaskus seperti di Qimyariyah, lembaga akademik Ibn Thûlûn, salah satu institusi pendidikan yang lebih menekuni pada konsep-konsep Syâfi’iyyah, dalam masa yang cukup panjang. Dari beberapa keterangan yang didapat, Ibn Jamâ’ah tampaknya menguasai aspek-aspek pendidikan. Seperti kesan yang dilontarkan Ibn Hajar  “ia  penuh  kasih  sayang, berakhlak baik, pandai ceramah… mengajar dengan baik dengan tanpa kekerasan”.

Sebagai orator, Ibn Jamâ’ah sering ceramah di Masjid al-Aqsha dan lembaga pendidikan al-Amwa, Damaskus, juga di al-Azhar, Mesir, dalam interval masa yang cukup lama. Seringnya ceramah di Damaskus dan Mesir ini berbarengan dengan kesibukannya sebagai hakim (Qâdhy al-Qudhâh). Karir dalam bidang hukum ini terlihat pada tahun 687 H. ketika ia menjabat sebagai hakim di Damaskus, dan  tahun 690 H. beliau pindah ke daerah Mesir. Pada masa itulah Ibn Jamâ’ah sering bergabung dan bertukar fikiran dengan beberapa syaikh yang lain. 

Sungguhpun demikian, karir Ibn Jamâ’ah dalam bidang hakim ini tampaknya diuntungkan oleh situasi politik. Ketika terjadi pertentangan antar hakim al-Syâfi’iyah di Mesir, yakni antara Taqy al-Dîn Abd al-Rahmân ibn bint al-A’uzz dengan al-Wazîr ibn al-Sal’ûs, mengenai kandidat yang dapat diajukan untuk menduduki posisi penguasa hukum (qâdhy). Ibn Sal’ûs merekomendasikan kepada penguasa Mesir, ketika itu Khalîl ibn Qalâwun, bahwa yang berhak menduduki posisi itu adalah Ibn Jamâ’ah.  Rekomendasi  itu  kemudian diterima oleh penguasa dan ditetapkanlah Ibn Jamâ’ah yang dipilih.

Pada permulaan tahun 693 H. penguasa Mesir terbunuh, lalu Ibn Jamâ’ah pindah ke Syâm hingga bertemu dengan Ibn bint al-A’uzz dan Taqy al-Dîn ibn Daqîq al-’Id. Tahun 702 H. Taqy al-Dîn ibn Daqîq al-’Id wafat dan Ibn Jamâ’ah pindah lagi ke Mesir hingga awal tahun 710-an H. Akhirnya, Ibn Jamâ’ah tetap menjadi qâdhy dan berakhir hingga tahun 727 H. oleh karena kondisi kesehatannya kurang normal.

Selain ahli dalam beberapa disiplin di atas, Ibn Jamâ’ah juga dapat dipandang sebagai ahli sastra pada zamannya. Ia ingat betul pada nazham-azham sya’irnya, sehingga Imam al-Asnawi menyatakan bahwa Ibn Jamâ’ah piawai dalam menyusun sya’ir-sya’ir yang baik. Kesan demikian pun tampaknya diakui juga oleh Ibn Hajar.

Sungguhpun Ibn Jamâ’ah ahli dalam banyak hal, namun hidup kesehariannya tampak sederhana baik dalam hal makanan, pakaian, kendaraan, maupun tempat tinggalnya. Ia sangat menjaga diri dari perbuat maksiat (warâ’), konsisten dalam beribadah kepada Allah (murâqabah), mengasihi orang fakir-miskin, menyukai tasawuf, toleran, senantiasa terbuka dan menyukai ilmu pengetahuan. Bagi Ibn Jamâ’ah, ilmu pengetahuan harus lebih diutamakan daripada melakukan ibadah sunnah yang bersifat jasmani, seperti shalat, puasa, membaca tasbih, dan lain-lain. Menurutnya, ilmu pengetahuan mampu memberikan efek positif kepada yang bersangkutan, di samping juga kepada orang lain secara keseluruhan. Ibadah hanya memberikan implikasi spesifik, yakni hanya kepada yang melakukan ibadah itu saja, sementara orang lain tidak.

Karya-karya Ibn Jamâ’ah
Ibn Jamâ’ah sesungguhnya tokoh yang telah memiliki reputasi dalam berbagai bidang. Hal ini diakui oleh Ibn Hajar bahwa Ibn Jamâ’ah adalah shâhib ma’ârif, yadlrib fî kulli fann bisuhmin” [ahli pengetahuan dalam berbagai bidang dan dialektikanya]”. Al-Suyûthi sendiri mengomentarinya sebagai orang yang memiliki karya dalam berbagai bidang.

Karya-karya Ibn Jamâ’ah pada garis besarnya terbagi ke dalam sebelas disiplin ilmu pengetahuan. Berikut daftar karya-karya Ibn Jamâ’ah yang dikelompokkan secara tematis yang didasarkan atas judul-judulnya. 

Pertama, disiplin ’Ulûm al-Qurân terdiri atas (1) Ghurr al-Thibyân fî man lam Yusammi fî al-Qur’ân, (2) al-Tibyân li Mubhimât al-Qur’ân, (3) al-Fawâid al-Lâihat min Sûrat al-Fâtihah, (4) Kasyf al-Ma’âny ‘an al-Mutasyâbih min al-Matsâny, dan (5) al-Muqtadh fî Fawâid Takrîr al-Qashâsh.

Kedua, disiplin ‘Ulûm al-Hadîts terdiri atas (6) al-Munhil al-Rawy fî ‘Ulûm al-Hadits al-Nabawy yang merupakan ringkasan dari kitab ‘Ilm al-Hadits yang ditulis Ibn al-Shalâh. Dalam kitab ini, Ibn Jamâ’ah menambahkan beberapa catatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. di Damaskus. (7) al-Fawâid al-Ghazîrat al-Mustanbithat min Ahâdits Barîrah, (8) al-Mukhtashar fî ‘Ulûm al-Hadîts, (9) Mukhtashar fî Munâsabât Tarâjum al-Bukhârî li Ahâdîts al-Abwâb, (10) Mukhtashar Aftsâ al-Amal wa al-Syawq fî ‘Ulûm al-Hadîts al-Rasûl li Ibn al-Shalâh, (11) Arba’ûn Hadîtsan Tusâ’iyan.

Ketiga, disiplin Kalam terdiri atas (12) al-Radd ‘alâ al-Musyabbahah fî Qaulih Ta’âlâ “al-Rahmân ‘alâ al-‘Arsy Istawâ”, (13) al-Tanzih fî Ibthâl Hujaj al-Tasybîh, (14) Îdlâh al-Dalîl fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thil.

Keempat, disiplin Fiqh terdiri atas (15) al-‘Umdat fî al-Ahkâm, (16) al-Thâ’at fî Fadlîlat Shalât al-Jamâ’ah, (17) Kasyf al-Ghimmat fî Ahkâm Ahl al-Dzimah, (18) al-Masâlik fi ‘Ilm al-Manâsik, dan (19) Tanqîh al-Munâzharat fî Tashhih al-Mukhâbarah.

Kelima, disiplin politik terdiri atas (20) Hujjat al-Sulûk fî Muhâdât al-Mulûk, (21) Tahrîr al-Ahkâm fî Tadbîr Ahl al-Islâm.

Keenam, disiplin sejarah terdiri atas (22) al-Mukhtashar al-Kabîr fî al-Shirah, dan (23) Nûr al-Rawd.

Ketujuh, disiplin Nahu terdiri atas (24) Syarh Kafiyât Ibn al-Hâjib, dan (25) al-Diyâ al-Kâmil wa Syarh al-Syâmil.

Kedelapan, disiplin Sastra terdiri atas (26) Lisân al-Adab, (27) Dîwân al-Khithab, (28) Arjûzat fî al-Khulafâ,  dan (29) Arjuzât fî Qudhât al-Syâm.

Kesembilan, disiplin Perang terdiri atas (30) Tajnîd al-Ajnâd wa Jihât al-Jihâd, (31)  Mustanid al-Ajnâd fî Âlât al-Jihâd, dan (32) Awtsaq al-Asbab.

Kesepuluh, disiplin astrologi terdiri (33) Usthurulâb. Kitab ini diajarkan oleh Ibn Jamâ’ah kepada para pelajarnya di Damaskus.

Kesebelas, disiplin pendidikan terdiri atas (34) Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Mutakallim.

Klasifikasi disiplin di atas sesungguhnya didasarkan atas indikasi judul-judul karya Ibn Jamâ’ah. Secara umum, judul-judul tersebut relatif jelas memberi petunjuk tentang tema bahasannya. Jika klasifikasi tematis tersebut cenderung tepat maka tidaklah salah jika ada kesimpulan bahwa Ibn Jamâ’ah merupakan seorang ilmuwan ensiklopedis. Buah karya sejumlah 34 dalam 11 disiplin pengetahuan yang berbeda mendeskripsikan produktivitas penulisnya.

Sungguhpun  demikian, beberapa karya  tersebut sangat sulit ditemukan. Penelitian `Abd al-Jawwâd Khalaf memberi informasi bahwa paling tidak ada 16 judul yang manusikripsinya masih tersimpan di berbagai koleksi di negara Timur Tengah dan Barat. Judul-judul tersebut adalah Ghurr al-Thibyân fî man lam Yusammi fî al-Qur’ân, Kasyf al-Ma’âny ‘an al-Mutasyâbih min al-Matsâny, al-Fawâid al-Lâihat min Sûrat al-Fâtihah, al-Munhil al-Rawy fî ‘Ulûm al-Hadits al-Nabawy, Mukhtashar fî Munâsabât Tarâjum al-Bukhârî li Ahâdîts al-Abwâb, Arba’ûn Hadîtsan Tusâ’iyan, Tanqîh al-Munâzharat fî Tashhih al-Mukhâbarah, Îdlâh al-Dalîl fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thil, Tahrîr al-Ahkâm fî Tadbîr Ahl al-Islâm, al-Mukhtashar al-Kabîr fî al-Shirah, Nûr al-Rawd, Syarh Kafiyât Ibn al-Hâjib, Arjûzat fî al-Khulafâ, Arjuzât fî Qudhât al-Syâm, Usthurulâb, dan Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Mutakallim.

Karya-karya lainnya kemungkinan telah hilang atau belum teridentifikasi dalam koleksi-koleksi manuskrip Arab. Tampaknya perhatian studi terhadap karya-karya Ibn Jamâ’ah kurang menunjukkan semangat yang besar, terbukti dengan masih minimnya studi dan upaya-upaya melakukan edisi dan penerbitan. Sejauh informasi yang terkumpul menunjukkan ada lima judul yang telah diedit dan dicetak, yakni Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Mutakallim, Ghurr al-Thibyân fî man lam Yusammi fî al-Qur’ân, Kasyf al-Ma’âny ‘an al-Mutasyâbih min al-Matsâny, al-Munhil al-Rawy fî ‘Ulûm al-Hadits al-Nabawy, dan Arba’ûn Hadîtsan Tusâ’iyan. Hal ini pada sisi tertentu cukup menantang bagi para intelektual untuk mengkaji terhadap khazanah tersebut sehingga dapat diketahui kontribusi Ibn Jamâ’ah bagi pertumbuhan peradaban Islam dari dulu hingga kini.


Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon bekerja pada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI