Kitab At-Tibrul Masbuk fi Nasihatil Muluk: Keadilan sebagai Pilar Utama Kepemimpinan
Senin, 21 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Di setiap zaman, seorang penguasa yang adil, ibarat cahaya penerang bagi rakyatnya. Ia menjalankan kekuasaannya dengan penuh kebijaksanaan, selalu menghindari kezaliman dan kerusakan.
Keadilan menjadi landasan utamanya dalam memimpin, karena ia menyadari bahwa sebuah pemerintahan yang tegak di atas keadilan akan membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sebaliknya, penguasa yang zalim, bencana bagi negerinya; kekuasaan yang ditegakkan di atas penindasan tak akan bertahan lama, dan kehancuran pasti akan menyusul.
Baca Juga
Perbuatan Zalim Pasti Dapat Balasan
"Dan penguasa yang adil adalah orang yang memberikan keadilan kepada rakyatnya, dan berhati-hati dari kezaliman dan kerusakan. Penguasa yang zalim adalah petaka, kekuasaannya tidak akan bertahan dan tidak akan abadi," Begitu kata Imam Al-Ghazali dalam At-Tibrul Masbuk fi Nasihati al Muluk (1988: hlm. 44)
Sejarah mencatat, lanjut Imam Ghazali, kekuasaan orang-orang Majusi [Persia] pernah menguasai dunia selama 4000 tahun, menjadi salah satu contoh nyata dari keadilan. Meski mereka memiliki keyakinan dan agama yang berbeda, namun mereka tetap menjunjung tinggi keadilan dalam pemerintahan.
Setiap urusan rakyat diatur dengan adil dan seimbang. Tak menganggap kezaliman sebagai bagian dari agama mereka, justru keadilanlah yang menjadi nafas utama dalam memerintah. Hal inilah yang membuat kekuasaan Persia langgeng, dan negeri mereka makmur.
Bagi Imam Ghazali, keadilan dan kezaliman, dua hal yang menentukan nasib suatu bangsa. Di masa raja-raja seperti Raja Azzadshir, Afridun, Bahram Gor, dan Kisra Anusyirwan, keadilan mereka membawa kemakmuran bagi dunia.
Rakyat hidup dengan rasa aman, negeri-negeri dibangun dengan baik, dan semua urusan ditata dengan penuh kebijaksanaan. Kejujuran dan keadilan para pemimpin tersebut menjadi fondasi tegaknya kesejahteraan.
Baca Juga
5 Etika dalam Mengkritik Penguasa
Namun, di sisi lain, kerusakan yang melanda suatu negeri sering kali terjadi di bawah kekuasaan raja-raja zalim. Di masa pemerintahan Dahhak, Afrasyab, Barazdakht yang bersalah, dan mereka yang sejenis, dunia menjadi rusak.
Kekejaman dan ketidakadilan meruntuhkan tatanan yang ada, dan rakyat pun menderita akibat kebijakan yang menindas. "Keadilan adalah kunci, dan tanpa itu, sebuah kekuasaan hanyalah sementara, menunggu waktu untuk runtuh," ucap Hujjatul Islam itu. (hlm. 44)
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda tentang pentingnya keadilan;
الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم
Artinya; "Kekuasaan akan tetap ada meskipun dengan kekufuran, tetapi tidak akan tetap bertahan dengan kezaliman."
Pada halaman 45, Imam Ghazali melanjutkan nasihat, "Para penguasa itu, meski telah pergi meninggalkan dunia ini, nama mereka tetap dikenang," tambahnya. Setiap tindakan yang mereka lakukan membekas dalam ingatan manusia, baik itu sebagai warisan kebaikan ataupun catatan kelam dari tindakan buruk mereka.
Toh, sejarah hanya akan mengingat apa yang mereka tinggalkan, dan setiap penguasa akan diingat berdasarkan amal perbuatannya. Penguasa yang menebarkan kebaikan akan dikenang dengan hormat, sedangkan yang melakukan keburukan akan terus diingat dengan celaan, meski mereka telah lama tiada.
Untuk itu, seyogianya setiap manusia, terlebih lagi para orang yang berkuasa, harus menanam kebaikan dalam hidup. Sepatutnya menjauhkan diri dari segala bentuk dosa yang dapat menghancurkan nama baik kelak di kemudian hari. Sebab, nama dan warisan akan hidup lebih lama dari tubuh yang terbujur di kuburan. Kisah yang mereka tinggalkan akan terus diceritakan dari generasi ke generasi, baik itu sebagai peringatan atau teladan.
Pada akhirnya, yang tertinggal dari seorang manusia bukanlah harta atau tahta, melainkan kisah hidupnya. Para penguasa yang bijak akan menyadari bahwa warisan terbaik adalah nama baik yang terus dikenang, bukan kenikmatan duniawi yang hanya sementara. Sebagaimana syair Arab mengatakan;
اهرب من الذنب وتب يا فتى# وإن بدا منك فعد واندم
وانف عن نفك ما شأنها # ومن مساوي الدهر خف تسلم
وبعدك يبقى الذكر لا غيره # فكن حديثاً حسناً تغنم
Artinya, "Larilah dari dosa dan bertobatlah, wahai pemuda, dan jika tampak darimu (kesalahan), maka kembalilah (kepada Allah) dan sesalilah. Jauhkanlah dirimu dari apa yang tidak menjadi urusanmu, dan waspadailah keburukan-keburukan zaman agar kamu selamat. Setelah kepergianmu, yang akan tetap tinggal hanyalah kenangan, maka jadilah kisah yang baik agar kamu beruntung." (hlm. 45)
Simak juga perkataan Imam Ghazali berikut;
واعلم أن أولئك الملوك القدماء كانت همتهم واجتهادهم في عمارة ولا ياتهم بعدهم. روي أنه كلما كانت الولاية أعمر، كانت الرعية أوفى وأشكر. وكانوا يعلمون أن الذي قالته العلماء ونطقت به الحكماء، صحيح لا ريب فيه، وهو قولهم: إن الدين بالملك ، والملك بالجند، والجند بالمال. والمال بعمارة البلاد، وعمارة البلاد بالعدل في العباد
Artinya; Ketahuilah, bahwa para raja terdahulu memiliki ambisi dan tekad yang kuat untuk membangun wilayah-wilayah mereka setelah masa pemerintahan mereka berakhir. Diriwayatkan bahwa semakin makmur suatu wilayah, semakin setia dan bersyukurlah rakyatnya. Mereka memahami bahwa apa yang dikatakan oleh para ulama dan cendekiawan adalah benar tanpa diragukan lagi, yaitu: "Agama bergantung pada kekuasaan, kekuasaan bergantung pada tentara, tentara bergantung pada harta, dan harta bergantung pada pembangunan negara. Pembangunan negara bergantung pada keadilan terhadap rakyat." (hlm. 46)
Salah satu contoh pemimpin yang menjadikan keadilan bagai landasan kekuasaannya, kata Imam Ghazali, adalah Umar bin Khattab. Dikisahkan, bahwa di tengah gelapnya malam, Umar bin Khattab sering meninggalkan tempat tidurnya untuk berjalan menyusuri jalanan kota. Ia tak hanya diam di kediamannya, tetapi bersama para petugas berjaga malam. Umar berpatroli demi memastikan keadaan rakyatnya.
Suatu kali, ia pernah berkata, “Jika ada seekor kambing yang terserang kudis di tepi sungai dan tidak diobati, aku khawatir akan ditanya tentangnya pada hari kiamat.” Bayangkan, hanya seekor kambing saja yang tak terawat membuat Umar cemas akan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ia tak main-main dengan kepemimpinannya. Ketakutannya terhadap hari kiamat begitu besar, karena ia tahu bahwa sekecil apapun kelalaian bisa berujung pada pertanyaan yang harus dijawab di hadapan Sang Pencipta. (hlm. 19).
Membiarkan Bawahan Berbuat Zalim, termasuk Perbuatan Zalim
Lebih jauh lagi, seorang penguasa tidak hanya dituntut untuk menghindari kezaliman, tetapi juga untuk mendidik konco-konco politik yang ada di sekelilingnya untuk tidak berlaku semena-mena.
Mengangkat tangan dari melakukan kezaliman tidaklah cukup untuk diri sendiri; seorang pemimpin seharusnya mengajarkan nilai-nilai keadilan kepada pelayan, teman, bawahan dan wakilnya. Ini adalah peringatan bahwa setiap tindakan mereka akan dipertanggungjawabkan.
Praktik ini telah terlebih dahulu diamalkan Umar bin Khattab, ketika mengirimkan surat nasihat kepada Abu Musa Al-Asy'ari, Gubernur Bashrah. Nasihat itu berisi agar senantiasa bertindak adil dan mendengarkan rakyatnya.
Pemimpin yang sejati adalah mereka yang menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya, bukan sebaliknya. Seorang pemimpin haruslah menjadi teladan, tidak hanya dalam tindakan, tetapi juga dalam sikap dan prinsip. Jika ia bersikap longgar, para pegawainya pun akan meniru perilakunya.
Simak surat Umar kepada Abu Musa berikut;
أما فإن أسعد الولاة من سعدت به رعيته، وإن أشقى الولاة من شقیت به رعيته، فإياك والتبسط فإن عمالك يقتدون بك، وإنما مثلك كمثل داية رأت مرعى مخضراً فأكلت كثيراً حتى سمنت فكان سمنها سبب هلاكها لأنها بذلك السمن تذبح وتؤكل
Artinya; "Sesungguhnya, pemimpin yang paling beruntung adalah yang rakyatnya berbahagia karena kepemimpinannya, dan pemimpin yang paling sengsara adalah yang rakyatnya menderita karena kepemimpinannya. Maka jauhilah bersikap terlalu longgar, karena para bawahannya akan menirumu. Sesungguhnya perumpamaanmu adalah seperti seekor ternak yang melihat padang rumput hijau, lalu memakan banyak hingga menjadi gemuk, dan kegemukannya itu menjadi sebab kebinasaan baginya, karena dengan kegemukan itu dia disembelih dan dimakan." (hlm. 22)
Lebih lanjut, kata Imam Al-Ghazali, dalam kitab Taurat, terdapat pengingat bahwa setiap kezaliman yang dibiarkan oleh seorang penguasa dari bawahannya akan kembali kepada dirinya. Kezaliman tersebut akan dianggap sebagai bagian dari dirinya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan tersebut.
Ini mengisyaratkan betapa pentingnya bagi seorang pemimpin untuk bersikap tegas dalam menegakkan keadilan. Apabila pemimpin tidak menunjukkan sikap kritis terhadap kezaliman, ia tidak hanya membiarkan ketidakadilan merajalela, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya ketidakadilan itu sendiri.
وفي التوراة : كل ظلم علمه السلطان من عماله فسكت عنه كان ذلك الظلم منسوباً إليه وأخذ به وعوقب عليه
Artinya; 'Dan dalam Taurat disebutkan: Setiap kezaliman yang diketahui oleh penguasa dari para pejabatnya namun ia diamkan, maka kezaliman itu dinisbatkan kepadanya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban serta dihukum karenanya.' (hlm. 22)
Sebagai pemimpin, seyogianya harus menyadari bahwa tidak ada yang lebih hina daripada seseorang yang mengorbankan agama dan akhiratnya demi kepentingan duniawi orang lain. Banyak di antara penguasa terjebak dalam godaan nafsu, merancang tipu daya demi mencapai keinginan yang bersifat sementara.
Untuk menjaga keadilan di tengah masyarakat, seorang pemimpin harus mampu menata pembantunya dan para pekerjanya agar mereka juga bersikap adil. Hal ini meliputi perhatian terhadap kondisi rakyat, sebagaimana seorang kepala keluarga memperhatikan kesejahteraan keluarganya.
Sejatinya, pemimpin yang baik adalah mereka yang menjaga keadilan dalam diri mereka, tidak membiarkan hawa nafsu dan kemarahan menguasai akal dan agama. Keberhasilan dalam menegakkan keadilan dimulai dari diri sendiri; dengan demikian, seorang pemimpin tidak hanya menjadi pelindung keadilan, tetapi juga pencari keadilan sejati, bagi dirinya dan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua