Muhammad Syakir NF
Penulis
Masa depan tak lepas dari masa kini dan masa lampau. Penulisan sejarah menjadi satu hal penting sebagai materi pertimbangan guna menatap masa depan yang lebih baik. Apalagi sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18, bahwa kita dianjurkan untuk dapat menengok masa lalu sebagai upaya untuk menghadapi masa depan.
Nur Khalik Ridwan dan Ali Usman menyediakan bahan tersebut melalui kitab (baca: buku) yang berjudul Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama 1344 H/1926 M. Buku ini menjadi jembatan yang menghubungkan NU di masa lalu, kini, dan akan datang.
Sebagai ikhtisar, buku ini memang sengaja dihadirkan secara ringkas guna memenuhi kebutuhan yang dipermudah bagi publik umum. Meski kecil, buku ini tidak bisa disepelekan. Sebab, isinya yang memuat data dan paradigma baru dalam penulisan sejarah NU.
Sebab, buku ini memuat sebuah ‘kemungkinan’ dalam pendirian NU. Ditulis di dalamnya, pendiri NU bukan saja mereka yang namanya termaktub sebagai pengurus pada periode awal, bukan saja mereka yang datang dalam rapat penentuan itu, tetapi juga banyak kiai lain yang menjadi peserta rapat persiapan Komite Hijaz dan para organisatoris di Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan.
Buku ini menyebut sejumlah nama seperti KH Nawawi Noer, KH Faqih Maskumambang, KH Saleh Lateng Banyuwangi, KH Muhammad Hasan Genggong, KH Ma’ruf Kedunglo, KH Ma’shum Ahmad, KH Syamsul Arifin dan KH As’ad Syamsul Arifin, KH Muhammad Shiddiq Jember, hingga KH Abbas Buntet Cirebon dan KH Mahfudz Bogor.
Baca Juga
Kader NU Harus Paham Sejarah Nusantara
Memang nama-nama ini secara faktanya tidak terlibat dalam pengesahan pendirian NU. Namun fakta lainnya, para ulama tersebut memiliki peranan penting bagi pendirian NU dan penyebarannya.
Hal terakhir ini tidak bisa dinafikan mengingat para ulama tersebut menjadi rujukan bagi masyarakat di masanya, tidak hanya di daerah tempat tinggalnya saja, melainkan meluas sampai ke luar kota. Mengutip EH Carr dalam Apa Itu Sejarah (2014), sejarah merupakan kumpulan fakta yang telah dipastikan. Penulis sejarah ini mengumpulkan fakta-fakta yang terpisah ini.
Rupanya, penulis buku ikhtisar ini hendak memperluas kategori pendiri NU. Ia tidak ingin mempersempit pada forum kecil yang hanya dihadiri sebagian ulama saja di Surabaya. Karena sejatinya, hal tersebut merupakan puncak dari serangkaian proses pendirian dan persetujuan yang cukup panjang dari para ulama lainnya.
Namun sayangnya, fakta keterlibatan nama-nama tersebut tidak didukung dengan dokumen yang kuat berkaitan dengan forum Komite Hijaz atau pun Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan yang menjadi garis dari penulis itu sendiri. Nama-nama tersebut memiliki peran dalam penerimaan dan penyebaran NU sehingga mudah diterima masyarakat yang menjadi pengikut dari mereka.
Barangkali, ketiadaan dokumen bukan menjadi persoalan dalam penulisan sejarah NU. Pasalnya, sejarah lisan yang sambung-menyambung dari mulut ke mulut tanpa penulisan menjadi satu hal umrah. Penulis sejarah ini memang perlu menggali secara langsung cerita-cerita yang dilisankan langsung dari sumber-sumbernya.
Sejarah lisan, mengutip Kuntowijoyo dalam Metodologi Sejarah (2003), tidak kalah pentingnya dengan data-data yang berbasis dokumen. Sebab, banyak hal di era yang sudah modern ini masih belum dapat tercatat dalam dokumen. Terlebih dokumen bersifat statis, sedangkan sejarah lisan dapat melestarikan kejadian-kejadian yang lebih bersifat individual dan unik yang dialami seseorang atau kelompok tertentu.
Karenanya, buku tipis ini menjadi penting dalam perjalanan penulisan sejarah NU mengingat perluasan makna pendiri yang coba ditawarkan penulis. Masih banyak fragmen-fragmen sejarah NU yang terpisah-pisah di sejumlah daerah yang jika dipersatukan akan menjadi rangkaian kisah menarik untuk diteruskan ke generasi mendatang.
Meskipun demikian, di judul memuat tahun pendirian. Melalui hal tersebut, pembaca akan mengira bahwa buku ini hanya memuat sejarah di pusaran tahun tersebut saja. Nyatanya, buku ini memuat perjalanan NU hingga kemerdekaan Indonesia. Bahkan, bagian kedua buku ini mencatat sejarah mazhab-mazhab keagamaan yang dianut oleh NU, seperti Asy’ariyah dalam akidah, Ghazali dan Baghdadi dalam tasawuf, dan Syafi’iyah dalam fiqih.
Penulis juga lebih menulis pemikirannya, tidak lebih jauh menarik pada alasan NU menganut mazhab-mazhab tersebut. Bahkan, bila kita tilik kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menulis bahwa mazhab Muslim Nusantara dalam bidang tasawuf adalah al-Ghazali dan al-Syadzili.
‘Ala kulli hal, sebagaimana judulnya, buku ikhtisar ini betul-betul ringkasan sejarah yang sangat padat. Meskipun mini, tetapi membahas inti dari sejarah perjalanan NU.
Peresensi Syakir NF, pelayan Perpustakaan Cipujangga, Padabeunghar, Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat
Identitas Buku
Judul: Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama 1344 H/1926 M
Penulis: Nur Khalik Ridwan dan Ali Usman
Cetakan: I, Maret 2023
Tebal: xii+204 halaman
Penerbit: LTN PBNU
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua