Apabila kita membaca berbagai karya Kiai Sholeh Darat (1920-1903), akan tampak metodologi beliau dalam menulis: menyajikan yang berat dengan ulasan yang ringan. Kiai Sholeh Darat tidak mau bermonolog di hadapan pembacanya, melainkan memilih berdialog dengan berusaha memahamkan para pembaca karya-karyanya.
Karena Kiai Sholeh Darat adalah “Koki Intelektual”, maka ketika mengolah karyanya, beliau mengambil bahan baku yang pas dan cocok untuk diolah, diracik sedemikian rupa agar sesuai dengan selera lokal, dan disajikan dengan pola pikir masyarakat awam. Silahkan dicermati berbagai karyanya, niscaya akan ketemu pola seperti ini.
Karya-karya Kiai Sholeh Darat sebagian ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa pasaran, bukan bahasa Jawa Kromo Inggil ala keraton. Hal ini bisa dimaklumi, sebab jangkauan dakwahnya lebih ke masyarakat awam. Visi edukatif ini beliau tulis dalam pengantar salah satu karya populernya, Majmu’ah As-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam.
Dalam kitab ini, beliau menulis, “….kerono arah supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun awam kang ora ngerti boso Arab mugo-mugo dadi manfaat biso ngelakoni kabeh kang sinebut ing njeroni iki tarjamah. (agar masyarakat awam yang tidak mengerti bahasa Arab bisa paham dan semoga bermanfaat (serta) bisa mengamalkan semua yang disebutkan dalam terjemahan ini)."
Meskipun demikian, dakwah Kiai Sholeh bukan hanya menjangkau kalangan awam saja. Para priyayi yang menduduki posisi prestisius di kasawan pesisir Jawa juga menjadi murid setianya. Yang paling masyhur tentu saja Raden Ajeng Kartini. Perempuan ini meminta Kiai Sholeh agar memberikan ulasan lebih mendalam mengenai makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sebuah permintaan yang dikabulkan Kiai Sholeh dengan cara menulis Faidh al-Rahman, sebuah tarfsir Al-Qur’an yang kemudian dihadiahkan kepada Kartini pada saat pernikahannya dengan Bupati Rembang.
Lahir di Jepara, 1820, berguru kepada para ulama di Makkah dan mengembangkan kiprah keilmuannya di kota suci ini, namun panggilan nuraninya dan siasat “culik” yang dilakukan oleh Kiai Hadi Girikusumo pada akhirnya melabuhkan Kiai Sholeh Darat di Semarang, di mana beliau mengembangkan kajian keilmuan hingga akhir hayatnya, 1903.
Salah satu karyanya, Syarah Hikam, memberi penjelasan atas aforisme indah di dalam kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah As-Sakandari. Di tangan Kiai Sholeh Darat, ulasan tasawuf dalam kitab ini disajikan dengan indah dan mudah dicerna, bahkan oleh orang awam sekalipun.
Tak berbeda dengan ulasan dalam Syarah Hikam, Kiai Sholeh juga menyajikan ulasan mengenai hal-ihwal teologi (tauhid) yang enak dinikmati melalui karyanya, Tarjamah Sabil a-‘Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid. Kitab berbahasa Jawa ini merupakan syarah atas kitab Jauharah at-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani (w. 1631) yang berbentuk nadzam 144 bait. Ulama ahli hadits ini bermadzhab Maliki dan memiliki keahlian di bidang teologi dan tasawuf.
Meskipun terhitung pendek, tetapi kitab Jauharah at-Tauhid ini mencakup berbagai aspek perihal tauhid, bahkan juga tasawuf.
Tak heran jika Kiai Sholeh Darat menyisihkan waktunya untuk menuntaskan karya ini. Dalam masalah tauhid, kitab ini membahas lima puluh akidah ahlussunnah wal jama’ah.
Lima puluh akidah ini wajib diketahui oleh masyarakat awam secara terperinci dan wajib mengetahui dalilnya secara global. Menurut Kiai Sholeh Darat, orang awam cukup mengetahui dalil ijmaliy (dalil umum), tidak wajib mengetahui dalil tafshily (dalil terperinci), sebagaimana yang tertera dalam kitab Umm al-Barahin (hlm. 23).
Selain itu, buku ini juga mengulas hal yang wajib diketahui oleh umat Islam, seperti hisab, syafaat Rasulullah, sirath al-mustaqim, ruh, kebangkitan dari alam kubur, surga dan neraka, dan lain-lainnya.
Dalam ranah tasawuf, buku ini juga mengulas perilaku yang harus dimiliki seorang muslim seperti tawakal, memuliakan keturunan Rasulullah, juga mengenai tazkiyat an-nafs seperti ujub, riya’, takabbur, dengki, dan sebagainya. Yang menarik, dalam bab “77 Cabang Iman”, sekali lagi, Kiai Sholeh darat memberi penekanan mengenai pentingnya mengajar orang awam menggunakan bahasa lokal, seperti Melayu dan Jawa.
Kiai Sholeh memberikan contoh seorang cendekia bernama Syekh Ismail al-Minangkabawi yang mengajarkan kitab Sabil al-Muhtadin karya Syekh Arsyad Al-Banjari yang berbahasa Melayu di Makkah. “Orang yang menjadi guru tidak boleh sombong, tidak mau mengajarkan kitab terjemahan (bahasa Ajam/ selain bahasa Arab) karena khawatir dianggap bodoh, merasa senang jika orangh lain terlihat bodoh dan dia terlihat alim. Orang yang punya pemikiran seperti inia dalah orang gila.” (hlm. 61).
Visi edukatif Kiai Sholeh Darat terpantul melalui ulasan dari buku ini yang sangat gampang dicerna. Nadzam berbahasa Arab dikarang oleh Syekh Ibrahim al-Laqqani, kemudian diterjemahkan dan diulas dalam bahasa Jawa oleh Kiai Sholeh Darat yang mengambilnya berdasarkan materi yang diambil dari Hasyiyah As-Syaikh al-‘Allamah Ibrahim al-Bajuri yang berjudul Tuhfat al-Murid. Kemudian, lebih dari satu abad berikutnya karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Sahifa. Melalui buku ini kita bisa belajar teologi dan tasawuf dengan indah dan mudah.
Peresensi: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Surabaya)
Info buku
Judul : Tarjamah Tauhid Sabilul ‘Abid ‘Ala Jauharah at-Tauhid
Halaman : 456 hlm; 14, 8 x 21 cm
Penerbit : Sahifa
Cetakan : cet. 1, Mei 2017