Bicara masalah Gus Dur, tentu tidak asing di telinga kita. Banyak media cetak maupun online yang memuat tentang Gus Dur. Mulai Gus Dur sebagai politisi ulung sampai guru spiritual yang berpengaruh. Namun demikian, dalam buku ini disajikan sesuatu yang khas mengenai Gus Dur. Tidak hanya sebatas kelihaian dalam menghadapi masalah, melainkan Gus Dur sebagai guru spiritual. Walaupun, pada bab terakhir, pembahasan mengenai "Postwacana; Mengecap Pendidikan Spiritual Gus Dur" kurang dibahas secara mendalam. Hanya bagian besarnya saja, sekitar dua sampai tiga alinea. Barangkali hal inilah yang menjadi kekurangsempurnaan buku ini atau kelebihan buku ini karena pembaca langsung dapat menemukan titik temu pendidikan spiritual Gus Dur.
Dalam buku ini, dijelaskan kelihaian Gus Dur dalam mengatasi berbagai masalah dalam rangka memberikan pendidikan terhadap rakyat Indonesia. Ketika banyak orang menghujat Gus Dur karena membela Inul Daratista, Ahmad Dhani, kaum minoritas Kong Hu Chu dan lain sebagainya, Gus Dur tampil sebagai pembela. Walaupun hujatan sana-sini mengenai tindakan Gus Dur yang nyleneh ini.Tetapi, dalam kenylenahan Gus Dur yang telah berlalu itu, justru menjadi pembelajaran berarti bagi kita semua yang tak ternilai harganya. Dalam pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas, Gus Dur mengatakan, "Perasaan keagamaan seorang pelacur belum tentu kalah dengan seorang yang bersembahyang di masjid. Sebab, intensitas pengalaman beragama itu ada dua ekspresinya. Ada ekspresi implisit, ada ekspresi eksplisit. Yang implisit lebih ke dalam, sedangkan yang eksplisit mengikuti ajaran agama secara tuntas. Dua-duanya ini menurut saya punya hak yang sama untuk diekspresikan dan sama-sama Islam." (hlm. 213-214)
Tampaknya, Gus Dur memang benar-benar memikirkan kesejahteraan dan ketentraman rakyat secara tuntas, bukan sekedar mementingkan diri sendiri. Mungkin inilah bentuk mahabbah Gus Dur. Biasanya, banyak tokoh-tokoh sufi jika sudah sampai kepada maqom tertinggi cenderung tidak kembali menjadi manusia, mereka hanyut dalam instrumen ketuhanan masing-masing. Tapi, tidak dengan Gus Dur. Meskipun beliau adalah kiai besar dan ada kalangan menganggapnya wali, Gus Dur tetap menjadi manusia. Maksudnya, ia tetap bertindak humanis. Sebagaimana pendapat Prof Dr H Abd. A'la, MA. Dalam pengantar buku ini, "Tuhan tidak turun langsung mengurus manusia, tapi diperlukan wakil Allah.” (hlm. 12) Dikatakan pula bahwa Gus Dur memilih pahala yang lebih besar dari sekedar wiridan di masjid, dengan cara menyebarkan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Sehingga, kerap kali beliau diminta oleh luar negeri untuk melakukan perdamaian.
Begitu banyak khazanah spiritual Gus Dur untuk kemudian kita teladani dan diterapkan dalam kehidupan demi terciptanya kehidupan yang memanusiakan manusia.
Data buku
Judul: Gus Dur; Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa
Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasan
Penerbit: Diva Press
Tebal: 252 Halaman
Cetakan: I, Agustus 2015
ISBN: 978-602-255-956-6
Oleh: Moh. Tamimi, Mahasiswa Instika Guluk-guluk Sumenep, Madura, Jawa Timur, Indonesia