Penulis: Wisnu Arya Wardhana
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: 244 hlmn
Peresensi: M. Sanusi
Eksistensi Tuhan merupakan salah satu kebutuhan mendasar intelektual manusia dari dulu hingga kini. Isu-isu ketuhanan telah merangsang pemikiran manusia lebih dari rasa penasaran mereka akan hal-hal lainnya. Begitu banyak corak serta ragam konsep teologi disusun untuk memuaskan kebutuhan manusia akan hal yang bersifat transendental ini. Baik yang berdasarkan wahyu maupun konsep yang berangkat dari alam pemikiran rasional manusia.<>
Dalam perkembangannya, penyusunan corak konsep teologi ini kemudian menciptakan polarisasi umat manusia menjadi dua golongan besar yang sama sekali berbeda; teolog dan filosof. Kedua golongan ini memiliki perbedaan yang khas. Teolog adalah mereka yang berusaha menyelidiki isu-isu ketuhanan melalui wahyu, sementara filosof adalah mereka yang berusaha menjawab persoalan ketuhanan lewat penalaran rasional.
Namun, meski begitu, bukan tidak ada corak lain dalam teologi yang kemudian menandai dinamisnya perkembangan intelektual manusia. Simbol dari dinamika alam penalaran teologis itu bisa ditemukan dalam konsep ketuhanan para saintis, yang berbeda dengan Tuhannya para filosof maupun Tuhannya para teolog.
Buku ini mengetengahkan pencarian seorang saintis paling jenius abad 20, Albert Einstein, terhadap isu-isu teologis yang menggelisahkannya. Di dalamnya, didedahkan gejolak seseorang yang suntuk dengan teori-teori matematika dan fisika, namun pemikirannya tidak bisa lepas dari ketertarikannya terhadap isu-isu teologis. Seperti yang kita tahu, Einstein adalah fisikawan kelas nobel, namun terhadap persoalan-persoalan agama, khususnya teologi, sumbangan pemikirannya adalah sesuatu yang berharga yang menandai upaya manusia dalam mengakses Yang Maha Tak Terbatas.
Dalam pencariannya, pertama dia menolak argumen agamanya sendiri, yakni Yahudi, yang menggambarkan Tuhannya sebagai personal, atau Tuhan yang mempunyai kepribadian layaknya manusia. Kata Einstein, Tuhan tidak bisa direduksi menjadi mirip dengan manusia. Baginya, Tuhan tetaplah impersonal, realitas yang tidak ditemukan persamaannya sama sekali dengan manusia dan yang tampak kepada manusia.
Menurutnya, ide Tuhan personal tidak rasional. Begitu pun, dia tidak sepakat dengan argumen agama Kristen yang menyatakan Tuhan terdiri dari tiga komposisi atau Trinitas. Tuhan, bagi Einstein, harus satu, karena kalau tidak, akan terjadi distorsi mekanis dalam sistem otoritasnya terhadap alam raya. Sama dengan Tuhannya Yahudi, Tuhan Trinitas, bagi Einstein, juga tidak dapat diterima secara rasio. (hlm.108).
Lalu, bagaimana Enstein merumuskan “Tuhannya”? Tidak bisa lepas dari profesinya sebagai seorang saintis, Enstein berargumen bahwa Tuhan bisa ditemukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sains, khususnya matematika dan fisika. Alam raya, baginya, merupakan bentangan realitas yang bisa dipahami dengan menggunakan rumus-rumus matematis. Begitu pun Enstein percaya bahwa Tuhan dalam diri-Nya juga bisa dipahamai lewat pendekatan semacam itu. Tuhan Einstein merupakan pencipta tatanan dengan hukum-hukumnya yang tak tergoyahkan.
Dia kemudian mencoba mengkodifikasikan Tuhannya ke dalam sebuah agama kosmis yang menolak Tuhan personal sebagaimana Yahudi mengajarkannya, dan Tuhan Trinitas milik Kristen. Agama kosmis ini berbeda dengan agama konvensional, karena tidak ada ritual di sana, tidak ada doa, tidak ada pembalasan, sebagaimana Enstein yakini, kecuali bahwa Tuhan telah diredusir menjadi sekedar fungsi matematika. Di sinilah timbul perdebatan apakah Enstein seorang yang betul-betul mencari Tuhannya dengan ketulusan seorang saintis, atau memang seorang saintis-rasionalis yang menukar keyakinannya dengan ide-ide tradisional tentang Tuhan?
Jawaban lebih lengkap dari pertanyaan di atas bisa dilacak dalam lembaran buku Enstein Mencari Tuhan karya Wisnu Arya Wardhana ini. Sebuah buku populer yang ringan, namun tetap cerdas dan mendalam pengupasannya. Kehadiran buku ini patut diapresiasi selain sebagai khazanah bagi ragam dan corak evolusionisme pemikiran teologis manusia, di samping itu, buku ini ingin menunjukkan bagaimana paradigma sains bisa sama sekali berseberangan dengan paradigma filsafat dan bahkan agama.
*Peresensi adalah Mahasiswa Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
Terkini
Lihat Semua