Pesantren; Dari Tranformasi Metodologi Menuju Modernisasi Institusi
Selasa, 22 Agustus 2006 | 10:30 WIB
Penulis : Mujamil Qomar, Cetakan : 1, 2006, Tebal : 226 halaman, Peresensi : Muhammadun AS*
Bersyukur! Ya. Kaum santri layak bersyukur, karena sudah berapa puluh penelitian, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, maupun penelitian bebas lain yang terus memahami dan membedah wacana kepesantrenan. Namun, pesantren juga harus menggugat diri: apakah potensi besar pesantren yang diwariskan para pendahulu sudah dioptimalisasikan secara berdaya guna dan berhasil guna? Menggugat diri semacam ini akan terus "membangunkan" pesantren yang terus dibuai oleh romantisme: seolah pesantren sebagai lembaga alternatif terbaik yang mencetak kaum intelektual yang moralis. Semakin menyala gugatan dirinya, maka pesantren akan semakin menemukan formulasi diri yang sesuai dengan tantangan globalisasi. Pesantren akan merengkuh jati dirinya, tidak hanya untuk tafaqquh fi al-din, mengkaji dan membedah wacana keagamaan, tetapi juga sebagai penyangga peradaban bangsa yang menyinergikan tradisi dan kebuadayaan bangsa dengan kerangka fikir modernitas secara apik.
Mujamil Qomar dalam bukunya ini beru<>saha mengungkapkan dua cara pesantren menggugat diri: transformasi metodologi menuju modernisasi institusi. Transformasi metodologi merupakan upaya pesantren membangun kembali kerangka metodologi pemikiran dan pengajaran. Metodologi klasik pengajaran pesantren pada masanya memang relevan mampu menjawab persoalan yang ada. Terbukti, alumni pesantren mampu menjadi tonggak berdirinya bangsa, semisal Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Idham Khalid, Kiai Abdurrahman Wahid, dan sederet kiai kreatif lainnya. Mereka memang hasil didikan metodologi klasik murni, namun metodologi tersebut cukup dan sesuai.
Sekarang, metodologi klasik harus tetap eksis, disertai terbangunnya metodologi modern. Pola pendidikan modern lebih mengedepankan nalar kritis, tidak puas, dan terus mempertanyaakan segala persoalan, baik yang baku maupun tidak baku. Kalau meminjam istilah Pak Said, perlu dikembangkan pola manhaj al-fikr yang lebih rasional. Tradisi islam klasik yang ada dipesantren harus dijadikan sebagai modal besar guna menyusun kerangka manhaj al-fikr kaum pesantren, sehingga tercipta generasi pesantren yang kuat tradisi pemikiran klasik keagamaan serta cakap dan elegan ketika membedah persoalan sosial kontemporer. Kajian fiqh pesantren tidak hanya mengkaji apa yang ada dalam fathul qorib, fathul mu’in, dan fathul wahhab saja, namun juga mampu bagaimana merumuskan pola pemikiran fiqh siyasah (fiqh politik), fiqh iqtishody (fiqh ekonomi), fiqh tsaqofi (fiqh budaya), dan beragam ijtihadf pemikiran lainnya secara lebih kritis, sistematis, dan metodologis.
Kerangka-kerangak fikir demikian inilah yang sampai sekarang, menurut penulis, masih terus dari formula terbaiknya oleh lembaga pesantren. Dari berbagai pesantren, cara mengadopsi metodologi modernpun berbeda. Ada yang tetap memegang teguh tradisi klasik ,namun juga berwacana ria terhadap berbagai persoalan kontemporer, misalnya di Lirboyo, Sarang, dan Sidogiri. Ada juga yang berubah menjadi semi modern: separo klasik separo modern, ini terjadi di Tebu Ireng, Tambak Beras, Denanyar, Kajen dan Guyangan di Pati, dan Krapyak. Yang secara total modern juga ada, seperti Gontor dan Al-Amin Sumenep. Semuanya tipe ada plus-minusnya. Yang terpenting semua tipe tersebut mampu menyuarakan pemikiran pesantren guna menjawab tantangan global.
Itu yang pertama. Yang kedua, menurut penulis, pesantren mengalami modernisasi institusi. Dulu, pengasuh pesantren merupakan "penguasa" mutlak. Semua urusan kepesantrenan disentralisasikan kepada pengasuh. Namun sekarang berbeda. Pengasuh lebih memposisiskan sebagai "manager" yang mempunyai staf-staf khusus bidang tertentu. Para staf juga diberi wewenang pengasuh untuk membuat program kerja sendiri. Pengasuh hanya memonitoring dan mengarahkan. Dengan demikian, institusi pesantren sekarang lebih mengedepankan managerial yang profesional, walaupun kharisma pengasuh tetap menjadi rujukan utama. Gaya demikian biasanya karena pengasuh pesantren menjadi tokoh publik, sehingga banyak waktu yang dicurahkan kepada organisasi dan waktu dipesantren terkurangi. Gaya modernisasi ini pertama dilakukan oleh Kiai Yusuf Hasyim, Pengasuh PP Tebu Ireng Jombang. Pak Ud, panggilan akrab beliau, karena sibuk diberbagai organisasi nasional, akhirnya menerapkan kepemimpinan pesantren secara managerial, sehingga pesantren tetap berjalan secara normal dan efektif.
Dua model yang dikemukakan penulis tersebut sekarang hampir terjadi diberbagai pesantren di Indonesia, walaupun masih ada pesantren klasik dipelosok desa yang tetap mempertahankan tradisi klasik. Semuanya berusaha menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan genuine bangsa, mengakar sejak masa lalu, menjadi solusi terhadap persoalan kebangsaan. Diharapkan, nanti akan lahir kambali para tokoh yang lahir dari pesantren yang terus menggelorakan semangat kebangsaan dan ken
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua