Di zaman yang kian menua, pembacaan terhadap al-Quran hanya bernada ritual semata. Adalah sebuah ironi kala Al-Qur'an yang didapuk sebagai pedoman umat manusia, khususnya umat Islam, hanya dibaca tanpa ditelaah makna dan kandungannya.
Paling banter, kita hanya menengok terjemahan untuk mengetahui artinya saja. Padahal, untuk memahami esensi Al-Qur'an yang serupa mayapada tak bertepi, tidak hanya cukup membaca artinya saja. Akibatnya, hikmah-hikmah luhur Al-Qur'an acapkali terabaikan.
Ketika membaca Al-Qur'an, kita barangkali pernah berpapasan dengan kalimat ya ayyuhalladzina amanu. Kalimat ini diulang sebanyak 89 kali dalam Al-Qur'an dan lumrah dipahami sebagai ciri fisik dari ayat-ayat madaniyah―ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan pasca nabi hijrah ke Madinah. Melalui karya Nurul Huda Maarif ini, kita tahu bahwa keberadaan kalimat tersebut bukan hanya sapaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ayat-ayat ini dilanjutkan dengan tema-tema yang berkenaan soal kewajiban, larangan, jihad, qital, penghormatan pada kemanusiaan dan lainnya, yang secara umum bertema serius dan mengindikasikan identitas keimanan seorang muslim.
Dari 89 ayat yang termaktub, buku ini hanya mendedah sebagiannya yang mayoritas turun disertai asbabun nuzul. Namun, Nurul Huda Maarif tidak hanya mengupas secara mendalam ayat demi ayat, beberapa diramu dengan pembahasan yang up to date dan kontekstual dengan realita kekinian, seperti surat Ali ‘Imran ayat 100 yang mewartakan bahaya provokasi:
“Hai orang-orang yang beriman, seandainya kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
Ayat ini diturunkan lantaran ulah seorang Yahudi bernama Syas bin Qais yang dengki melihat kerukunan suku Aus dan Khazraj yang dulunya saling bentrok. Syas mengutus anak buahnya untuk nimbrung dan bercakap-cakap dengan mereka guna memprovokasi dan menyulut kembali sentimen pertikaian lama kedua suku tersebut ketika perang Bu’ats pada masa jahiliah.
Beruntung berita ini didengar oleh Rasulullah, beliau segera datang dan mendamaikan keduanya. Bersamaan dengan kejadian itu, Allah pun berpesan: “Wa’tashimu bihablillah jami’an wa la tafarraqu” (QS. Ali Imran[3]:103). (halaman 77-78)
Dalam konteks Indonesia, pluralitas memang menjadi senjata yang ampuh untuk memantik api permusuhan antar sesama umat Islam. Hal ini tidak lepas dari ulah pihak-pihak tak bertanggung jawab yang terus-menerus mengompori dan memprovokasi.
Imbasnya, ukhuwah wathaniyah bahkan ukhuwah Islamiyah digilas begitu saja dengan dalih membela harga diri. Mirisnya, mereka masih sama-sama orang Islam yang katanya beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Lebih-lebih di era media sosial ini. Di mana statemen-statemen provokatif sangat mudah dihembuskan untuk memancing emosi umat.
Memang, hari ini lini masa kita nyaris tak pernah sepi dari paparan konten-konten bermuatan negatif, semacam hoax, hujatan-hujatan kebencian, statemen kontroversial dan provokatif dan lainnya. Apalagi menjelang pilpres tahun 2019 ini, di mana masing-masing kubu Paslon bersaing untuk meraup sebanyak mungkin suara rakyat dengan ragam trik dan intrik, termasuk dengan melancarkan konten-konten diatas kepada lawan politiknya—seperti yang sudah-sudah. Di sinilah Allah kembali mengingatkan orang beriman untuk senantiasa bertabayun sebelum mengambil sikap.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS. Al-Hujarat [49]: 6).
Saat ini tidak sedikit kita temui berita yang justru membenarkan yang palsu dan memalsukan yang benar. Semakin canggih teknologi, pemalsuan informasi akhir-akhir ini juga sangat mengkhawatirkan. Uniknya, semakin banyak pula yang termakan bualan-bualan ini. Inilah zaman yang serba keblinger, ketika klarifikasi atau tabayun menjadi sesuatu yang mahal dan tidak banyak dilakukan. (halaman 312-313)
Buku ini mengajak kita untuk mempertanyakan kembali keimanan kita selama ini. Kendatipun demikian, buku ini lebih berposisi sebagai pengingat bagi kita, alih-alih menghakimi kita yang tak pernah lekang dari salah dan lupa.
Lebih jauh, seperti yang dituturkan KH Ahsin Sakho Muhammad di bagian pengantar, buku ini merepresentasikan ajaran Islam yang sebenarnya: menggugah kesadaran manusia agar selalu menjaga hubungan harmonis dengan Allah dengan berbakti kepada-Nya dan juga menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia dengan berlaku baik dan adil.
Peresensi adalah Muhammad Faiz As, pengurus perpustakaan Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep.
Identitas buku:
Judul Buku: Seruan Tuhan untuk Orang-Orang Beriman
Penulis: Dr. Nurul Huda Maarif
Cetakan: I, 2018
Penerbit: Zaman, Jakarta
Tebal: 418 Halaman
ISBN: 978-602-6273-16-1