Tokoh Kiai Haji Achmad Syahri

40 Tahun Menjadi “ Pemutar Roda” PBNU

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:43 WIB

Ketika Nahdlatul Ulama menjadi partai politik (1954-1984), ada satu nama penting yang tidak dapat dipisahkan dengan roda kegiatan sekretariat jenderal PBNU. Bahkan empat tahun sebelum NU menjadi partai politik sendiri setelah keluar dari Masyumi, tokoh ini sudah terlibat dengan kegiatan PBNU, sejak kantornya masih di Jalan Menteng Raya 24 A hingga di kantor Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.  Tokoh tersebut tidak lain adalah Kiai Haji Achmad Syahri-kini berusia 79 tahun dan tinggal di Kota Bekasi.

Selama hampir 40 tahun bergumul dengan tugas-tugas seketariat jenderal, H.A.Syahri sangat kaya dengan pengalaman berharga yang tidak dimiliki  pemimpin lain. Apalagi saat ini tinggal dia yang masih hidup, maka nyaris dia ibarat “perpustakaan” hidup tentang NU dan ke NU-an. Mereka yang ingin mendalami tentang NU, baik peneliti dalam maupun luar negeri, maka Kiai Syahrilah yang menjadi nara sumber yang sangat patut  dimintai berbagai keterangan  yang diperlukan.

<>

Kiai kelahiran Indramayu dari ibunya bernama Warmiah dan ayahnya Mohamad Rais itu, mulai bergabung dengan sekretariat jenderal PBNU pada tahun 1950, ketika usianya baru sekitar 26 tahun. Setelah belajar selama enam tahun di pondok Pesantren Al-Islam Jamsaren Solo, dia kembali ke kampung halamannya di kota mangga. Sebagai pemuda santri, dia bergabung dengan lasykar Hizbullah-Sabilillah. Memimpin barisan Hizbullah Achmad Syahri  berada di barisan paling depan menghadapi penjajah Belanda yang ingin mencengkeramkam  kembali kukunya pada tahun 1948 dan 1949.

Perannya yang sangat menonjol dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itulah membuat Belanda sangat berang kepada Syahri. Dia menjadi sosok yang dicari dan terus dicari Belanda, melalui mata-matanya para pengkhianat bangsa, yaitu teman-temannya sendiri yang pro Belanda. Tidak tahan dengan teror dan intimidasi, Syahri muda akhirnya memutuskan untuk  hijrah ke Jakarta dengan modal dan semangat perjuangan yang menyala—nyala.

Jadi wartawan

Kecintaannya kepada para ulama, mendorong Syahri sering bertandang ke sekretariat jenderal PBNU di Jalan Menteng Raya No.24 A (kini sudah tergusur dan menjadi gedung Alia). Kantor ini di kemudian juga menjadi kantor Redaksi Harian Duta Masyarakat, surat kabar milik NU yang diterbitkan menyongsong pelaksanaan pemilihan umum 1955. Ketrampilan tulis menulis yang dimiliki Syahri membuat dia dengan mudah diterima menjadi wartawan Kantor Berita Arab Press Board atau APB, yang berkantor di Jalan Salemba Tengah Jakarta Pusat ( di depan RS Thamrin). Dalam kapasitas sebagai wartawan itulah ,Syahri sering mewawancarai tokoh-tokoh NU seperti KH Machfudz Siddik, KH Abdul Wachid Hasyim, KH Abdul Wahab Chasbullah, disamping para pemimpin dari kalangan Masyumi yang berkantor di Jalan Kramat Raya No.45 Jakarta Pusat. Hasil-hasil wawancara Syahri dengan tokoh-tokoh NU khususnya, mendapat simpati para pemimpin NU.

Setiap hari Syahri bekerja rutin, dari tempat kostnya di Gang H Murtadho Salemba Bluntas menuju ke Salemba Tengah (kantor APB), kemudian ke Menteng Raya dan sore hari kembali lagi Salemba Tengah. Proses ini yang mengundang simpati KHA Wahid Hasyim-ayah Gus Dur, hingga Syahri diminta untuk bergabung secara tetap di sekretariat jenderal PBNU. Tidak lama kemudian, Syahri menjadi sekretaris pribadi KHA Wahid Hasyim, sampai KHA Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Agama dan hingga wafatnya, akibat kecelakaan mobil yang ditumpanginya di daerah Cimindi Bandung.
Peran sebagai sekretaris pribadi Wachid itulah yang membuat semua keluarga besar KHA Wahid Hasyim tidak pernah melupakan HA Syahri. Lebih dari satu tahun ,Syahri tinggal bersama KHA Wahid Hasyim di Jalan Taman Amir Hamzah No.8 Jakarta Pusat. Ketika Gus Dur menjadi presiden  HA Syahri dan keluarga pernah diundang khusus ke Istana Merdeka. Gus Dur sangat  hormat kepada bekas sekretaris pribadi ayahnya itu. Ketika KHA Wahid Hasyim wafat, Gus Dur baru berusia 13 tahun  dan dia selamat dalam musibah kecelakaan kendaraan.

Syahri muda yang energik, trampil dan selalu siap bekerja keras dan cepat sangat disukai oleh para pemimpin NU. Mereka merasa selalu dibuat senang oleh Syahri karena kepiawaiannya menangkap pesan-pesan para kiai dan merumuskannya dalam surat PBNU maupun dalam bentuk berita di harian Duta Masyarakat. Di kemudian hari Syahri pernah duduk sebagai anggota dewan Redaksi surat kabar Duta Revolusi, kemudian  Suara Islam dan lain-lain.

Salah seorang Ketua PBNU KH M Dachlan termasuk yang “mengincar” Syahri untuk dijadikannya sebagai seketaris andalan. Keinginan itu baru  terwujud paska Muktamar NU di Jakarta (1959) dan Muktamar Solo (1963), di mana HA Syahri menjadi sekretaris muktamar dan kemudian menjadi sekretaris PBNU merangkap Kepala Kantor PBNU. KH Moh Dachlan dan HA Syahri berduet untuk menjaga citra dan  kantor PBNU di awal kebangkitan orde baru.
Kerap silaturahmi

Mengungkap kenangan yang sulit dilupakan sebagai sekretaris pribadi KHA Wahid Hasyim, Syahri menjelaskan bahwa KHA Wahid Hasyim adalah s