Tokoh

KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh

Ahad, 25 Agustus 2024 | 11:02 WIB

KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh

Rais Aam PBNU ketiga (1971-1980) KH Bisri Syansuri (Foto: NU Online)

Mustajab yang kemudian dikenal dengan nama Bisri dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Siti Rohmah (Mariah) dan ayah yang bernama Syansuri Abdus Shomad pada bulan Dzulhijjah 1304 Hijriah, di desa Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzulhijjah 1304 Hijriah, yang bertepatan dengan 18 September 1887. Kiai Bisri Syansuri pada 27 Desember 1942 dalam buku “Pendaftaran Orang Indonesia yang Terkemuka yang Ada di Jawa” yang dikeluarkan Pemerintah Jepang menulis data lahir pada 05 Dzulhijjah 1304 H, atau 25 Agustus 1887.


Sebagaimana termaktub dalam silsilah Bani Abd. Shomad, Mustajab kelak dikenal dengan nama Bisri. Nama itu ia peroleh setelah pulang dari Mekkah dan kemudian ditambahi nama ayahnya. Lengkaplah menjadi Bisri Syansuri.


Bisri bersaudara terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan. Saudara tertua Bisri diberi nama Mas’ud, seorang anak lelaki sesuai dengan harapan keluarga di daerah itu pada umumnya, ia diharapkan dapat mewarisi tradisi kebaikan yang telah turun temurun dalam keluarga besarnya. Saudara kedua adalah seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Bisri sendiri merupakan anak ketiga, disusul dua lainnya, Muhdi dan Syafa’atun.


Tulisan berikut ini menarasikan Kiai Bisri Syansuri dalam lintasan arsip keluarga yang tersimpan rapi di Ndalem Kasepuhan Pesantren Denanyar, baik berupa buku yang relevan, surat menyurat, manuskrip kitab, album foto, catatan pribadi maupun kliping media, dengan beberapa ulasan dampingan.


Dalam sebuah kesempatan, KH Abdul Aziz Masyhuri ketika mendampingi Kiai Bisri saat Muktamar NU XXVI, tahun 1979 di Semarang, bertemu seorang guru besar Masjidil Haram bernama Syekh Zakaria bin Syekh Abdillah Billah yang mengikuti rombongan Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani Makkah. Saat itu Syekh Zakaria punya beberapa karya tulis, di antaranya berjudul Al-Jawahirul Hisan yang saat itu belum selesai ditulis. Dalam karya tersebut, Syekh Zakaria ingin memasukkan biografi Kiai Bisri. Pada saat itu, Kiai Aziz Masyhuri diwawancarai oleh Syekh Zakaria.


Di antara pertanyaannya adalah mengenai karya tulis Kiai Bisri yang sudah dicetakdan dijawab oleh Kiai Aziz, “Kiai Bisri Syansuri memang tidak banyak menulis  karya  berupa buku, karya monumentalnya  adalah  bersama  beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) serta orang-orang besar yang dibimbing Kiai Bisri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain. Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan.”


Dahulu, para ulama Jombang menyelenggarakan forum ilmiah ini dengan koordinasi imaroh (takmir) Masjid Kauman Utara, Jombang tiap 40 hari sekali. Masjid Kauman adalah masjid besar yang berlokasi di wilayah Pasar Legi Jombang. 


Selepas wafatnya Kiai Bisri, lima puluh masalah sosial keagamaan yang berhasil diputuskan pada masa Kiai Bisri Syansuri masih hidup itu berhasil diterbitkan pada 15 April 1981 dengan tanda tangan KH Mahfudz Anwar (ketua) dan H Abdul Aziz Masyhuri (sekretaris) dengan judul Muqarrarat Syura Min Ulamai Jombang (keputusan musyawarah ulama Jombang). 


Kiai Bisri Syansuri sendiri ketika beliau masih hidup, adalah sebagai ketua musyawarah ulama Jombang ini dengan sekretaris H Abdul Aziz Masyhuri. Adapun anggota musyawarah ulama ini antara lain adalah KH Adlan Aly, KH Manshur Anwar, KH Mahfudz Anwar, KH Abdul Fattah Hasyim, KH Syansuri Badawi, KH Dahlan Kholil, KH Abdul Hamid, Kiai Muhdhor, dan KH Syansun.


Tradisi ini adalah bagian tanggung jawab para ulama dalam dakwah membimbing umat, memecahkan problematika yang berkembang. Tradisi Bahtsul Masail kemudian menjadi bagian dari program kerja Nahdlatul Ulama, dengan adanya kelembagaan yang memfokuskan dalam wujud lembaga bahtsul masail.


Di NU sendiri, beberapa bulan sejak berdirinya pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), tepatnya pada Kongres I Nahdlatul Ulama pada 13-15 Rabiut Tsani 1345 (21-23 Oktober 1926) diselenggarakan bahtsul masail pertama sebagai bagian rangkaian acara Kongres Nahdlatul Ulama.


Dalam acara resmi NU, bahtsul masail terlaksana dalam agenda Kongres (kemudian berubah istilah menjadi Muktamar), Konferensi Besar (Konbes), dan Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas). Namun, ada pula bentuk bahtsul masail yang dihadiri para pimpinan NU, yang sifatnya kultural, misalnya dalam bentuk majelis tashih (tim verifikasi), dan bentuk lainnya. 


Pada 08 hingga 15 Shafar 1387 (1959), bertempat di Pesantren Denanyar Majelis Tashih yang terdiri dari KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Muhammad al-Karim Surakarta, KH Zubair Umar, KH Kholil Jombang, KH Sayuthi Abdul Aziz Rembang, memverifikasi hasil-hasil bahtsul masail.


Menarik sekali, kenapa tim verifikasi yang mengkaji permasalahan ilmiah keagamaan itu berlangsung di Jombang dan khususnya di Pesantren Denanyar, asuhan salah seorang pendiri NU dan Rais Aam PBNU (1971-1980), KH Bisri Syansuri. Penulis menduga di samping posisi istimewa Kiai Bisri Syansuri yang dikenal sebagai pakar fiqih, yang oleh Gus Dur disebut ‘Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat’, Denanyar cukup dikenal sebagai pesantren yang mempunyai perpustakaan dengan koleksi kitab-kitab besar yang relatif lengkap. 


Majelis tashih berikutnya, lagi-lagi juga bertempat di Pesantren Denanyar, terkait verifikasi kitab al-Kawakib al-Lamma'ah, sebuah karya tentang sejarah Aswaja, penamaan, identitas, dan relasinya dengan aliran atau organisasi lain. Kitab ini adalah karya Kiai Abi Fadhal Senori Tuban (w. 1991). Awal kali ditulis, kitab ini relatif tipis dengan judul al-Kawakib al Lammaah, ditulis pada 1381 H (1961 M) dan kitab ini masih tersimpan sebagai arsip di Ndalem Kasepuhan.


Matan kitab ini diajukan pada Muktamar NU tahun 1962 (1382 H), di Solo, dan mendapatkan penerimaan yang baik. Bahkan PBNU membentuk majelis tashih. Tim ini terdiri dari sepuluh kiai yang meneliti kitab ini. Sepuluh kiai ini, termasuk kiai dari Kalimantan, membahas dan mentashihnya di Ndalem Kasepuhan Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar pada akhir 1383 H (1963 M).


Peninggalan Kiai Bisri Syansuri masih banyak yang disimpan rapi, atau masih digunakan. Contohnya, meja marmer Kiai Bisri Syansuri, yang melegenda, karena meja marmer ini adalah saksi bisu adu argumentasi antara Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri di Ndalem Kasepuhan Pesantren Denanyar, yang ketika itu disaksikan sekitar 40 kiai.


Kiai Bisri juga memiliki bencet sebagai alat tanda waktu istiwa' yang dulu dipasang di depan Ndalem Kasepuhan. Demikian pula bedug masjid Denanyar yang hingga saat ini masih disimpan dan dirawat oleh alumni.


Apakah Kiai Bisri Syansuri mempunyai karya atau tulisan? Gus Baha’ dalam pengajian peringatan Haul KH Bisri Syansuri menyatakan bahwa mustahil seorang alim seperti Kiai Bisri tidak menghasilkan karya tulis.


Dan memang benar pernyataan pakar tafsir dan fikih ini, karena berdasar penelusuran dokumen yang tersimpan rapi di perpustakan ndalem kasepuhan, Kiai Bisri menulis beberapa karya. Pertama adalah kumpulan Fatwa beliau tentang KB, kedua beberapa fatwa catatan tambahan atau koreksi beliau atas hasil Bahtsul Masail PBNU yang ditranskrip oleh KH Abdul Aziz Masyhuri dalam “Risalah Akhir Sanah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif” antara lain tentang hukum berpindah mursyid, dan ketiga beberapa naskah teks pidato, antara lain ketika beliau berpidato pengarahan pada Pembukaan Kongres Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabaroh keempat di Semarang pada 1968. Naskah pidato dengan delapan halaman Arab Pegon itu memuat pokok-pokok pemikiran Kiai Bisri tentang dunia tarekat dan serba serbi persoalannya.


Kemudian, setidaknya ada dua artikel Kiai Bisri yang dimuat dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama yang pertama terbit pada tahun 1346 H/1927 M). Di majalah yang ditulis dengan huruf Arab pegon ini kita dapat menjumpai sejumlah tulisan para kiai sepuh semisal KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Ahmad Dahlan bin Ahyath, KH Bisri Syansuri, dan para kiai sepuh lain. 


Khusus KH Bisri Syansuri, ada dua tulisan pendek yang dinisbatkan kepadanya. Pertama, dimuat di Majalah Suara NU edisi tahun 1346 H yang mengulas tentang persoalan fikih. Kedua, dimuat di Majalah Suara NU edisi tahun 1347 H yang mengulas nasihat sang guru, KH Hasyim Asy’ari, tentang pentingnya mendidik dan membekali putra-putri dengan bekal ilmu. 


Di bagian akhir, setelah ucapan salam penutup, terdapat keterangan: “Katabahu al-faqir Bisri bin Syansuri Denanyar Jombang” (ditulis oleh al-faqir Bisri bin Syansuri, Denanyar, Jombang). Hal ini menunjukkan secara meyakinkan bahwa nasihat KH Hasyim Asy’ari tersebut ditulis oleh KH Bisri Syansuri. 


Pada 09-12 April 1961, Pesantren Luhur Malang mengadakan semacam Seminar Aswaja, dengan narasumber para ulama. Di antara yang diundang sebagai pembahas adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri. Paparan makalah Kiai Bisri diunggah oleh website Pesantren Luhur Malang.


Kiai Bisri juga menyimpan dan menulis beberapa catatan pinggir kitab dan sampai saat ini manuskrip tersebut masih tersimpan rapi di Perpustakaan Ndalem Kasepuhan. Saat ini masih ditelusuri terus untuk dipilah mana yang merupakan hasyiah (catatan pinggir) atau syarah (penjelasan luas) yang dilakukan beliau dan mana yang merupakan sekedar simpanan khazanah pesantren. 


Di samping peninggalan karya kitab, Kiai Bisri juga rajin mengarsip dokumen keorganisasian dan wirid doa. Keputusan Musyawarah Ulama Terbatas tentang KB, beberapa lembar keputusan Bahtsul Masail, adalah di antara dokumen yang masih tersimpan rapi. 


Bangsa Indonesia pada 12 Jumadil Ula 1391 Hijriah akan mengadakan gawe besar Pemilihan Umum, bertepatan dengan Senin Wage 05 Juli 1971. Sebagai pengayom masyarakat, para ulama giat ikhtiar zahir dan batin untuk kesuksesan pemilihan umum tersebut, di antaranya dengan pengijazahan doa-doa dan wirid. Kiai Bisri Syansuri ikut menyimpan dan mengijazahkan satu lembar wirid doa kemenangan Pemilu itu dengan membubuhkan tanda tangan beliau sendiri. Kiai Bisri juga mengoleksi banyak kitab yang tersimpan rapi di Perpustakaan Ndalem Kasepuhan hingga kini, dan di sela-sela kitab koleksi beliau kadang ada beberapa wirid doa tulisan tangan ijazahan doa-doa, antara lain Shalawat Nur Dzaty. 


Di samping itu Kiai Bisri juga menyimpan surat menyurat para kiai. Memang, para kiai pada masa lampau biasa berkomunikasi melalui surat. Dalam dokumen keluarga Kiai Bisri Syansuri, ada cukup banyak koleksi surat-menyurat, misalnya surat Kiai Ali Makshum (Rais ‘Aam PBNU, 1981-1984), Kiai Ahmad Shiddiq (Rais ‘Aam PBNU, 1984-1991), Kiai Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU, 1999-2014), dan lain-lain. 


Kumpulan korespondensi itu penting, karena berkaitan dengan persoalan dan kemaslahatan umat Islam dan khususnya Nahdliyin, contohnya aspirasi KH Bisri Syansuri dan KH Ali Ma’shum yang mendesak Presiden Suharto agar menggagalkan suatu acara besar yang berpotensi meresahkan umat Islam.


Ketika wafat pada sore 09/10 Jumadil Akhir 1400 H, atau Jumat 25 April 1980 dalam usia 93 tahun, Kiai yang dikenal wirai ini ditakziahi ribuan warga, Nahdliyin dan para tokoh. 


Kiai Aziz Masyhuri dalam bukunya menyebut bahwa di Ndalem Kasepuhan, shalat jenazah dilaksanakan sebanyak 32 kali. Karena terus membludak, akhirnya jamaah shalat jenazah dilaksanakan di Masjid Denanyar. Pelaksanaan shalat jenazah terakhir diimami oleh KH Imam Zarkasyi dari Pesantren Modern Gontor Ponorogo.


Pada waktu jenazah akan dikeluarkan dari Ndalem Kasepuhan sudah diumumkan bahwa pemberangkatan dan pengangkatan jenazah hanya dilakukan oleh keluarga almarhum. Namun, arus manusia yang demikian meluap ingin ikut serta memikul jenazah membuat isi pengumuman tersebut tidak bisa dilaksanakan. 


Jalanan macet dengan lautan manusia dan aneka kendaraan berderet panjang di sekitar Denanyar. Para kiai dan tokoh masyarakat yang tinggal di ibukota, naik pesawat udara menuju Bandara Juanda, di Surabaya, kemudian bertolak ke Jombang melalui jalur darat.


Demikianlah, Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar dipenuhi pentakziah. Jenazah almarhum itu berjalan terus, seolah-olah ada kekuatan ghaib yang mendorongnya dengan iringan derai air mata. Pengiring jenazah terus menerus saling berebut memanggul jenazah, setidaknya sekedar untuk menyentuhnya. 


Jenazah dikebumikan pada Sabtu, pukul 13.00 WIB. Pidato sambutan atas nama keluarga disampaikan oleh KH Abdurrahman Wahid. Atas nama PBNU disampaikan oleh Prof. KH Anwar Musaddad; atas nama DPR RI disampaikan KH Masykur; atas nama MUI disampaikan oleh Prof. Dr. HAMKA; atas nama pemerintah disampaikan oleh Menteri Agama, H. Alamsyah Ratu Prawiranegara; atas nama ulama Jawa Timur disampaikan KH Mahrus Aly Lirboyo, atas nama partai disampaikan oleh H. Nuddin Lubis; dan disambung oleh, Dr. KH Idham Cholid yang baru datang ketika doa sedang dibaca oleh KH Mahrus Aly. Bertindak sebagai penalqin adalah KH Abdullah Zen Salam, Kajen Jawa Tengah. 


Selepas upacara tersebut, dilakukan sekali lagi upacara mensalatkan jenazah di samping atas liang makam Kiai Bisri Syansuri oleh Dr. KH Idham Cholid, KH Saifuddin Zuhri, KH Ahmad Syaikhu, KH Ali Yafi, Dr. KH Tholhah Mansur, KH Abdullah Shiddiq, KH Imron Rosyidi, dan para kiai lainnya yang datang terkemudian, juga para pejabat dan intelektual antara lain J. Naro, Wagub Jatim Sugiono, H. Imam Sufyan, Bupati Probolinggo H. Sudirman, Bupati Jombang Hudan Dardiri, jajaran pimpinan Muslimat (Nyai Asnah Syahroni, Nyai Saifuddin Zuhri, Nyai Ali Masyhur, Nyai Malihah Agus), dan Prof. Nakamura seorang Sosiolog dari Jepang.


Banyak kesaksian atas kebesaran sosok KH Bisri Syansuri dari para kiai dan tokoh masyarakat. Kiai Yusuf Hasyim Tebuireng, antara lain menyatakan,


"Almarhum KH Bisri Syansuri, seperti pengakuan KH As'ad Syamsul Arifin dari Pondok Pesantren Asembagus Situbondo, sebagai Rais Aam PBNU memiliki tiga hal yang sukar dicari bandingannya: (1). Melaksanakan dan menguasai ilmu secara konsekuen, (2) Berpandangan luas mengenai kemasyarakatan, (3) Memiliki sifat panglima.


Buya Hamka, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan kesaksian:


"Almarhum sebagai ulama yang shaleh yang tidak henti-hentinya membaca Al-Qur'an dan menyebut nama Allah walaupun beliau sedang berjalan. Kecil diri saya di hadapan beliau. Kepergian beliau hendaknya seperti pohon pisang. Jika ditebang satu, maka serta merta akan tampil tumbuh generasi penggantinya. Sampai akhir hayatnya beliau tetap sederhana, konsekuen dan teguh dalam pendirian, tak tergoyahkan oleh gemerlapnya kehidupan modern."


Haji Alamsyah Ratu Prawiranegara, Menteri Agama RI menyatakan,


"Kepergian Mbah Bisri ini, bukan saja merupakan kehilangan bagi umat Islam Indonesia, tapi juga masyarakat pada umumnya. Sebab di Seratus Empat Puluh Lima Juta penduduk Indonesia sulit dicari penggantinya. Beliau, di samping sebagai seorang ulama yang bisa menjadi bapak, guru, sekaligus juga pejuang!"


KH Mahrus Ali, Rais Syuriyah PWNU Jatim memberikan kesaksian:


"Kiai Bisri termasuk pemimpin yang sering dimintai nasehatnya oleh Presiden Soeharto. Karena itu, meninggalnya merupakan musibah besar bagi umat Islam Indonesia. Kita kehilangan seorang ulama besar yang sanggup menyatukan umat Islam dalam kondisi kritis."


H. AR Fakhruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah memberikan kesaksian,


"Kebesaran almarhum sebagai orang tua sekaligus sebagai sumber hukum, tempat banyak orang bertanya dan meminta tahkim atas berbagai masalah. Kami merasakan kehilangan seorang tokoh."


Tengku H. M. Sholeh, salah seorang pimpinan DPR RI memberikan kesaksian:


"Almarhum dikenal sebagai orang yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tidak saja dalam soal berpakaian, tetapi terutama dalam soal tingkah lakunya. Dalam soal mengambil suatu keputusan, almarhum selalu tegas dan teguh dalam prinsip. Tetapi juga selalu berusaha agar setiap keputusannya tidak terlalu keras, tidak mencari-cari suatu yang bisa menimbulkan perpecahan. Bahkan selalu berusaha bagaimana agar kebijaksanaan tersebut bisa diterima oleh semua pihak."


KH Hasan Basri pimpinan MUI menyatakan dalam siaran persnya,


"Dengan meninggalnya Mbah Bisri bukan hanya MUI telah kehilangan salah seorang anggota dewan pertimbangan, tetapi bahkan umat Islam serta bangsa Indonesia telah kehilangan seorang ulama besar yang amat besar jasanya terhadap Nusa bangsa dan agama."


Kiai Bisri adalah seorang ulama besar. Cucu beliau, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat menulis sebagai berikut:


"Kiai Bisri adalah orang besar, karena ia lebih besar dari kehidupan sehari-hari manusia umumnya. Tetapi kebesaran itu hanya akan ada, karena Kiai Bisri memilih mengikuti sebuah pola kehidupan yang juga lebih besar dari kehidupan itu sendiri, yaitu pola kehidupan yang sepenuhnya tunduk kepada hukum fiqih. Dengan kewafatannya, hilang pula sebuah tonggak besar dalam kehidupan kita sebagai bangsa: angkatan ulama yang mampu menerapkan hukum fiqh secara tuntas dan penuh dalam kehidupan mereka sendiri, dan kemudian diperluas menjadi sebuah pola perjuangan kemasyarakatan."


Majalah (Buletin) Aula PWNU Jatim, nomor 03 tahun II 1400 H/1980 memuat cover dengan judul Mbah Bisri Telah Pergi. Di antara muatan tulisan itu, "...Ia salah seorang pendiri NU yang terakhir. Tak hanya itu, ia juga seorang Rais 'Aam. Orang pertama dalam NU. Bukan lantaran jabatannya beliau dihormati dan disegani, tapi karena kearifan beliau dalam menentukan sesuatu."