Tokoh

KH Cucu Komarudin Sukabumi dan Pesantren Taman Surga

Jumat, 29 Desember 2017 | 05:01 WIB

KH Cucu Komarudin Sukabumi dan Pesantren Taman Surga

KH Cucu Komaruddin.

Hampir sebelas tahun saya mengajar di Yayasan Riyadlul Jannah, Cikundul sejak tahun 2007. Yayasan ini didirikan oleh almarhum KH Cucu Komarudin. Pada tahun 2007 itu, saya diajak oleh Kang Jihad untuk mengajar matematika di PKBM Riyadlul Jannah. Sudah tentu, ada perbedaan signifikan antara sekolah formal dengan PLS seperti PKBM terutama dalam waktu pelaksanaan kegiatan belajar dan mengajar. 

Bagi para siswa PKBM diberikan keleluasaan, kegiatan belajar dan mengajar diselenggarakan hanya 3 (tiga) hari; Kamis, Jumat, dan Sabtu. Waktu kegiatan pun dilaksanakan pukul 13.00-17.00 WIB. Kecuali membuka PKBM, sejak yayasan ini didirikan, KH Cucu Komarudin telah membuat divisi atau pembagian pengelolaan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan ini antara lain; (1) Pengelolaan Pondok Pesantren, (2) Kegiatan Majlis Taklim, (3)Madrasah Ibtidaiyah, dan (4) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Masing-masing divisi dikelola oleh pihak keluarga, pondok pesantren dan PKBM dikelola langsung oleh KH Cucu Komarudin. Kegiatan majlis taklim dikelola oleh Samsul Puad sedangkan Madrasah Ibtidaiyah dikelola oleh H. Abdullah Amin. KH Cucu Komarudin sebagai salah seorang tokoh ulama sekaligus Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Kota Sukabumi telah menempuh langkah-langkah akomodatif dengan mendahulukan sikap al-mashalah al-ammah (kebaikan untuk semua) di dalam mengelola yayasan tersebut, salah satunya dengan melibatkan orang-orang luar untuk bersama-sama mengembangkan yayasan ke arah kemajuan.

Di awal tahun 1980, Madrasah Ibtidaiyah didirikan. Menurut penuturan salah seorang pengelola, pendirian Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu upaya membangun karakter religius anak-anak setempat. Di tahun 1980-an, pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun lembaga-lembaga pendidikan dasar seperti SD Inpres dan lembaga-lembaga lain, Yayasan Riyadlul Jannah, dulu masih berupa pondok pesantren membuka cakrawala baru dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat.

Dibangunnya Madrasah Ibtidaiyah merupakan sejarah baru bagi lembaga ini, bahwa latar belakang dan motivasi pembangunan karakter religious bagi masyarakat menjadi modal dari kegiatan lembaga ini.

Pendidikan Luar Sekolah (PLS) untuk tingkat SMP dan SMA di Kota Sukabumi berjalan tidak semeriah sekolah-sekolah formal. Pasang surut Pendidikan Luar Sekolah ini disebabkan oleh: motivasi siswa masih belum maksimal dalam melakukan kegiatan belajar (karena PLS dianggap relatif bebas), stimulasi dana terhadap kegiatan PLS tidak sebaik pendidikan-pendidikan formal, tenaga pendidik masih kurang dalam segi jumlah, bahkan penambahan kuantitas tenaga pendidik untuk PLS ini kurang diimbangi olehkualitas tenaga pendidik tersebut. Pada akhirnya, anggapan sederhana terhadap PLS dan PKBM ini adalah: sekolah gratis dan bebas waktu.

Demi alasan-alasan di atas, pada tahun 2010, Yayasan Riyadlul Jannah memokuskan kegiatan pendidikan pada sektor formal. Hamzah mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Riyadlul Jannah. Di awal pendiriannya, sebanyak 34 siswa menjadi peserta didik di MTs Riyadlul Jannah. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak lulusan MI dan SD Negeri Cikundul. Maka semakin jelas, pendirian MTs ini merupakan langkah kedua setelah pondok pesantren Riyadlul Jannah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di awal tahun 1980.

Setelah tiga tahun berdiri, ruang kelas baru dibangun. Jumlah siswa sebanyak 83 orang mengisi ruang-ruang kelas baru dari kelas I sampai kelas III. Satu hal baik, karena pendidikan tingkat dasar ini masih didanai oleh Bantuan Operasional Siswa (BOS), MTs Riyadlul Jannah memberikan pelayanan pendidikan tanpa biaya kepada para peserta didiknya. Jelas sekali, ini begitu jauh berbeda dengan sekolah-sekolah formal lain yang masih memberikan beban biaya kepada para siswa meski pun telah mendapatkan Bantuan Operasional Siswa (BOS) dari pemerintah.
Peran KH Cucu Komarudin tersebut tidak terlepas dengan adanya koneksi yang dilatarbelakangi oleh hubungan dekat antara dirinya dengan keluarga besar Pondok Pesantren Al-Mashturiyah, Cisaat. Pandangannya terhadap pentingnya mengembangkan pendidikan - salah satunya - dipengaruhi oleh wasiat KH Muhammad Masthuro, "Ulah pagirang-girang dina ngamajukeun pasantren” (Jangan berebut jabatan di dalam memajukan pondok pesantren).

Enam Wasiat (Washaya Sittah) KH Muhammad Masthuro secara khusus telah dibahas secara lengkap oleh Abdul Jawad di dalam tesisnya "Washaya Sittah KH Muhammad Masthuro (1901-1968) dalam Pembentukan Islam Lokal di Sukabumi Jawa Barat”. Wasiat pertama KH Muhammad Masthuro, menurut Abdul Jawad dimaksudkan agar setiap anggota keluarga dan anak cucu KH Muhammad Masthuro benar-benar memusatkan perhatian pada kemajuan pendidikan, terutama pesantren.

KH Cucu Komarudian menyadari benar pentingnya mengejawantahkan wasiat tersebut sebab secara personal, istri beliau Hj Oom Hasanah merupakan cucu dari KH Muhammad Masthuro, sudah tentu wasiat-wasiat yang disampaikan oleh kakek mertua sekaligus sebagai gurunya wajib dilaksanakan. Pengamalan dan aplikasi wasiat KH Muhammad Masthuro di Cikundul ini merupakan intisari dari ajaran-ajaran KH Muhammad Masthuro yang terdapat di dalam Washaya Sittah butir keenam, "Kudu mapay torekat Abah", artinya harus mencari jejak dan menempuh jalan yang telah ditempuh oleh KH Muhammad Masthuro.

Abdul Jawad (2017:164) menyebutkan Tarekat Abah sebagaimana yang tercantum dalam butir keenam dari Washaya Sittah KH Muhammad Masthuro merupakan jalan hidup yang telah ditempuh oleh para kiai. Aplikasi nyata darinya adalah penerapan akhlak al-kariimah seperti; saling menyayangi, mencintai, tidak dengki, dan menutupi kelemahan serta kekurangan orang lain. Ketika masih hidup, menurut penuturan Hamzah, salah seorang putera KH Cucu Komarudin, beliau selalu memperlihatkan raut muka soméah (berseri-seri), sering ingin membahagiakan orang lain meskipun hanya melalui raut wajah.

Sebagai salah seorang kiai di Sukabumi, KH Cucu Komarudin biasa menjadi pemateri dan pendakwah dalam berbagai pengajian baik di lingkungan masyarakat juga pemerintahan. Suatu hari, seseorang menyapa beliau, meskipun -bisa saja, beliau tidak mengenal atau lupa kepada orang yang menyapanya, tetapi dari diri beliau tidak keluar pertanyaan; “Siapa ini, saya lupa?” Baginya, meskipun hanya dengan mengeluarkan kalimat seperti itu -padahal dalam bentuk pertanyaan- takut akan melukai hati penanya.

Semangat KH Cucu Komarudin di dalam mengembangkan Islam dan pendidikan yang bercorak Islam ini tidak pernah lepas dari peran keluarga beliau secara turun-temurun, jika melihat kepada perkembangan Islam di Cikundul didapati benang merah, kakek buyut hingga kepada ayahnya merupakan orang-orang yang telah berjasa di dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di daerah ini.
Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Cikundul –sama sekali – belum diteliti secara serius dan utuh oleh para ahli. Berdasarkan beberapa obrolan dengan beberapa tokoh, dapat diperkirakan pintu masuk penyebaran Islam ke Cikundul ini melalui daerah Bangbayang dengan alasan, pada abad ke-15 daerah di lereng pegunungan merupakan sebuah pasar tradisional dan perdagangan masyarakat.  Penyebaran Islam di Sukabumi tentu berbanding lurus dengan semakin kokohnya Kekuasaan Kerajaan Islam di Banten, Sundakelapa dan Cirebon. Untuk mengetahui bagaimana proses penyebaran dan perkembangan Islam di daerah Cipeueut, Bangbayang, Cikundul, dan daerah sekitarnya  dapat terhubung oleh keberadaan beberapa orang antara lain; Abah Acin (1820-1902), KH Yunus (1843-1950), dan KH Sayuthi (1864-1988).

Abah Acin, seorang tokoh sentral di kampung Jeruk dipercaya masih menganut ajaran leluhur. Dia memiliki ilmu kanuragan, memang keajaiban atau kata yang merujuk terhadap keajaiban ini kurang diterima secara ilmiah dan sulit untuk dimasukkan ke dalam obyek penelitian. Tetap berdasarkan cerita yang tersebar di masyarakat, keajaiban atau keistimewaan tentang orang-orang terdahulu seperti sebuah fakta yang sulit dibantah. Dengan tidak mengurangi keilmiahan dan bisa disebut pseudoilmiah, kesaktian Abah Acin tergambar dari beberapa penuturan sebagian masyarakat yang dibahasakan secara turun-temurun.

Sebuah peristiwa, banjir bandang pernah terjadi di sungai Cimandiri, air meluap hingga memenuhi bantaran, sebagai seseorang yang memiliki beberapa kerbau akan menjumpai kesulitan bagaimana cara menyeberangkan kerbau dari bagian bantaran sungai ke bantaran sebelahnya. Cukup dengan melambaikan tangan, kerbau-kerbau itu seolah menurut kepada si pemiliknya, kemudian mereka menyeberangi melawan arus sungai Cimandiri dan bisa melintas dengan selamat.

Abah Acin tetap memegang teguh ajaran yang diterima dari leluhurnya hingga lanjut usia. Kepada Yunus, anak sulungnya, dia sering mewasiatkan – meskipun dirinya masih memegang teguh keyakinan leluhur – agar sang anak bersikeras dan bersungguh-sungguh menimba ilmu ke luar kampung. Wasiat Abah Acin diterima baik oleh Yunus. Di usia remaja, Yunus pergi ke Banten – sumber mengenai dimana Yunus mengenyam pendidikan keislaman masih belum tepat pasti-. Setelah mendapatkan ilmu keislaman yang cukup, Yunus kembali ke kampung halamannya. Tidak langsung menyebarkan Islam kepada masyarakat terutama di tempat keramaian seperti pasar tradisional tempat perdagangan.

Abah Acin sendiri - meskipun beberapa sumber masih meragukan apakah dia memeluk Islam atau tidak- tetapi saat kepulangan anaknya melakukan kebiasaan: mandi atau beberesih, sebagai simbol atau tanda penerimaan seseorang sebelum meyakini atau mempelajari sebuah ilmu. Keyakinan masyarakat yang berkembang saat itu, ketika mereka akan mempelajari sebuah ilmu sudah bisa dipastikan akan melakukan ritual mandi terlebih dahulu.

Salah satu alasan Abah Acin memerintahkan agar Yunus menuntut ilmu keislaman disebabkan oleh cara pandang orangtua tersebut terhadap gejala umum yang sedang terjadi di wilayah lain seperti Banten dan Sunda Kelapa. Di usia remaja, Abah Acin pernah melakukan perjalanan sampai ke Pelabuhan Sundakelapa, disana dia melihat bagaimana penyebaran Islam dan perkembangannya yang dilakukan oleh para pedagang begitu pesat hingga terbentuk masyarakat baru bernama komunitas muslim di Banten dan Sundakelapa. Sebuah keniscayaan yang tidak akan terbendung adalah konversi keyakinan lama ke keyakinan atau agama baru. Konversi keyakinan ini bersifat masif selama abad ke 7 hingga abad ke-18.

Abah Acin dengan tanpa banyak cerita memberikan harta miliknya kepada Yunus untuk melakukan Ibadah Haji ke Tanah Suci pada tahun 1893. Pulang dari Mekah, KH Yunus mulai membuka pengajian dan pengajaran keislaman di Cikundul , tidak dalam bentuk lembaga, melainkan secara personal atau individual. Islam menyebar di Cikundul memiliki kemiripan dengan proses penyebaran Islam di Nusantara melalui berbagai pendekatan terutama secara personal dan kultural. Tradisi-tradisi lama sama sekali tidak pernah dijadikan penghalang oleh KH Yunus untuk meyampaikan ilmu keislaman. Masyarakat Cikundul dan sekitarnya masih tetap melakukan tradisi leluhur seperti; nyekar, ngembang, puasa mati geni, mencuci benda pusaka, dan kebiasaan lain yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Penyebaran dan perkembangan Islam di Cikundul terlembagakan saat anak sulung KH Yunus, yaitu KH Sayuthi mendirikan masjid dan pondok pesantren berukuran kecil tepat di sebelah utara Sungai Cimandiri setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1930. Sikap KH Sayuthi dalam menyebarkan Islam melalui jalur pendidikan ini mendapatkan tanggapan kurang baik dari Pemerintah Kolonial. Menurut Schrieke, dalam teori balapan antara Islam dan Kristen dalam proses penyebaran kedua agama ini telah membawa pemikiran perang sabil dan perang salib yang terjadi di abad pertengahan ke daerah koloni baru. KH Sayuthi ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Hindia Belanda selama sembilan bulan. Teori balapan sebagai salah satu teori penyebaran Islam di Nusantara diyakini sebagai teori konflik yang dilandasi semangat dendam dua imperium Islam dan Kristen, namun bernuansa politis. Teori ini mendapatkan sanggahan dari beberapa ahli, misalkan Syed Naquib Al-Attas menyebutkan, terlalu gegabah jika penyebaran Islam dikaitkan dengan perang salib yang telah berlalu lima abad ketika Islam disebarkan oleh para sufi pengembara dari Persia melalui pendekatan kultural dan individual.

Sikap dan peran yang telah dilakukan oleh para leluhurnya tersebut diikuti oleh KH Cucu Komarudin dengan cara mengembangkan Islam melalui cara-cara yang santun dan menghargai tradisi yang telah lama berlangsung di masyarakat Cikundul. Sebagai salah seorang sesepuh Nahdlatul Ulama, KH Cucu Komarudin memahami dengan benar persoalan kaidah-kaidah kemaslahatan bagi umat. Salah satu jasa beliau di bidang kemasyarakatan yaitu terwujudnya Jalan Merdeka saat Kota Sukabumi dipimpinan oleh H. Udin Koswara. Masyarakat diajak duduk bersama, memusyawarahkan pelebaran jalan, sebab pelebaran jalan oleh pemerintah itu pada akhirnya berdampak baik juga bagi kemajuan masyarakat Cikundul.

KH Cucu Komarudin merupakan tipikal kiai atau ajengan yang memusatkan perhatiannya kepada keluarga terutama kepada istrinya, Hj. Oom Hasanah. Pemerintah memberikan penghargaan kepada beliau dan istrinya sebagai keluarga sakinah teladan. Kecintaan kepada keluarga telah dibuktikannya, beberapa tahun sebelum meninggal dunia, beliau telah menyampaikan wasiat agar pendidikan dan melayani umat dilanjutkan oleh keluarga. Dalam sebuah perbincangan dengan beliau, penulis pernah diberi nasihat, mengajar itu ibarat jimat atau pusaka sakti, jangan sampai dilepaskan meskipun kita mengahadapi kesibukan. Artinya, kepada siapa saja yang berusaha mengamalkan ilmu yang dimiliki oleh orang tersebut, KH Cucu Komarudin akan menganggapnya sebagai bagian dari keluarga yang harus diberi nasihat.

Setelah mengabdikan diri untuk kemajuan pendidikan dan kemasyarakatan di Kota Sukabumi dan kampung halamannya, KH Cucu Komarudin wafat pada tahun 2013. Rumah duka dilawat oleh tokoh-tokoh penting di Sukabumi. Tokoh-tokoh yang hadir bukan hanya dari kalangan ulama dan kiai, para tokoh dari lintas agama seperti; Kristen, Katholik, dan Buddha juga mengikuti prosesi pemakaman beliau. Ade Munhiar, ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Sukabumipernah berkata kepada penulis, KH Cucu Komarudin sangat menjunjung tinggi sikap toleran kepada siapapun. Untuk hal tersebut saat prosesi pemakamannya ada kalimat yang keluar dari beberapa tokoh agama, jika diibaratkan, KH Cucu Komarudin sangat layak mendapatkan julukan “Gus Dur”-nya Sukabumi. (Warsa Suwarsa)


Penulis guru MTs Riyadlul Jannah, anggota PGRI Kota Sukabumi