Tokoh

KH Masduqie Machfudh, Kiai Sederhana yang Dermawan

Rabu, 18 Mei 2016 | 07:30 WIB

Tidak terasa, sudah dua tahun lebih kita ditinggalkan sosok kiai kharismatik, Almaghfurlah KH. Masduqie Machfudh. Selasa (17/5), suasana kawasan Mergosono Kota Malang tampak ramai dengan ‘luberan’ jamaah yang hadir di acara Haul Masayikh dan Haflah Akhirussanah Pondok Pesantren Nurul Huda. Kiai Masduqi, demikian ia biasa disapa, wafat pada 1 Maret 2014 sebelum purna tugas sebagai Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015.

Kiai yang lahir di Desa Saripan (Syarifan) Jepara, Jawa Tengah pada 1 Juli 1935 ini dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana namun sangat dermawan. Ketika ada pedagang keliling, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono ini biasanya membeli dagangannya, meski tidak membutuhkan. Hal ini dilakukan semata-mata agar pedagang tersebut senang mendapatkan rezeki untuk keluarganya.

Tak hanya peduli dengan orang lain, Kiai Masduqi juga termasuk orang yang sangat berhati-hati (wira’i) dan sangat teguh pada syariat Islam. “Abah itu hidupnya sangat sederhana, tapi punya sifat loman (dermawan). Beliau memang lebih mengutamakan orang lain. Selain itu, beliau sangat berpegang teguh pada syariat Islam. Mantan Rais Syuriyah PBNU ini dikenal anti menggunakan dan menerima uang yang tidak jelas sumbernya atau uang syubhat,” tutur Gus Isroqunnajah tentang sosok abahnya, Almaghfurlah KH. Masduqie Machfudh, saat ditemui penulis, beberapa waktu lalu.

Dilahirkan dari keluarga yang kokoh dan fanatik terhadap ajaran agama, Kiai Masduqi kecil dikenal sebagai pribadi anak yang mandiri. Hal ini tidak lepas dari didikan kedua orang tuanya, Kiai Machfudh dan Nyai Chafsoh. Tidak heran, karena bila ditelusuri dari nasab ibunya, mantan Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur ini masih dalam garis keturunan seorang waliyullah, Syaikh Abdullah al-Asyik bin Muhammad. Yakni, jogoboyo dari kerajaan Mataram. Alkisah, salah satu keampuhan Syaikh Abdullah al-Asyik adalah setiap ada marabahaya yang akan mengancam kerajaan, beliau memukul bedug untuk mengingatkan penduduk. Meski cukup dari rumahnya, suara bedug ini terdengar ke seantero kerajaan Mataram.

KH Masduqi Machfudz dikenal sebagai sosok sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Corak kehidupan keluarga sama sekali jauh dari citra kemewahan. Kesederhanaan yang sudah dibiasakan Kiai Machfudh ayahnya, sangat membias pada keluarga Kiai Masduqi. Terlebih sejak kecil, kiai yang juga sahabat dekat presiden RI ke-4 Gus Dur ini, sangat gigih dalam menekuni bidang keilmuan terutama ilmu agama. Salah satu prinsip hidupnya adalah kalau kita sudah meraih berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan akhirat, akan tetapi kebahagiaan dunia pun akan tercapai.

Karena ayah dan ibunya sangat religius, sehingga sikap dan pandangan hidupnya juga ala santri. Kiai Masduqi kecil sebenarnya tidak diperbolehkan oleh sang ayah untuk belajar di sekolah umum, cukup di pesantren saja. Tetapi larangan itu tidak mematahkan semangat Kiai Masduqi mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan secara komprehensif. Bahkan, dengan semangat yang berapi-api, Kiai Masduqi menimba ilmu di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri.  Kiai yang memiliki 9 anak ini menyempatkan berkeliling menjual sabun dan kebutuhan lain untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Hal ini dilakukannya selama bertahun-tahun, mulai 1945 ketika masih nyantri di Pondok Pesantren Jepara yang diasuh Kiai Abdul Qodir, hingga  saat sudah menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Ketika menuntut ilmu di pesantren, Kiai yang juga mantan Ketua MUI Jatim ini memang terlihat kapasitas keilmuan yang melebihi santri-santri lain seusianya. Mulai dari dari ilmu nahwu, sharaf, fiqih, tauhid dan ilmu lainnya. Hal ini juga diakui oleh Sang Guru ketika mondok di Krapyak, KH. Ali Ma’shum. Berbeda dengan santri-santri lain yang membutuhkan waktu hingga belasan tahun, namun Kiai Masduqi hanya perlu 3 tahun untuk menguasai semua bidang keilmuan tersebut.

Sejak lulus dari Krapyak, tahun 1957 Kiai Masduqi mulai mengajar di berbagai sekolah di Tenggarong, Samarinda dan Tarakan Kalimantan. Kemudian 1964 melanjutkan studi di IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Maliki), sekaligus sebagai dosen Qiroatul Qutub, bahasa Arab, akhlak dan tasawuf. Di tengah kesibukan sebagai dosen dan pengasuh pesantren, kiai yang juga ayah dari Direktur Ma’had Sunan Ampel Aly KH. Dr Isroqunnajah ini masih sempat melayani pengajian di berbagai masjid di daerah Jawa Timur, terutama yang sulit dijangkau oleh kebanyakan dai, mubaligh dan kiai lainnya.

Pesantren Nurul Huda yang dirintis Kiai Masduqi, bermula dari mushala kecil yang berada di Mergosono gang III B. Mushala yang sebelumnya sepi oleh aktivitas ibadah ini mulai digalakkan sejak Kiai Masduqi berdomisili di daerah tersebut. Karena keahliannya dakwah, banyak mahasiswa yang akhirnya nyantri kepadanya hingga mushala kecil tersebut berubah menjadi pesantren sesungguhnya.

Uniknya, dalam pendirian pesantren yang saat ini berlantai tiga itu, KH. Masduqie Machfudh belum pernah meminta sumbangan dari masyarakat sedikitpun. Kiai yang masih memiliki ikatan saudara dengan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) ini hanya mengandalkan amalan shalawat sebanyak sepuluh ribu kali. Dengan berkah shalawat itulah, Kiai Masduqi berharap kepada Allah SWT untuk pesantren dan keselamatan keluarganya. Terbukti, sekarang Pondok Pesantren Nurul Huda bisa berdiri megah. (Baca juga: Kisah Keajaiban Shalawat yang Dialami Kiai Masduqie Machfudh)

Kiai yang terkenal sangat teguh prinsip ini merupakan salah satu ulama yang mumpuni dalam memberikan materi dalam tiap mauidhohnya. Bukan hanya ilmu agama, namun juga pemahamannya terkait masalah teknologi, sosial dan budaya. Sehingga, audiensnya pun merasa puas karena cara penyampaiannya mengikuti tingkat kemampuan jamaahnya. Tidak heran, banyak santrinya yang sekarang menjadi kiai besar panutan umat. Di antaranya, KH Marzuki Mustamar (Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim/Imam Besar Densus 26), KH Chamzawi (Rais Syuriyah PCNU Kota Malang), KH. Dahlan Thamrin (Mantan Ketua PCNU Kota Malang), Prof Dr Ali Shidiqie (Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI), Prof Dr KH. Khusnul Ridho (mantan ketua STAIN Jember), Dr Habib MA (dosen senior Universitas Muhammadiyah Malang), KH. Dr Muzakki MA (Tanfidziah PCNU Kota Malang), dan Kiai Abdullah Syam (Pendiri Pesantren Rakyat, Posdaya).


Muhammad Faishol, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini menjadi Koordinator Redaktur Media Santri NU (MSN) Malang; Santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan Sabilurrosyad Malang