Banyak dari kalangan masyayikh di Annuqayah menjadi rujukan masyarakat, di antaranyaKH M Ilyas Syarqawi, muassis NU Sumenep yang pertama. (Foto: dok istimewa)
Firdausi
Kontributor
Sumenep, NU Online
Jika berkunjung ke Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, ada salah satu pesantren tua bernama Annuqayah. Masyarakat menyebutnya dengan sebutan Pesantren Luk-Ghuluk. Nama Annuqayah diambil dari As-Suyuthi dalam karyanya yang berjudul An-Nuqayah. Namun atas saran rekan-rekannya, As-Suyuthi menulis notasi dengan judul Itmam Ad-Dirayah li Qurra' an-Nuqayah. Karangan As-Suyuthi yang terdiri dari 14 cabang ilmu pengetahuan ini, diharapkan santri Annuqayah menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan berhati bersih, layaknya nama Annuqayah yang berarti bersih.
Secara historis, dari generasi ke generasi, banyak dari kalangan masyayikh di Annuqayah menjadi rujukan masyarakat. Di antara masyayikh itu adalah KH M Ilyas Syarqawi, muassis NU Sumenep yang pertama. Ia putra kedua dari pasangan KH Muhammad As-Syarqawi bin Raden Sudikromo dan Nyai Hj Mariyah binti Idris Patapan.
Baca Juga
Mengenal Pesantren Annuqayah
Secara nasab, beliau putra mendiang KH Muhammad As-Syarqawi muasis Pesantren Annuqayah. Nama lengkapnya adalah KH M Ilyas bin Kiai Muhammad As-Syarqawi bin R Sudikromo bin R Mertowijoyo bin R Tirto Kusumo bin R Aryo Hiring bin R Aryo Penjangkringan bin Pangeran Krapyak Dipokusumo bin Pangeran Krapyak Yudo Bongso bin Panembahan Kuleco Sumotruno bin Panembahan Mekaos Hunggo Kusumo bin Kanjeng Sinuhun Ja'far Shadiq atau Sunan Kudus.
Sanad keilmuannya, beliau memuaskan dahaga keilmuannya kepada beberapa guru, di antaranya adalah Syekh Muhammad As-Syarqawi Al-Qudusi (ayahnya), KH Imam Karay Ganding, KH Mahmud Karay Ganding, Syaikhona Kholil Bangkalan (1835-1925), Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari Jombang (1871-1947), KH Hamdany Siwalan Panji Sidoarjo, dan mengakhirnya di Makkah. Salah satu gurunya adalah Sayyid Abbas Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Muhammad Alawi Al-Maliki.
Saat Kiai Syarqawi wafat pada Januari 1911, kepimpinan pesantren dipimpin oleh putra-putranya dari istri pertama, yakni Nyai Khadijah (Ny Tuan). Beliau adalah Kiai Bukhari yang dibantu oleh Kiai Muhammad Idris dan Kiai Imam (menantu Kiai Syarqawi yang menikah dengan Nyai Zubaidah binti Syarqawi).
Kepulangan Kiai Ilyas ke kampung halaman dari negeri Hijaz, turut serta membantu meneruskan perjuangan sang ayah, yakni mengasuh pesantren yang kini diberi nama Annuqayah daerah Lubangsa. Pada tahun 1917, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Kiai Ilyas. Di sinilah Annuqayah mengalami banyak perkembangan, seperti pola pendekatan pada masyarakat, sistem pendidikan, dan hubungan dengan pemerintah. Artinya, Annuqayah yang awalnya menerapkan sistem pendidikan salaf, terjadi perubahan pada sistem pendidikan yang menekankan pada pendidikan Al-Qur'an dan menjadi ciri khasnya.
Berdasarkan silsilah Bani Syarqawi, Kiai Ilyas melepas masa lajangnya dengan menikahi Nyai Hj 'Arfiyah, putri dari Kiai Zainuddin bin Ruham yang masih saudara dengan RKH Syamsul Arifin Sukorejo, Situbondo. Dari hasil pernikahannya, beliau dikaruniai putra-putri, antara lain: Kiai M Khazin, Nyai Mahfudhah, Nyai Shiddiqah (wafat saat kecil), Nyai Mamduhah, Kiai Moh Amir, Kiai Moh Ashiem, Nyai Badi'ah, Kiai Hisyam (wafat sejak kecil), Kiai A Warits, Nyai Syifa, dan Nyai Nadliratun.
Saat memimpin pesantren, banyak sekali jasa yang diberikan. Baik di bidang pendidikan, dan pengabdian masyarakat, terutama pada jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU). Beberapa santrinya banyak yang memiliki pesantren besar. Sebut saja Kiai Usymuni Tarate Sumenep yang menjadi ulama tersohor di Sumenep. Diketahui, Kiai Ilyas tutup usia pada Senin 14 Desember 1959. Jenazah almarhum dikebumikan di kompleks pemakaman pesantren Annuqayah yang dikenal maqbarah Kusuma Bangsa (Kuba).
Kiprah Kiai Ilyas di Pesantren dan NU
Selain berperan sebagai pengasuh, Kiai Ilyas aktif menulis kitab. Di antara kitab yang diajarkan pada santrinya adalah Safinatu as-Shalah, Mandzumatu al-Risalah. Kedua kitab ini disusun dengan menggunakan sistem nadam. Tentunya, penggunaan ini agar memudahkan santri dalam memahami kandungan dan mempermudah menghafal.
Ada juga khutbah Jumat yang ditulis oleh beliau yang mengandung sastra dan balaghah yang sempurna. Bahkan dalam tulisan tangan khutbah Kiai Ilyas, tidak ditemukan kesalahan teknis penulisan. Khutbah tersebut disesuaikan dengan kalender Hijriyah, termasuk khutbah Idul Fitri dan Idul Adha. Doa yang terkandung dalam Khutbah ini terbilang panjang, karena terdiri dari permohonan pada Allah swt agar negeri ini dipimpin oleh pemimpin Islam yang amanah, shaleh, dan takwa. Bahkan penulis mengajak pada warga agar taat dan tunduk pada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri.
Satu hal yang paling dikenang oleh Nahdliyin di Sumenep adalah Syair Kado Kemerdekaan yang ditulis pada 17 Agustus 1949, sebagaimana tertera dalam buku 1889: Antologi Puisi Isyarat Gelombang III yang merupakan kumpulan puisi penyair Annuqayah. Baik dari kalangan masyayikh, alumni dan santri. Syair ini menjadi bukti bahwa ulama kharismatik itu menjunjung nilai-nilai nasionalisme. Apalagi beliau turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan bersama adinya yang wafat diujung senapan tentara loreng Belanda, yakni KH Abdullah Sajjad.
Peran Kiai Ilyas di jam'iyah juga tampak saat Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari bersama putranya KH Wahid Hasyim berkunjung ke Annuqayah. Di sanalah beliau diberi amanah sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep. Tak heran, Annuqayah Guluk-Guluk menjadi cikal bakal berkembangnya NU di Kabupaten Sumenep.
Sebagaimana yang masyhur diceritakan dari bibir ke bibir oleh masyayikh NU Sumenep, kepimpinan Kiai Ilyas hanya berjalan selama 3 bulan. Jabatannya sebagai Rais Syuriyah diberikan kepada temannya saat menimba ilmu di Syaikhona Kholil Bangkalan, yakni KH Abi Sudjak, pengasuh Pondok Pesantren Asta Tinggi Kebunagung, Kota, Sumenep.
Menurut Kiai Ilyas, Guluk-Guluk kurang strategis menjadi pusat organisasi diniyah wa ijtimaiyah. Karena secara geografis, Desa Guluk-Guluk berada di wilayah perdesaan, yakni 23 kilometer arah barat Kota Sumenep.
Kini kepimpinan NU di Sumenep berlanjut dari masa ke masa. Di antara sosok kharismatik yang melanjutkan tongkat estafet ini adalah KH Abi Sudjak (Kebunagung, Kota), KH Zainal Arifin (Tarate, Pandian), KH Usymuni (Tarate, Pandian), KH Hasyim Ali (Aengbaja Raja, Bluto), KH Ali Hisyam (Ambunten Timur), KH Moh Sirajuddin (Karang Cempaka, Bluto), KH Ahmad Basyir AS (Guluk-Guluk), KH M Ramdlan Siraj (Karang Cempaka, Bluto), KH Moh Ishomuddin AS (Guluk-Guluk), KH Taufiqurrahman FM (Jambu, Lenteng), KH Hafidzi Syarbini (Batuan).
Sedangkan Tanfidziyahnya adalah KH M Tsabit Khazin, KH M Ramdlan Siraj, KH Taufiqurrahman FM, KH Ilyasi Siraj, KH Abdullah Cholil, KH A Pandji Taufiq.
Kontributor: Firdausi
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua