Tokoh ANREGURUTTA DAUD ISMAIL (1907-2006)

Ulama Pelestari Kearifan Lontara Bugis

Sabtu, 2 Mei 2009 | 15:13 WIB

Suku Bugis yang berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, namun demikian suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai professor di dunia kademik. . Jika orang luar Sulawesi Selatan mendengar seseorang warga yang menyebutkan Anregurutta kepada seorang tokoh, tentu sang tokoh  tersebut termasuk kategori ulama yang disegani. Anregurutta menempati status sosialnya yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis.

Pemberian gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat, atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam dakwah keislaman. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan Anregurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.<>

Para muballigh misalnya, ada juga yang tetap dipanggil Ustadz, yaitu orang yang membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat. Namun belum bisa dijadikan sebagai suatu rujukan bertanya berbagai hal keagamaan. Sementara posisi tingkat Anregurutta ini dijadikan sebagai tempat bertanya berbagai persoalan dan kehidupan secara umum. Ustadz dikenal hanya dalam kelompok kecil, misalnya kelompok pengajian dan ceramah-ceramah umum.

Salah satu di antara para pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis yang digelarai Anregurutta ini adalah Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail. Sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.
 
Pendidikan Otodidak
Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M., buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di Sengkang. Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama Sengkang.

Daud Ismail adalah seorang yang otodidak, sejak kecil belajar sendiri untuk mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, beliau juga pernah menimba ilmu pada banyak guru, baik di Soppeng (Kabupaten Soppeng) maupun di Soppeng Riaja (Kabupaten Barru), Sulawesi Selatan.

Antara tahun 1925 – 1929 Daud Ismail juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula Daud Ismail belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.

Setelah Anregurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anregurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.

MAI ini merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang dikenal masyarakat di Sulawesi Selatan. MAI Sengkang Wajo didirikan pada bulan Zulkaidah 1348 H. atau bertepatan bulan Mei 1930 M. oleh Anregurutta As’ad yang baru saja kembali dari Mekkah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa belajarnya pada Madrasah Al-Falah Mekah. Pada awal-awal berdirinya, MAI Sengkang Wajo hanya merupakan pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman Anregurutta As’ad sendiri. Setelah santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan pengajiannya dipindahkan ke Masjid Jami’ Sengkang.

Selama belajar di Sengkang Daud Ismail merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arudh, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh Daud Ismail karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang didapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan Daud Ismail, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.

Salah satu kesan mendalam Daud Ismail kepada Anregurutta As`ad, ketika gurunya ini mengajarkan ilmu Arudh yang diajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan terkadang sampai sekitar jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan ilmu Arudh ini selama satu malam saja. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab untuk dipelajari sendiri.

Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anregurutta As`ad dalam mendidik santri-santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudh ini, Anregurutta As’ad hanya memilih sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudh termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren.

Setelah belajar langsung kepada Anregurutta As`ad di Sengkang,  Daud Ismail kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada Anregurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta (panggilan kehormatan setingkat di bawah Anregurutta) Daud Ismail.

Bersama Gurutta Daud Ismail ini pula Anregurutta As’ad membentuk tim pengajar. Sehingga Anregurutta As`ad tidak lagi langsung berhadapan dengan santri-santri baru (yunior). Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain sesuai tingkatan masing-masing.

Gurutta Daud Ismail temasuk santri yang paling disayangi oleh Anregurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Gurutta Daud Ismail tidak diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.

“Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anregurutta Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.

Wasiat Sang Guru
Pada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat Gurutta Daud Ismail yang ketika ini adalah waktu itu adalah berpulangnya istri pertama ke Rahmatullah.

Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA).

Pada tahun 1942 M. ini pula Daud Ismail diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata, Kabupaten Soppeng, sambil mengajar pada sebuah madrasah. Beliau juga pernah menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, tepatnya pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Kadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947. Jabatan ini beliau sandang hingga tahun 1951. Kemudian antara tahun 1951-1953, beliau menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat ini Daud Ismail telah mulai biasa disapa sebagai Anregurutta.

Sepeninggal Anregurutta As‘ad (1952 M), Anregurutta Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) untuk datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh Anregurutta Muhammad As‘ad. Pada tahun 1953 nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diubah pada tahun 1953 menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anregurutta M. As‘ad.

Kembali ke Sengkang merupakan wasiat dari Anregurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismail harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, Anregurutta tetap memenuhi wasiat gurunya tersebut. Namun. Anregurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Anregurutta Daud Ismail.

Setelah meninggalkan Sengkang pada tahun 1961, Anregurutta Daud Ismail kembali ke Soppeng. Ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini Anregurutta Daud ismail juga diangkat  kembali menjadi Qadhi (untuk kedua kalinya) di Soppeng.

Menulis Kitab
Suku Bugis dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang sangat kental menganut dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Untuk keperluan itu, mereka sangat bergantung pada apa yang mereka peroleh dari al-Qur‘ân, sehingga tafsir al-Qur‘ân memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaannya.

Atas dasar yang demikian, maka Anregurutta Daud Ismail melahirkan sebuah karya tafsir berbahasa Bugis. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat Bugis untuk lebih mudah mengakses dan memahaminya. Terutama sekali adalah agar adanya aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah.

Tujuan beliau menyusun buku tafsirnya adalah untuk memelihara bahasa Bugis dari kepunahan. Untuk itu, beliau berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid, sehingga jemaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.

Anregurutta Daud Ismail berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid, sehingga jamaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.

Sejarah eksistensi terjemah dan tafsir Al-Qur’an, di Sulawesi Selatan sendiri sudah cukup panjang. Upaya untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Bugis telah dimulai sejak tahun 1948. Pada waktu itu, sebuah buku tafsir kecil terbit di Sengkang (Kab. Wajo) yang ditulis oleh Anregurutta M. As‘ad (w. 1952 M), guru dari Anregurutta Daud Ismail.

Karya lain yang pernah ditulis Anregurutta Daud Ismail, antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis. Sementara Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis merupakan karya tulis terbesarnya.

Anregurutta Daud Ismail memimpin Pondok Pesantren YASRIB sampai menghembuskan napas terakhirnya. Anregurutta Daud Ismail menghadap ke hadirat Allah SWT dalam usia 99 tahun pada Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Anregurutta Daud Ismail masih menjabat sebagai Kadhi di Kabupaten Soppeng. Selain itu amanah yang masih disandangnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005. Semoga Allah SWT meridhoi perjalanannya dan merahmati masyarakat yang ditinggalkannya. Amin. (Disadur oleh Syaifullah Amin dari berbagai sumber).