Warta

Gus Muh, Ulama Penjaga Kesenian dan Kebudayaan Tradisional

Sabtu, 7 Maret 2009 | 09:32 WIB

Jakarta, NU Online
Salah seorang Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo (API), Magelang, Jawa Tengah, KH Ahmad Muhammad, meninggal dunia pada Jumat (6/3) sekitar pukul 23.55 WIB.

Pentas "Orkestra Afalaa Tatafakkaruun" yang sedianya digelar di kompleks Pesantren API Tegalrejo pada Sabtu (7/3) mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB, pun dibatalkan. Padahal, sejumlah nama tenar di bidang kesenian dipastikan hadir pada kesempatan itu, di antaranya, Garin Nugroho, Franky Sahilatua dan Gusti Pembayun.<>

Kepergian Almarhum tak hanya meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat setempat melainkan juga para seniman tradisional dan kalangan pecinta kebudayaan. Pasalnya, selain sebagai ulama, ia juga dikenal sebagai tokoh yang punya perhatian besar untuk melindungi kesenian dan kebudayaan tradisional.

Gus Muh—demikian ia akrab disapa—mewujudkan perhatian besarnya pada kesenian dan kebudayaan, salah satunya, melalui serangkaian pagelaran tahunan seni-budaya Pawiyatan Budaya Adat (PBA). Hajatan tersebut digelar setiap akhir tahun Pesantren Tegalrejo, tiap Sya’ban.

PBA, semacam pesta tahunan yang dapat dinikmati masyarakat umum itu, biasanya digelar di Lapangan Tegalrejo dan sekitar kompleks Pesantren API selama 7 hari 7 malam. Menghadirkan dan menampilkan ratusan kelompok kesenian tradisional dari segala penjuru Jawa. Di antaranya, ketoprak, jathilan, topeng ireng, wayang orang, wayang kulit, ndolalak, jaran kepang, dan lain-lain.

Kecintaan Adik kandung KH Abdurrahman Chudlori (Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Nasional Ulama) itu pada seni dan kebudayaan tradisional juga ditunjukkan dalam desain-arsitektur, properti dan hiasan di sekitar rumahnya. Di rumahnya terdapat kuat lukisan wayang, karya seni pahat topeng, dan patung batu dalam berbagai bentuk.

“Inilah sebagian kekhosan (keistimewaan) Gus Muh dalam melakoni hidup sebagai pengasuh serta penjaga kesenian dan kebudayaan di wilayah lereng Gunung Merbabu, Merapi, Sumbing, Sindoro, Telomoyo, Tidar, dan Menoreh,” ungkap Ketua Panitia Pentas Seni "Orkestra Afalaa Tatafakkaruun", Kholilul Rohman Ahmad, kepada NU Online di Magelang, Sabtu.

Tak hanya itu. Gus Muh juga dikenal sebagai sosok unik karena perhatiannya pada dunia supranatural. Ayah dua anak itu pun disebut-sebut ‘penyeimbang bandul politik dan nonpolitik’ bagi keluarga besar Pesantren Tegalrejo.

Rohman tak dapat memastikan apakah sepeninggal Gus Muh, “pesta” tahunan pada Khataman Pesantren Tegalrejo itu akan tetap berlangsung atau tidak. “Belum ada jawaban resmi dari keluarga,” ujarnya.

Namun, imbuh dia, menjadi pertanyaan banyak orang jika kegiatan itu tiba-tiba hilang. “Sementara grup-grup kesenian yang ada sangat membutuhkan semacam perlindungan kultural agar eksistensi dan perjalanan kebudayaan tidak hilang ditelan zaman begitu saja,” pungkasnya. (rif)