Warta Soal SKB Dua Menteri

Masdar: Yang Penting Dijalankan Dulu

Jumat, 24 Maret 2006 | 13:15 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi berpendapat bahwa revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri dalam negeri dan menteri agama No 1 tahun 1969 yang baru ditandatangani tersebut sebaiknya dilaksanakan dahulu dan kalau memang terbukti ada yang tidak memenuhi rasa keadilan, nanti bisa dibicarakan bersama lagi. ”Ini sudah diputuskan bersama antara umat beragama dan pemerintah,” tandasnya di PBNU.

Sebagai komponen yang ikut terlibat dalam keputusan tersebut umat Islam juga harus mengikuti kesepakatan tersebut. ”Ini merupakan bagian dari kontrak yang harus dijaga sampai diputuskan ditinjau kembali secara bersama-sama, kecuali dalam kontrak tersebut ada hal yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal,” imbuhnya.

<>

Sebanyak 42 anggota DPR RI menolak Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri tahun 1969 mengenai pembangunan tempat ibadah berikut revisinya yang disiapkan Menteri Dalam Negeri M Ma’ruf dan Menteri Agama Maftuh Basyuni.

Penolakan disampaikan melalui penandatanganan pernyataan yang disampaikan kepada Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis. Ketua Fraksi PDS Constant Ponggawa memimpin delegasi anggota DPR yang menolak SKB untuk menemui Muhaimin Iskandar.

Dalam pernyataannya, mereka menyatakan SK dua menteri berikut revisinya bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945. Dalam pasal ini digariskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan penduduknya untuk memeluk agamanya dan menjamin kebebasan setiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

UU No.39/1999 tentang HAM menyatakan, setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadat menurut agama dan kepercayannya.

Anggota DPR menyatakan, SKB dua menteri tahun 1969 dan revisi SKB tersebut (secara langsung maupun tidak langsung) berisi pembatasan-pembatasan, persyaratan-persyaratan serta pelarangan-pelarangan kegiatan penduduk untuk melakukan ibadat.

Semantara itu Departemen Dalam Negeri menyebutkan substansi Peraturan Bersama Mendagri-Menteri Agama tentang pendirian rumah ibadat merupakan hasil kesepakatan majelis-majelis agama.

"Semua materi dalam peraturan bersama itu telah dibahas majelis agama dan merupakan kesepakatan mereka," kata Dirjen Kesbang Depdagri, Soedarsono, di Jakarta, Jumat.

Disebutkannya, peraturan bersama itu hanya merupakan arahan atau pedoman kepada daerah untuk membangun kerukunan nasional serta mendukung pemerintah untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Berdasarkan pasal 22 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ada kewajiban yang dibebankan kepada daerah untuk menjaga kerukunan nasional. Sementara pasal 21 undang-undang itu menyebutkan pemerintah berkewajiban untuk memelihara Kamtibmas.

Karenanya, jika ada yang menolak peraturan bersama itu, maka yang perlu dipertanyakan adalah apakah daerah dibiarkan tidak pelihara kerukunan nasional dan pemerintah tidak jaga Kamtibmas, katanya.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang dibentuk melalui peraturan bersama itu, mengambil keputusan harus berdasarkan musyawarah dan mufakat.   

Sementara itu, Menteri Agama Maftuh Basyuni menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menanggapi keberatan 42 anggota DPR yang menolak Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang rumah ibadat.

Peraturan bersama itu, ujarnya, dimaksudkan untuk memelihara kerukunan antarumat beragama, dan soal itu sudah dibuat sendiri oleh semua majelis agama, termasuk wakil dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Karena itu pihaknya tak akan menariknya kembali.

Saat ini, pihaknya sedang mulai melakukan sosialisasi Peraturan hasil revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag dan Mendagri no 1 tahun 1969 itu secara nasional dimulai dengan sosalisasi internal lebih dulu.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Balitbang Depag Atho Mudzhar  yang menjadi wakil pemerintah dalam penyusunan peraturan itu mengatakan, peraturan itu dibuat dalam 10 kali putaran hingga 31 Januari dan disetujui oleh semua anggota majelis agama pada 21 Maret. (mkf/ant)