Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Malang, Jawa Timur, berupaya keras menyelamatkan aset organisasi. Hal itu dilakukan menyusul diberlakukannya Undang-Undang (UU) 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU 16 tahun 2001 tentang yayasan.
PCNU setempat terus melakukan sosialisasi tentang status hukum NU pada majelis wakil cabang (MWC) NU se-Kabupaten Malang. Berbagai yayasan yang dikelola nahdliyin berarti juga aset warga NU. Karena itu, harus diselamatkan.<>
Sekretaris PCNU Kabupaten Malang, Abdul Mujib Syadzili, mengatakan, pihaknya telah membentuk tim sosialisasi. Tugasnya menyosialisasikan UU tersebut pada MWC NU, pengurus madrasah, masjid, pesantren, maupun panti asuhan atau pengurus yayasan lainnya, yang masih berada di lingkungan NU.
“Untuk kepentingan sosialisasi itu, kami melibatkan pengurus Pengurus Cabang Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU Kabupaten Malang, karena mereka kami anggap paham hukum,” ungkapnya kepada NU Online, beberapa waktu lalu.
Dijelaskan pula, berdasarkan evaluasi Pengurus Wilayah NU Jatim, ditemukan tiga sikap yang diambil para pengurus yayasan di lingkungan NU. Pertama, ada yayasan yang sudah menyesuaikan diri dengan UU Yayasan.
Kedua, ada yayasan yang berubah status menjadi badan pelaksana di bawah Perkumpulan NU. Ketiga, ada yayasan yang belum mengambil langkah atas status yayasan yang dimiliki, baik atas nama madrasah, masjid, pesantren, maupun panti asuhan.
Menurut Mujib, agar tidak menyulitkan pengurus, pihaknya menyarankan pengurus madrasah, masjid, pesantren, maupun panti asuhan di lingkungan NU, agar mengambil langkah mengubah status menjadi badan pelaksana di bawah Perkumpulan NU.
Alasannya, meski pengurus Yayasan Jama’ah NU tersebut mendapatkan status wakil atau kuasa dari Perkumpulan NU, tapi tetap diberikan keleluasaan, kemandirian, dan otonomi penuh untuk menguasai, mengelola dan mengembangkannya sebagai cita-cita awal pendirian yayasan bersangkutan.
Henny Mono, pengurus LPBH NU Kabupaten Malang menjelaskan, perlu dipahami bahwa sesuai ketentuan, bagi yayasan yang sudah berdiri tapi belum menyesuaikan dengan UU Yayasan hingga batas akhir 6 Oktober 2008, tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan”. Selanjutnya, madrasah, masjid, pesantren, maupun panti asuhan tersebut dapat dibubarkan pengadilan atas permohonan kejaksaan, atau membubarkan diri. (rif)
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
3
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
4
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
5
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
6
Menag Nasaruddin Umar: Agama Terlalu Banyak Dipakai sebagai Stempel Politik
Terkini
Lihat Semua