Warta GUS DUR

Pojok yang Keramat

Senin, 8 Agustus 2011 | 07:23 WIB

Jakarta, NU Online
Di akhir tahun 70-an, KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) mulai aktif di NU. Kemudian tahun 1984, Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU, memimpin organisasi muslim terbesar di dunia ini hingga tahun 2000. Ia berkantor di salah satu ruangan kecil, di lantai dasar gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.

Hingga beberapa jam sebelum wafat, ia yang juga mantan presiden RI ke-4 ini, masih sempat menengok ruangan itu.

<>Menurut Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, ruangan Gus Dur itu, sempit, sumpek dan jelek. Tapi di situlah Gus Dur menerima tamunya dari berbagai kalangan tanpa membedakan agama, suku, atau golongan.

“Pernah ada tamu Gus Dur dari Sudan, namanya Syekh Tajudin. Ia terheran-heran dengan kantor PBNU. Dia bertanya, Ini kantor Abdurahman Wahid? Nggak ada yang lainnya? Jadi, Bayangan dia dari Sudan, kantor PBNU itu megah,” jelasnya disambut tawa hadirin.

“Di ruangan itu pula pertama kali saya kenal Mohammad Sobary, Bondan Gunawan, Rahman Toleng, Marsilam Simanjuntak dan segala macam manusia, dari latar belakang berbeda. Bahkan orang-orang dari luar negeri,” tambahnya saat meresmikan Pojok Gus Dur di gedung PBNU lantai 8, Ahad sore, 7 Agustus 2011.

Pojok Gus Dur bertempat di lantai dasar gedung PBNU, berisi koleksi sebagian buku, termasuk buku-buku yang ditulis Gus Dur dan buku-buku karya orang lain mengenai Gus Dur, audio books, kaset, foto dan cakram padat milik Gus Dur, kaset-kaset wayang, ceramah Gus Dur, dan lain-lain.

Kang said melanjutkan dengan filosofi pojok. Menurutnya, Rasulullah berjuang dari pojok Gua Hira'. Kemudian Islam tersebar ke seluruh dunia. Imam Khomeini berjuang dari pojok atau khaujahnya yang kecil. Dari situlah lahir revolusi Iran yang luar biasa. Mbah Hasyim, berjuang dari rumahnya yang sederhana di Tebuireng. Dan, Gus Dur berjuang dari pojok PBNU yang kecil, pengap, jelek. Tapi penuh karomah.

“Memang gedung PBNU di samping Jalan Kramat. Keramatnya ada di pojok Gus Dur itu. Meski  sumpek, sempit, tapi keramat. Saya bersaksi melihat Gus Dur munajat dan istighosah tak ada henti-hentinya. Gus Dur nggak pernah berhenti baca Fatihah. Paling tidak, sehari-semalam, seratus kali untuk Amar Bin Yasir, sahabat yang berperan sebagai BIN kalau sekarang. Intelejen. Kalau dia diam, bibirnya baca Fatihah,” pungkasnya.

 

Redaktur: Hamzah Sahal

Penulis: Abdullah Alawi