Warta

Tradisi "Maleman" Mengikis Religiusitas Warga Kalinyamatan

Senin, 29 September 2008 | 08:33 WIB

Jepara, NU Online
Bagi warga Kecamatan Kalinyamatan, Jepara, Jawa Tengah, iktikaf merupakan agenda rutin. Iktikaf (berdiam diri di masjid) menjadi sebuah tradisi yang dilakukan menjelang datangnya Idul Fitri.

Hal itu sudah dilakukan sejak penjajahan Belanda sekira tahun 1930. Saat itu pengumuman pemerintah dilakukan larut malam sehingga untuk menantinya banyak pedagang yang menjajakan dagangannya di sekitar Desa Margoyoso, Kriyan dan Purwogondo.<>

Tradisi yang telah mengakar di kecamatan yang memiliki berbagai sentra kerajinan, semisal, kemasan (kerajinan emas), monel, pande besi, konveksi dan rokok, itu, disebut "Maleman" ada juga yang menyebut "Premanan".

Berbagai jenis makanan, pakaian, mainan anak dan lain sebagainya ditawarkan para pedagang. Kini, para pedagang yang datang dari berbagai daerah masih tetap menjajakan dagangannya hingga akhir Ramadhan.

Sayangnya, tradisi yang dalam sejarahnya bernuansa Islami ini seakan tergilas. Artinya, religiusitas warga semakin menurun drastis. Hal itu diungkapkan Muharror Afif. Baginya, datangnya Maleman, nuansa agamis warga semakin menurun total. Faktanya terlihat sejak 10 hari akhir di bulan yang penuh berkah ini.

"Musholla, masjid, langgar tidak semakin ramai, sebaliknya malah semakin sepi," kata lulusan salah satu universitas di Timur Tengah itu.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu menyayangkan kondisi tersebut. Pasalnya, di awal Ramadhan, tempat ibadah itu ramai dengan jamaah yang melaksanakan salat, tadarrus, dan aktivitas keagamaan lain.

Hal senada juga diutarakan Agus Umar. Ia merasa prihatin ketika melihat pusat keramaian ini dijadikan tempat mesum. Misal, di tempat-tempat yang gelap, namun masih bisa terlihat jelas pandangan mata.

"Bayangkan, bulan Ramadahan tidak selayaknya dikotori sepasang dua sejoli yang melakukan tindak mesum di tempat umum. Ini, kan, ironis?" keluh mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia itu kepada kontributor NU Online, Syaiful Mustaqim, belum lama ini.

Umar yang tinggal di Desa Batu Kali, Kalinyamatan, itu berharap agar aparat keamanan menertibkan kawula muda yang sering berbuat mesum di sembarang tempat.

Keprihatinan Muharror dan Umar ternyata tidak bagi Mulyadi. Warga desa Margoyoso, Kalinyamatan ini sangat bersyukur sebab keluarganya masih tetap taat beribadah. Usai beribadah, bapak dengan lima anak ini membebaskan anaknya untuk keluar rumah asalkan pulang tidak larut malam.

"Anak-anak saya sering berkumpul di rumah sehingga saya tidak terlalu khawatir mereka terjerumus kepada hal yang tidak diinginkan," kata lelaki yang berprofesi sebagai wiraswasta itu.

Muharror Afif, tokoh masyarakat desa Purwogondo, Kalinyamatan, itu menambahkan, semoga tradisi Maleman semakin meningkatkan kualitas iman dan takwa warga dan tidak sebaliknya menurunkan semangat beribadah warga. (rif)