Daerah

Masjid Teungku Dianjong, Menyusuri Jejak Sejarah dan Spiritualitas di Banda Aceh

Rabu, 19 Maret 2025 | 17:00 WIB

Masjid Teungku Dianjong, Menyusuri Jejak Sejarah dan Spiritualitas di Banda Aceh

Masjid Teungku Dianjong di Banda Aceh, Senin (17/3/2025). (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)

Banda Aceh, NU Online

Suara tabuh hadrah menggema, mengiringi lantunan salawat dan doa-doa yang memenuhi sisi kanan Masjid Teungku Dianjong. Irama hadrah yang syahdu itu seolah membawa kita kembali ke masa lalu, mengingat jasa-jasa ulama besar asal Yaman, Tgk Dianjong, yang telah menyebarkan syiar Islam di tanah Aceh.

 

Haul Tgk Dianjong, yang digelar setiap 15 Ramadhan, menjadi momen penting bagi warga setempat untuk mengenang perjuangan dan dakwahnya. 


Fahmi seorang warga Pelanggahan yang berusia 51 tahun, telah mengurus makam Tgk Dianjong selama 15 tahun. Bagi Fahmi, tugas ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hati.

 

"Saya tidak tahu alasan pasti mengapa saya mengurus makam ini, tapi ini bagaikan panggilan untuk saya," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Fahmi tidak sendirian, ia dibantu oleh pemuda setempat yang turut serta menjaga dan merawat situs bersejarah ini.


Haul Tgk Dianjong tidak hanya sekadar acara seremonial. Kegiatan ini diisi dengan pembacaan Yasinan, Tahlil, dan Maulid yang berlangsung hingga waktu berbuka puasa. Masyarakat sekitar juga turut serta dengan menyediakan kanji rumbi dan sedekah sebagai bentuk penghormatan kepada Tgk Dianjong.

 

"Haul ini untuk mengingat jasa Tgk Dianjong, yang datang ke sini untuk menyebarkan perintah Rasulullah," jelas Fahmi.


 

Masjid Teungku Dianjong di Banda Aceh, Senin (17/3/2025). (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
 

Tgk Dianjong, yang memiliki nama asli Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih, datang ke Aceh dari Yaman bersama dua orang lainnya pada abad ke-18. Mereka membawa kitab Hidayatul Hidayah sebagai sarana dakwah.

 

Setelah menetap dan menyebarkan ajaran Islam, Tgk Dianjong meninggal dan dimakamkan di sisi kanan Masjid Teungku Dianjong. Makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah dan sumber inspirasi bagi banyak orang.


Masjid Teungku Dianjong sendiri dibangun pada tahun 1769, di masa kejayaan Kerajaan Aceh. Arsitektur masjid ini memadukan unsur tradisional China dan Melayu, dengan tiga lantai yang masing-masing memiliki makna spiritual yaitu Syariat, Tarekat, dan Makrifat.


Masjid ini mampu menampung 500-600 jemaah dan berdiri di atas lahan seluas 4 hektar yang merupakan tanah wakaf. Meskipun sempat hancur akibat tsunami pada tahun 2004, masjid ini dibangun kembali pada tahun 2008 dengan bantuan pemerintah dengan balutan warna putih bersih dan nuansa hijau. 


Di samping masjid, terdapat makam Tgk Dianjong dan istrinya, Syarifah Fatimah Binti Sayid Abdurrahman Al-Aidid. Makam ini terpisah dari bangunan masjid namun masih dalam satu kompleks. Di sekitarnya, terdapat pula makam-makam murid Tgk Dianjong yang turut serta dalam perjuangan dakwahnya.


Sejarah menyebutkan, bahwa Tgk Dianjong menikah dua kali selama hidupnya. Istri pertamanya berasal dari keluarga kerajaan Aceh, namun tidak dikaruniai anak. Istri keduanya, Syarifah Fatimah, dibawa dari Yaman dan menetap di Aceh hingga akhir hayatnya. 


Masjid Teungku Dianjong tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan keagamaan dan wisata religi. Setiap tahun, ribuan jemaah dan pelancong dari berbagai negara datang untuk berziarah dan menelusuri jejak sejarah Islam di Aceh. Haul Tgk Dianjong yang digelar setiap tahun juga menarik perhatian ulama-ulama dari Timur Tengah.


Bagi warga Aceh, Masjid Teungku Dianjong bukan sekadar bangunan tua, melainkan simbol perjuangan dan keteguhan dalam menyebarkan ajaran Islam. "Dari sinilah Aceh disebut sebagai Serambi Mekkah," kata Fahmi dengan bangga.


Kini, masjid ini terus dijaga dan dirawat oleh masyarakat setempat, sebagai bentuk penghormatan kepada Tgk Dianjong dan warisan spiritual yang ditinggalkannya.


Di tengah gemuruh modernisasi, Masjid Teungku Dianjong tetap berdiri kokoh, menyimpan cerita-cerita heroik dan penuh makna. Suara tabuh hadrah yang masih terus menggema setiap haul, seolah mengingatkan kita bahwa sejarah dan spiritualitas adalah dua hal yang tak boleh dilupakan.