Daerah

Penguatan Ideologi Aswaja Cegah Radikalisme

Senin, 22 Januari 2018 | 15:44 WIB

Tegal, NU Online
Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) sebagai ideologi harus lebih masif disosialisasikan. Level selanjutnya, penerapan teknis dan penguatan riil juga mendesak dilakukan. Sejauh ini, ideologi Aswaja menjadi salah satu perangkat mencegah menyebarnya paham radikalisme. 

"Levelnya harus sudah aplikasi bukan hanya seminar dan wacana. Pengenalan dan panduan teknis penerapan Aswaja dalam kehidupan sehari-hari," kata Musmuallim, pengajar dari Universitas Jenderal Soedriman (Unsoed) Purwokerto saat Pelatihan Penanggulangan Radikalisme bagi Santri di Ponpes Ma'hadut Tholabah, Babakan, Lebaksiu Kabupaten Tegal, Ahad (21/1). 

Menurutnya, pengenalan menjadi urgen mengingat saat ini hampir semua orang mengklaim dirinya 'Aswaja'. Terlebih, kata Musmuallim, bagi generasi penerus dan santri yang kelak akan menjadi ujung tombak keberlangsungan Islam rahmatan lil 'alamin. 

"Saya melihat, santri dan usia-usia muda di level SMP-SMA adalah sasaran tepat yang harus digarap. Karena di tangan merekalah keberlangsungan Indonesia dan Islam yang indah," kata alumnus UIN Sunankalijaga Yogyakarta tersebut. 

Pelatihan Penanggulangan Radikalisme bagi Santri  digelar Alumni Ma'hadut Tholabah Babakan, Tegal bekerja sama dengan Program Pengabdian Unsoed Purwokerto. Kegiatan juga menghadirkan pembicara lain yakni Pemimpin Redaksi Majalah At Taujieh, Djito el Fateh (Purwokerto) dan Badruzzaman, dosen di STIKes Bhamada Slawi. 

Dalam paparannya, Djito el Fateh mencoba memberi gambaran sederhana apa itu Aswaja dan radikalisme. Misalnya dengan sederhana diartikan, Aswaja itu 'jalan tengah' (akomodatif), sementara radikalisme sering disebut sebagai islam kanan yang cenderung kaku (tidak akomodatif).

"Kalau mau lihat apa itu Aswaja, ya lihat saja kiai kita di pesantren. Seperti Kiai Muhammad Syafii Baidlowi (pengasuh pesantren, red). Jadi, kalau santri mau mengamalkan Aswaja, maka tirulah Kiai Baidlowi," katanya menjelaskan.
 
Santri, kata Djito lagi, diminta terus berpegang teguh pada karakter dasar, yakni, pribadi yang fokus menuntut ilmu, sami'na wa atho'na dengan kiai, dan ramah dengan perubahan zaman. Terutama setelah santri mukim dan berbaur di masyarakat. 

Sementara Badruzzaman memberi penekanan, agar santri terus memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Realitas hari ini banyak pihak yang mempermasalahkan amaliah santri (furu'iyyah) dan mengajak berdebat harus dibaca positif. 

"Santri memang harus mumpuni secara keilmuan keagamaan," katanya. 

Terpisah, Bendahara Ikatan Mutakhorijin Ma'hadut Tholabah, Imam Chumedi mengapresiasi kegiatan positif tersebut. 

"Ini bukti bahwa alumni ada dan membawa manfaat buat pesantren. Semoga juga jadi inspirasi para santri kelak tetap ikut membangun pesantren terutama secara  keilmuan," harap dia. (Hasan/Abdullah Alawi)