M. Sakdillah
Kolomnis
Topografi Sungai sebagai Jalur Peradaban Maritim
Musirawas adalah nama wilayah di bagian Barat Provinsi Sumatera Selatan. Di sebelah Barat, Musirawas berbatasan langsung dengan Provinsi Bengkulu. Di bagian Utara, berbatasan dengan Provinsi Jambi. Dan, bagian Selatan dan Timur, berbatasan dengan Kabupaten Lintang Empat Lawang, Kabupaten Pali, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
Musirawas bermula dari sebuah nama Onder Afdeling Musi Ulu yang beribukota di Muarabeliti dan Onder Afdeling Rawas yang beribukota di Surulangun. Sejak jalur kereta api Palembang-Lubuklinggau dibuat antara tahun 1928 hingga 1933, ibukota Musi Ulu dipindahkan ke Lubuklinggau.
Di kemudian hari, Onder Afdeling Musi Ulu dan Onder Afdeling Rawas disatukan menjadi Musi Ulu Rawas (Kabupaten Musirawas) dengan ibukota Lubuklinggau. Setelah Reformasi, Kabupaten Musirawas terbagi ke dalam tiga daerah, yakni Kota Lubuklinggau, Kabupaten Musirawas, dan Kabupaten Musirawas Utara (Muratara).
Lubuklinggau menjadi peradaban baru sebagai pusat pengepul minyak, emas, dan hasil bumi lainnya seperti sawit dan karet. Tambang-tambang dan perkebunan tersebut dikelola secara mandiri oleh masyarakat sehingga muncul aktor-aktor lokal yang disebut dengan istilah touke. Hal tersebut menandakan pergeseran kebudayaan maritim ke daratan. Hingga, jalur-jalur darat pun mulai dirintis untuk menghubungkan satu kota ke kota lainnya.
Pada era 1980an, masih dapat dijumpai perahu biduk, tongkang, dan truk besar Kingkong menjadi alat transportasi pengangkut kayu dan hasil bumi dari Musirawas ke Palembang. Selain kereta api yang mengangkut minyak dan emas. Pada masa tersebut, kota-kota yang berada di muara sungai di tepian sungai Musi dan sungai Rawas masih ramai sebagai pusat peradaban maritim melalui perdagangan tradisional.
Di kota Lubuklinggau, tidak jarang pula, terlihat pedagang-pedagang muslim India yang membuka toko kain dan minyak wangi. Nama toko Cinta Damai sangat terkenal di kota Lubuklinggau untuk melihat adanya relasi perdagangan antarbangsa. Muslim India tersebut hidup dan menetap di kota Lubuklinggau. Di samping, terdapat pula orang-orang Tionghoa yang membantu percepatan pertumbuhan ekonomi melalui pertanian dan perdagangan. Dan, anehnya, tidak dijumpai orang-orang Arab yang datang ke Lubuklinggau.
Kondisi Sosial di Kabupaten Musirawas
Sejak Lubuklinggau menjadi ibukota kabupaten, kondisi dan interaksi sosial semakin meningkat. Pedagang-pedagang yang semula bertempat di kota-kota pinggir sungai mulai bergeser ke Lubuklinggau. Kabupaten Musirawas yang semula dihuni oleh masyarakat suku Proatin (Rejang), Musi, Jeme Lahat (Pagaralam, Kikim, dan Empat Lawang), dan Jawa (projek kolonisasi-transmigrasi tahun 1932 ketiga setelah Banyuwangi dan Lampung), kian bertambah ramai dengan kedatangan pedagang-pedagang India, Palembang, Tionghoa, dan Minang.
Di sepanjang sungai Musi dan sungai Rawas dalam peta Belanda yang dikumpulkan oleh Jeroen Peters, terdapat bangunan masjid-masjid tua yang didirikan oleh masyarakat desa setempat. Komunitas-komunitas di sekitar masjid tersebut kemudian melestarikan tradisi yang bersumber dari tarekat. Umumnya, tarekat yang berkembang adalah tradisi seni beladiri pencaksilat. Memang, perlu penelitian mendalam tentang pencaksilat tersebut dengan tarekat, mengingat jurus-jurus yang digunakan adalah pencaksilat harimau yang dinamakan Kuntao.
Dalam tradisi Kuntao, ujian terberat untuk menyelesaikan pendidikan pencaksilat tersebut bagi seorang murid adalah “mutus” (tebus). Ritual mutus tersebut biasanya diiringi dengan prosesi pembacaan doa, memotong ayam kumbang (ayam putih kuning), hidangan nasi ketan hitam, dan menebus sebilah pisau belati. Prosesi tebus pisau adalah praktik beladiri yang dilakukan di tepi sungai oleh seorang guru Kuntao dan muridnya di malam purnama. Dalam prosesi tebus pisau tersebut, sang guru tidak akan sungkan-sungkan menikam muridnya. Dan, kewajiban sang murid adalah menjatuhkan pisau belati dari tangan gurunya. Jika sang murid berhasil, maka ia dinyatakan lulus untuk mengamalkan Kuntaonya. Keunikan dari tradisi pencaksilat Kuntao tersebut diajarkan secara rahasia, bukan sebuah padepokan terbuka. Dan, setiap mantra yang diucapkan selalu ditutup dengan kalimat “Haq kata Allah”.
Selain Kuntao, tradisi tarekat yang berkembang adalah pengucapan kata “Ya Saman” oleh masyarakat awam. Kata Ya Saman memiliki konotasi kepada pendiri tarekat Al Sammaniyah, Sayid Syekh Muhammad bin Abd Al Karim Al Samman, yang berkembang pesat di Sumatera Selatan. Kata Ya Samman sering diucapkan masyarakat awam manakala merasa takjub.
Orang Palembang, Komunitas Pendiri NU di Musirawas
NU tidak serta merta menjadi sistem pergerakan yang terorganisir tanpa ada komunitas-komunitas tradisi. Dan, kemajuan organisasi ditentukan oleh peristiwa politik yang sedang terjadi. Demikian pula, NU mulai menjadi gerakan terorganisir di Sumatera Selatan ketika NU menjadi partai politik setelah Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952.
Momentum NU menjadi partai politik tersebut, di satu sisi sangat menguntungkan masyarakat tradisi yang merasa terancam oleh serangan kaum pembaharu. Kaum pembaharu atau modernis tersebut sering melempar isu-isu bidah untuk menolak setiap aktivitas tradisi.
Kehadiran NU bagi masyarakat awam dipandang sebagai “agamo lame” sebagai sikap penolakan terhadap “agama baru” yang dibawa oleh kaum pembaharu. Sehingga masyarakat awam menjadi sangat teliti dan protektif terhadap buku-buku bacaan mereka.
Komunitas orang Palembang di kota Lubuklinggau adalah perpindahan dari Muarabeliti. Sebuah kota pelabuhan sungai yang ramai. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung di pinggir jalan raya. Menguasai sarana transportasi dan menjahit pakaian. Mereka terlihat kaya, karena hampir memiliki mobil yang masih jarang dimiliki oleh masyarakat awam. Kiai Abdul Madjid (Wak Cek) adalah nama legendaris di Lubuklinggau karena aktivitasnya sebagai penjahit pakaian dan pemilik grup pengarak pengantin yang menggunakan rebana dan Syarafal Anam.
Menurut H. Sofyan Narta, sesepuh NU dan mantan pejabat Pemerintah Kota Lubuklinggau, H. Syukur adalah orang Palembang yang menjadi ketua GP Ansor era 1950an di Lubuklinggau yang memiliki grup drumband pertama di kota Lubuklinggau. Bersama KH Ahmad Zahruddin Syambasi, KH Kemas Hanan, dan Ibu Ningayah, H. Syukur mendapat partisipasi masyarakat untuk mendirikan Sekolah Dasar Islam (SDI) dan Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) Darul Ma’arif. Sekolah Islam yang menjadi pelopor berdirinya pesantren-pesantren yang ada di Kabupaten Musirawas, Kota Lubuklinggau, dan Kabupaten Musirawas Utara.
KH Ahmad Zahruddin Syambasi adalah santri langsung KH Djazuli Usman Plosomojo, Kediri, yang berasal dari Desa Bejaten, Kabupaten Semarang. Ia adalah kader GP Ansor di bawah asuhan KHM. Zainuddin. Guru organisasi M. Mu’tashim Billah (salah satu pendiri PMII) dan politisi NU, H. Mathori Abdul Djalil. KH Ahmad Zahruddin Syambasi banyak memberi inspirasi tentang ke-NU-an dan kepesantrenan di Musirawas.
Di masa senjanya, ia mendirikan Pondok Pesantren Al-Furqon di Tabajemekeh. Sebelum menetap di kota Lubuklinggau, ia mendirikan beberapa madrasah di desa-desa di sepanjang sungai Musi. Salah satu madrasah tersebut adalah Madrasah Tsanawiyah Fi’liyal Muarakelingi yang didirikannya bersama kakak iparnya, AM Soekardjo. Sekarang, Madrasah Tsanawiyah di Muarakelingi tersebut telah menjadi Madrasah Tsanawiyah Negeri Muarakelingi.
Komunitas orang Palembang di Lubuklinggau adalah penjaga tradisi di Musirawas. Jika sejarah ditarik ke belakang, terdapat tiga PCNU di Kabupaten Musirawas, yaitu PCNU Lubuklinggau, PCNU Muarakelingi, dan PCNU Surulangun yang didirikan oleh orang-orang Palembang. Tiga PCNU tersebut kemudian disatukan ketika Lubuklinggau menjadi ibukota Kabupaten Musirawas. Kini, tiga PCNU tersebut kembali terbagi di tiga daerah, yaitu PCNU Kota Lubuklinggau, PCNU Kabupaten Musirawas, dan PCNU Kabupaten Musirawas Utara.
Bagi masyarakat kota Lubuklinggau, Masjid Agung Lama (sekarang, Masjid Al Bari’) yang terletak persis di depan Polres Kota Lubuklinggau adalah monumen terindah warga NU. Karena, didirikan atas partisipasi komunitas orang Palembang yang ada di Lubuklinggau. Di masjid agung tersebut, tradisi sholat taraweh 23 rekaat terjaga. Kegiatan pengajian kitab kuning setiap bakda Subuh yang diisi oleh KH Hasyim (Kiai Ujo), KH Muhabir, dan KH Ahmad Zahruddin Syambasi berlangsung. Ketiga kiai tersebut rajin mengajarkan Islam Aswaja secara praktis di Musirawas hingga tahun 2000an.
M. Sakdillah, penulis buku Pengantar Ilmu Dakwah: Antara Teori dan Praktik (2024)
Terpopuler
1
Susunan Lengkap Pengurus Besar PMII 2024-2027
2
Khutbah Jumat: 4 Amal Ibadah Penghantar Menuju Surganya Allah
3
Duduk Perkara Persoalan JATMAN: Munculnya PATMAN hingga Ikhtiar PBNU Mencari Solusi
4
Khutbah Jumat: Meniti Jalan Menuju Surga
5
KH Achmad Chalwani dan KH Ali Masykur Musa Pimpin JATMAN 2024-2029
6
Khutbah Jumat: Mari Mendidik Anak dengan Tidak Memanjakannya
Terkini
Lihat Semua