Internasional

Kisah Pilu Ibu Rumah Tangga di Gaza Akibat Blokade Israel

Senin, 9 Mei 2016 | 18:01 WIB

Kisah Pilu Ibu Rumah Tangga di Gaza Akibat Blokade Israel

Foto: Reuters/Muhammed Saleem

Kota Gaza, NU Online
Di rumah mungil yang kumuh di kamp pengungsi Shati, Jalur Gaza, keluarga ibu Hayat Al-Hessi (60) berada dalam kemiskinan dan kemelaratan.

Pada Hari Ibu, Ahad (8/5), Al-Hessi menceritakan suaminya menderita penyakit dan maksimal hanya mampu bekerja dua hari dalam sepekan.

"Kami bergantung atas bantuan makanan yang kami terima dari PBB dan organisasi lain non-pemerintah," kata Al-Hessi sambil memeluk dua cucunya, sebagaimana dikutip Xinhua.

"Tapi kami menerima bantuan ini satu kali dalam tiga bulan, yang tidak cukup buat keluarga besar saya."

Sejak Hamas merebut Jalur Gaza pada 2007, wilayah di pantai itu menderita akibat blokade ekonomi Yahudi dan pembatasan Mesir atas berbagai barang dan perjalanan sehingga menambah parah kondisi hidup dan ekonomi 1,9 warga Jalur Gaza.

Blokade tersebut telah memaksa sebagian besar warga Jalur Gaza terjerumus ke dalam kemiskinan sementara angka pengangguran mencapai 42,7 persen, demikian data resmi.

Al-Hessi tak pernah bekerja, persis seperti sebagian besar ibu rumah tangga di semenanjung itu. Sekarang ia menyesal karena tidak belajar ketrampilan atau mengakhiri pendidikannya sebab itu mestinya bisa membantu dia mencari pekerjaan untuk memberi makan keluarganya.

"Saya mengkhawatirkan masa depan suram anak-anak saya ... mereka besar dalam kemiskinan dan kami tak bisa berbuat apa-apa untuk mereka," kata wanita tersebut sambil menarik nafas dalam.

Perempuan dalam masyarakat tradisional Palestina masih menderita akibat sistem patriarki dalam masyarakat dan pembagian peran berdasarkan gender. 

Perempuan Palestina, yang berjumlah separuh warga Jalur Gaza, masih menjadi kelompok minoritas di dalam lapangan kerja. Hanya 17,3 persen perempuan Jalur Gaza bekejra, empat kali lebih sedikit dibandingkan dengan kaum lelaki.

PBB pada 2014 menerbitkan laporan yang memperingatkan bahwa pada 2020, Jalur Gaza akan menjadi tempat yang tak bisa ditinggali gara-gara kekurangan sumber air, kekurangan lapangan kerja dan memburuknya layanan medis, sosial serta pendidikan.

Sosok lain,  Rawan Al-Katary (29) telah berhasil menjalani kehidupan rumah tangga dan memiliki pekerjaan berkat keinginan kuatnya.

Rawan Al-Katary adalah Direktur Eksekutif satu organisasi non-pemerintah lokal di Jalur Gaza dan mantan wartawati serta pengajar di perguruan tinggi. Wania tersebut telah bekerja sejak 2004, lima tahun sebelum ia berumah-tangga. Perkawinannya sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan profesionalnya.

"Menyeimbangkan keluarga, pekejraan dan waktu buat diri sendiri dapat menjadi tantangan, Tapi saya mencintai ibu yang dinamis dan merawat keluarga. Saya adalah istri yang peduli dan suami saya benar-benar sangat membantu dalam membuat keseimbangan," kata Rawan Al-Katary.

"Setiap pagi, saya mempersiapkan dua putri saya untuk belajar di taman kanak-kanak, sarapan bersama suami saya dan kemudian pergi kerja. Dalam perjalanan pulang, saya menjemput anak-anak saya dan memulai kehidupan sebagai ibu rumah tangga," katanya.

Perempuan tersebut sekarang kuliah untuk meraih gelar master dan merasa sangat bangga dengan keberhasilan yang ia capai dalam keluarganya, pekerjaan dan pendidikannya.

"Saya berjuang untuk mencapai keberhasilan lebih banyak dalam kehidupan pribadi, sosial dan profesional saya selama keluarga saya membantu saya secara moral," kata Rawan Al-Katary. (Antara/Mukafi Niam)