Nasional

3 Anak SD Diduga Perkosa Bocah TK, Psikolog Unusia Jelaskan Pemicunya

Rabu, 25 Januari 2023 | 14:30 WIB

3 Anak SD Diduga Perkosa Bocah TK, Psikolog Unusia Jelaskan Pemicunya

Kasus pemerkosaan masih kerap terjadi di lingkungan pendidikan (ilustrasi). (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online 
Kasus dugaan pemerkosaan oleh anak di bawah umur mencuat di berbagai pemberitaan. Belum lama, di Mojokerto, Jawa Timur, seorang anak TK diduga diperkosa oleh 3 laki-laki usia 8 tahun yang sekarang masih berada di bangku Sekolah Dasar (SD). Mirisnya lagi, para terduga pelaku merupakan tetangga korban. 


Psikolog Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Rakimin, turut menyoroti kejadian tersebut. Menurutnya, kasus dugaan pemerkosaan oleh anak di Jawa Timur tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan.


“Tak habis pikir, fakta miris seorang siswi TK berusia 6 tahun diperkosa oleh 3 bocah siswa SD yang berusia 8 tahun. Selain menempuh langkah hukum dan mediasi keluarga korban dan pelaku, dibutuhkan pula pemahaman psikologi,” ungkap Rakimin kepada NU Online, Rabu (25/1/2023).


Ia melanjutkan, orang tua memiliki peran krusial untuk mendampingi dan mengedukasi anak usia 8-11 tahun, mengingat minat dan kesadaran seksual pada anak di usia tersebut mulai meningkat. 


“Bila tidak, maka akan melakukan eksperimentasi dengan anak seusianya dalam permainan, seperti: mencium, menyentuh, menunjukkan bagian tubuh atau melakukan role play perilaku seksual dan melakukan perilaku seksual seperti orang dewasa,” jabar Rakimin.


Bagaimana anak-anak bisa memperkosa?

Rakimin menjelaskan bahwa anak berpotensi melakukan aksi tersebut lantaran dipicu oleh beberapa faktor. “Ada beberapa faktor yang pada umumnya membuat anak rentan menjadi pelaku pemerkosaan,” tutur Rakimin.


Pertama, anak mulai meniru atau memperagakan adegan seksual orang dewasa, baik di rumah maupun di lingkungan sekitar.


Kedua, rasa ingin tahu (curiosity) dan penasaran anak pada perilaku seksual orang dewasa.


Ketiga, anak memiliki pengalaman traumatik atau perkembangan seksual yang buruk.


Keempat, anak berkembang di lingkungan yang kental akan kesenjangan gender, sehingga cenderung memperlakukan pihak yang dianggap lebih lemah sebagai objek.


Kelima, anak hidup dalam lingkungan yang permisif dan mengabaikan tindakan kekerasan seksual.


Keenam, anak terbiasa mengakses konten visual yang berbau seksual atau pornografi di media sosial.


Ketujuh, anak tidak mendapatkan akses kesempatan atau pembiasaan melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan diri yang menyenangkan dan sesuai dengan usia serta minatnya.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syamsul Arifin