Nasional

3 Langkah bagi Pemerintah untuk Tingkatkan Ekonomi Kelas Menengah

Jumat, 13 September 2024 | 21:00 WIB

3 Langkah bagi Pemerintah untuk Tingkatkan Ekonomi Kelas Menengah

Ilustrasi peningkatan ekonomi kelas menengah. (Foto; NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Tyovan Ari Widagdo menyampaikan terdapat tiga solusi untuk mengurangi jumlah kelas menengah, hal tersebut disampaikan kepada NU Online melalui telefon selulernya pada Kamis (12/9/2024).


Pertama, pengendalian inflasi. Inflasi yang tinggi menjadi penyebab penurunan daya beli kelas menengah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang konkret untuk mengendalikan laju inflasi. Hal ini termasuk menjaga kestabilan harga jasa dan bahan pokok, serta barang-barang penting lainnya.


“Seharusnya pemerintah mengambil kebijakan yang konkret sehingga dapat mengendalikan inflasi dan menjaga harga barang serta jasa tetap stabil,” ujar Tyovan.


Kedua, meningkatkan akses terhadap pendidikan dan pelatihan. Masyarakat yang berada di kelas menengah hingga yang ter-PHK perlu peningkatan akses terhadap pendidikan dan pelatihan.


Pemerintah dapat hadir untuk menyediakan program-program pelatihan kerja, peningkatan keterampilan (upskilling), dan pendidikan lanjut membantu masyarakat kelas menengah hingga yang ter-PHK menghadapi zaman sekarang ini.


“Meningkatkan akses terhadap pendidikan dan pelatihan khususnya yang terdampak PHK dapat diberikan skill yang baru,” ujarnya.


Ketiga, kebijakan pajak yang adil dan progresif. Sistem perpajakan yang lebih adil dan progresif bisa membantu mengurangi beban pada ekonomi kelas menengah. Relaksasi pajak bagi kelas menengah serta pengenaan pajak yang lebih tinggi pada kelas berpenghasilan tinggi dan perusahaan besar bisa membantu menciptakan subsidi silang atau distribusi pendapatan yang merata.


“Perlunya pemerintah mengambil langkah mengurangi beban ekonomi kelas menengah, dapat melalui pajak yang progresif,” ujarnya.


Tyovan melihat bahwa fenomena penurunan kelas menengah ini masih dipengaruhi pandemi Covid-19. Dampak dari pandemi itu masih demikian terasa mengingat banyaknya jumlah orang yang terkena PHK akibat gulung tikarnya sejumlah perusahaan. 


“Mereka yang turun kelas menjadi pra kelas menengah atau middle class squeuze, mengakibatkan mereka harus mengurangi pengeluaran kehidupannya,” ujar Tyovan.


Kehilangan pekerjaan dan menurunnya pendapatan selama pandemi Covid-19, ditambah terjadinya inflasi (kenaikan harga) melatari penurunan kelas tersebut. Kenaikan harga barang dan jasa yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan, sehingga dapat mempengaruhi pembeli yang berada di kelas menengah.


“Pascapandemi Covid-19 ini ketambahan terjadinya inflasi pada barang dan jasa yang dapat mempengaruhi beli dikelas menengah ke bawah yang memiliki penghasilan tetap,” ujarnya.


Tyovan menambahkan dengan adanya inflasi ini mempersulit masyarakat ekonomi kelas menengah dan ke bawahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sulit untuk menabung serta berinvestasi. Hal ini sangat mempengaruhi daya beli menjadi turun dan ekonomi pun terdampak menjadi turun.


Menurut laporan Bank Dunia dengan judul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class, bahwa Indonesia memiliki pengeluaran Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan per kapita.


Di sisi lain, masyarakat secara individu mengeluarkan Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan per kapita bagi pra kelas menengah. Sementara kelas rentan miskin memiliki pengeluaran Rp354 ribu hingga Rp532 ribu per bulan per kapita.


Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tahun 2024 jumlah kelas menengah tinggal 17,13 persen atau sekitar 47,85 juta orang. Angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 2019 berjumlah 21,45 persen.


Penurunan kelas menengah itu berbanding terbalik dengan kelas rentan miskin yang malah meningkat. Pada 2019, presentase naik dari 68,76 persen menjadi 72,75 persen pada tahun 2023.