Nasional

4 Tantangan Sekolah Terapkan Sistem Perlindungan Anak

Jumat, 4 Oktober 2024 | 08:00 WIB

4 Tantangan Sekolah Terapkan Sistem Perlindungan Anak

Ilustrasi anak terlindungi. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Sholihah menegaskan perlu adanya refleksi mengenai pendidikan saat ini untuk mendukung perlindungan anak. Peningkatan perlindungan anak harus ditingkatkan melalui sosialisasi, edukasi, internalisasi individu, dan internalisasi dalam tata kelola.


“Perlu ditingkatkan melalui sosialisasi, edukasi, internalisasi, bahkan bukan hanya pemahaman personal atau interpersonal atau bahkan bagian-bagian dari pusat pendidikan tetapi internalisasi dalam tata kelola itu dapat diwujudkan melalui aturan, kesepakatan, perencanaan dengan semua pihak,” ujarnya kepada NU Online pada Kamis (3/10/2024).


Ai menyampaikan bahwa kejadian kekerasan akhir-akhir ini menjadi tantangan dalam mengiplementasikan regulasi yang sudah ada di sekolah. Pendidikan saat ini harus mengikuti pada aturan dan regulasi yang telah ditetapkan. 


Kementrian Pendidian, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penangan kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan di Indonesia.


“Adanya Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 mengenai pencegahan kekerasan disatuan pendidikan, bukan hanya anak yang diatur tetapi seluruh komponen pendidikan, ada guru, tenaga pendidikan, orang tua yang harus membangun sebuah hubungan dan memberikan dukungan kepada anak-anak supaya dapat mengikuti pembelajaran secara efektif,” ujar Ai.


Menurutnya, setidaknya ada empat tantangan yang dihadapi sekolah dalam menerapkan sistem perlindungan anak. Pertama, satu tujuan untuk pencegahan kekerasan. Melalui Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 ini dapat menyatukan tujuan dan pemikiran semua pihak untuk pencegahan kekerasan di sekolah.


Kedua, tata kelola pencegahan dan penanganan tindak kekerasan. Hal ini dapat diimplementasikan melalui tata kelola pendidikan di sekolah.


“Evaluasi dari KPAI, terkadang pihak sekolah membuat aturan tanpa melibatkan suara anak. Seharusnya pihak sekolah juga mengajak perwakilan anak untuk duduk berdialog, sehingga yang muncul adalah kesadaran, anak bisa menjadi agent of change di kelasnya untuk mengatakan bahwa jika melanggar peraturan sekolah akan ada hukuman,” ujar Ai.


Ketiga, kesadaran orang tua di lingkup pendidikan. Orang tua menjadi aspek penting dalam lingkung pendidikan anak. Komunikasi dua arah terhadap anak menjadi hal yang harus dibiasakan dalam pengasuhan anak. Dengan begitu,, anak akan menunjukkan kepribadian, karakter, dan akhlak budi pekerti yang baik.


“Anak bukan cuman mendapat pendidikan di sekolah, tetapi perlu ada tindak lanjut di rumah dengan kehangatan berdialog secara dua arah. Hal ini harus menjadi pembiasaaan," ujarnya,


"Jika di sekolah ada disiplin positif, maka di rumah juga ada pengasuhan yang positif. Hal ini yang menjadi cikal bakal menunjukkan kepribadian, pembinaan karakter, dan penanaman nilai akhlak budi pekerti yang baik itu dapat terjadi,” lanjut Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU) itu.


Terakhir, partisipasi anak yang bermakna. Membangun situasi yang bermakna, diawali dari lingkungan yang kondusif sehingga dapat memberikan fasilitas anak berpendapat dan melibatkan anak sebagai subjek pendidikan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan anak akan menjadi lebih produktif melalui berbagai kegiatan positif.