Ahli Hidrologi UGM: Banjir Aceh-Sumatra Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS
NU Online · Ahad, 7 Desember 2025 | 15:00 WIB
Salah satu titik terdampak banjir dan tanah longsor di Agam Sumatra Barat. Gambar diambil Sabtu (6/12/2025). (Foto: NU Online/Kendi Setiawan)
Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ahli Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo mengungkapkan bahwa bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 bukanlah fenomena tunggal atau kebetulan alamiah.
Ia menilai bahwa rangkaian bencana hidrometeorologi yang terus meningkat dalam dua dekade terakhir berkaitan erat dengan kerusakan ekologis yang semakin parah di kawasan hulu Sungai.
"Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi ‘dosa ekologis’ di hulu DAS. Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS,” ujarnya kepada NU Online, Sabtu (6/12/2025).
Hatma menjelaskan, kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS telah menghilangkan daya dukung dan daya tampung alami untuk meredam curah hujan tinggi. Hilangnya tutupan hutan menyebabkan fungsi pengendali daur air seperti intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, pengendalian erosi, dan penahan limpasan permukaan tidak lagi berjalan efektif.
"Kondisi ini memicu erosi masif dan longsor yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya banjir bandang,” katanya.
Ia menggambarkan peran hutan sebagai penyangga hidrologis yang sangat vital. Vegetasi hutan yang rimbun, katanya, ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah, menahannya, dan melepaskannya perlahan agar tidak membebani aliran sungai secara tiba-tiba.
“Hutan menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir di musim hujan sekaligus menyediakan aliran dasar saat musim kering. Sebaliknya, ketika hutan hulu rusak atau gundul, siklus hidrologi alami itu ikut terganggu dan semua fungsi hutan berpotensi hilang,” ucapnya.
“Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Akibatnya, mayoritasi hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir,” lanjutnya.
Hatma menjabarkan bahwa bencana tersebut disebabkan juga dari deforestasi besar-besaran yang telah terjadi di berbagai kawasan hulu di Sumatra. Di Aceh, hingga tahun 2020 sekitar 59 persen wilayahnya atau 3,37 juta hektare masih berupa hutan alam, provinsi tersebut telah kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan pada tahun 1990-2020.
“Laju kehilangan itu menunjukkan meningkatnya kerentanan terhadap banjir,” ujar Dosen Fakultas Kehutanan UGM itu.
Kondisi di Sumatra Utara bahkan lebih memprihatinkan. Ia menjabarkan bahwa tutupan hutan yang tersisa hanya 29 persen dari luas daratan atau 2,1 juta hektare pada 2020.
“Dengan sisa hutan terfragmentasi di pegunungan Bukit Barisan bagian barat dan beberapa enclave konservasi seperti wilayah Tapanuli. Ekosistem Batang Toru, salah satu benteng terakhir hutan tropis lebat Sumut,” jelasnya.
“Saat ini juga terdesak oleh aktivitas manusia, mulai penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas. Fragmentasi hutan tersebut menghilangkan fungsi ekologis penting sebagai pengendali hujan dan penahan banjir,” sambungnya.
Sementara itu, Sumatra Barat yang memiliki sekitar 54 persen hutan dari luas wilayahnya atau 2,3 juta hektare juga menjadi laju deforestasi yang tinggi. Hatma menjelaskan bahwa pada tahun 2001-2024, provinsi ini kehilangan sekitar 320 ribu hektare hutan primer dan total 740 ribu hektare tutupan pohon.
“Sedangkan pada 2024 saja, deforestasi mencapai 32 ribu hektare. Banyak sisa hutan Sumbar berada di lereng curam Bukit Barisan sehingga ketika tutupan lahan menipis, risiko banjir bandang dan longsor meningkat tajam,” terangnya.
Dalam konteks penanganan bencana, Hatma menegaskan bahwa langkah-langkah struktural seperti pembangunan tanggul, pemulihan sempadan sungai, dan normalisasi sungai tetap penting.
“Tetapi tidak akan cukup bila tidak disertai pelestarian lingkungan di hulu. Perlindungan hutan dan konservasi DAS harus menjadi prioritas utama,” tandasnya.
Terpopuler
1
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
2
KH Said Aqil Siroj Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang kepada Pemerintah
3
Silaturahim PBNU Sesi Pertama di Tebuireng Selesai, Prof Nuh: Cari Solusi Terbaik untuk NU
4
Kiai Sepuh Respons Persoalan PBNU: Soroti Pelanggaran Pemakzulan dan Dugaan Kekeliruan Keputusan Ketum
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Bakal Hadiri Undangan Silaturahim di Pesantren Tebuireng
Terkini
Lihat Semua