Akademisi: Budaya Feodal Membungkam Ruang Perbedaan dalam Demokrasi Indonesia
NU Online · Senin, 6 Oktober 2025 | 18:30 WIB
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Augustinus Setyo Wibowo dalam Kuliah Terbuka bertema Demokrasi, Agonisme, dan Oposisi Permanen di Perpustakaan Nasional, Gambir, Jakarta, Senin (6/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Setyo Wibowo menilai bahwa demokrasi Indonesia hingga kini masih terjebak dalam budaya feodal yang menolak konflik dan perbedaan.
Hal tersebut disampaikan Setyo dalam Kuliah Terbuka bertema Demokrasi, Agonisme, dan Oposisi Permanen di Perpustakaan Nasional, Gambir, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurut Setyo, semangat rukun dan harmoni yang sering diagungkan dalam politik justru kerap dijadikan alasan untuk membungkam suara kritis dan menghapus oposisi.
“Kita ini sering terjebak dalam budaya feodal yang anti-konflik. Semua ingin tampak rukun, padahal di balik itu, ruang perbedaan dibungkam,” katanya.
Setyo menjelaskan bahwa akar persoalan demokrasi Indonesia tidak hanya terletak pada lemahnya institusi politik, tetapi juga pada cara pandang masyarakat terhadap konflik. Dalam pandangan kosmologis yang diwarisi dari budaya Jawa, perbedaan dianggap sebagai ancaman terhadap keselamatan sosial.
“Tradisi politik kita dipengaruhi oleh warisan kosmologis Jawa. Rukun, harmoni, selaras, anti-konflik. Dalam pandangan ini, konflik dianggap sebagai ancaman terhadap keselamatan kosmos, bukan benteng alami dan pendidikan sosial,” ujarnya.
Ia menilai kecenderungan tersebut melahirkan bentuk demokrasi yang tampak stabil di permukaan, tetapi kehilangan vitalitas di dalamnya.
“Harmoni tanpa konflik adalah demokrasi tanpa kehidupan,” tegasnya.
Setyo mengutip pemikiran Chantal Mouffe tentang demokrasi agonistik, yang memandang konflik sebagai tanda kehidupan politik yang sehat. Menurutnya, politik bukanlah upaya untuk menghapus perbedaan, melainkan mengelolanya secara produktif.
“Upaya mengatasi konflik justru mematikan vitalitas demokrasi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa dalam konteks Indonesia, politik sering direduksi menjadi urusan teknokratis dan manajerial belaka. Konflik politik disamarkan atas nama stabilitas, sementara oposisi dan kritik kerap dianggap mengganggu persatuan.
“Indonesia, terutama pasca-reformasi, sering mengklaim diri sebagai demokrasi yang harmonis. Tapi jika dilihat lebih dalam, ini justru demokrasi tanpa politik. Oposisi diserang, bukan diakui,” ujar Romo Setyo.
Menurutnya, demokrasi yang sehat justru menuntut keberanian untuk menampilkan perbedaan dan memperdebatkan ide secara terbuka. Ia menolak pandangan bahwa persatuan harus diartikan sebagai keseragaman.
"Jangan hapus harmoni, tetapi mari reinterpretasi harmoni secara agonistik. Harmoni itu jangan dipahami sebagai harmoni tanpa konflik,” katanya.
Setyo menyerukan pentingnya pelembagaan ruang perbedaan dan oposisi yang nyata di Indonesia. Ia menegaskan bahwa demokrasi sejati membutuhkan arena pertarungan ide yang terbuka, bukan kesepakatan palsu yang menutupi konflik.
"Politik yang menolak perbedaan itu tenang seperti kuburan, tapi mati,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua