Aksi Kamisan Ke-884, Aktivis Tuntut Negara Jujur pada Sejarah Pelanggaran HAM
NU Online · Kamis, 30 Oktober 2025 | 19:45 WIB
Guru Sejarah, Maria Nikkita Mega Melati, saat menyampaikan Kuliah Jalanan dalam Aksi Kamisan Ke-884, di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (30/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Aksi Kamisan Ke-884 kembali digelar di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (30/10/2025). Aksi yang digelar untuk memperingati Sumpah Pemuda ini turut menghadirkan Kuliah Jalanan yang disampaikan Guru Sejarah, Maria Nikkita Mega Melati.
Para aktivis menegaskan tuntutan agar negara tetap jujur dan tidak memanipulasi catatan sejarah, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam orasinya, Maria menyampaikan kegelisahan atas munculnya upaya pelurusan dan pengaburan narasi sejarah. Ia menilai, sejarah bangsa mulai dijadikan alat legitimasi kekuasaan, alih-alih sebagai cermin refleksi kolektif.
Ia juga menyinggung penangkapan aktivis muda, Delpedro Marhaen, yang dinilai dilakukan secara sewenang-wenang. Menurut Maria, tindakan tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat masih dipandang sebagai ancaman.
“Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis,apakah kebebasan berpendapat masih dianggap sebagai ancaman? Apakah berekspresi jujur masih dipandang sebagai bahaya?” ujarnya.
Maria menegaskan bahwa meskipun melibatkan generasi yang berbeda, inti perjuangan tetap sama, yaitu mempertahankan hak untuk menyuarakan kebenaran. Ia mengaitkannya dengan semangat Sumpah Pemuda yang menolak penindasan dan meneguhkan cita-cita kemerdekaan.
Dalam refleksinya, Maria menyebut bahwa generasi muda Indonesia berhak menerima sejarah yang disampaikan secara utuh, bukan yang telah disensor.
“Kini, generasi muda Indonesia berhak atas sejarah yang utuh dan jujur, bukan narasi yang telah disensor atau dimanipulasi. Mereka berhak mendengarkan setiap suara: suara korban, suara saksi, dan suara pilu dari ibu yang masih berduka,” tegasnya.
Menurutnya, kemerdekaan bangsa tidak hanya berarti terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari belenggu kebohongan dan penyangkalan masa lalu.
“Hanya dengan mengakui dan menerima keseluruhan kisah masa lalu, bangsa ini dapat benar-benar merdeka dari belenggu kebohongan,” ujarnya.
Maria juga menyoroti upaya penghapusan bab mengenai pelanggaran HAM berat Reformasi 1998 dalam rancangan buku Sejarah Nasional Indonesia. Ia menyebut bahwa penghilangan tersebut sama artinya dengan melucuti sejarah dari inti kemanusiaannya.
“Bayangkan sebuah buku sejarah nasional tanpa rakyat di dalamnya. Tanpa mahasiswa, tanpa darah Trisakti, tanpa suara ibu yang kehilangan anaknya. Bukankah itu berarti sejarah sedang dilucuti dari jantungnya sendiri?” ucap Maria.
Namun, ia menyambut baik kembalinya bab tersebut ke dalam buku setelah adanya desakan publik dan gerakan masyarakat sipil.
“Akhirnya, nama-nama yang berjuang, yang hilang, yang gugur, tidak dihapus begitu saja,” katanya.
Ia menegaskan bahwa Aksi Kamisan bukan sekadar ritual mingguan, melainkan penanda bahwa ingatan kolektif harus terus dirawat.
“Ingatan adalah bentuk perlawanan, dan perlawanan adalah satu-satunya cara agar bangsa ini masih punya harapan,” tutupnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua